Jika kita membaca buku-buku sejarah Islam era Hindia Belanda di paruh kedua abad ke-19, nama Habib atau Sayid Usman kerap muncul sebagai tokoh penting di abad itu. Ia menjadi “juru bicara” ulama tradisional, lengkap dengan kontroversianya. Sayid Usman menjadi ikon ulama Batavia yang hampir tak pernah lahir lagi di abad-abad berikutnya, tingkat kesarjanaan muslim selevel dirinya di wilayah itu.
Gelar “Sayid” tentu saja menunjukkan adanya genealogical chart (silsilah keluarga) yang terhubung dalam mata rantai keturunan Nabi Muhammad yang dihormati sekaligus dimuliakan kedudukannya secara sosial.
Ulama yang dekat dengan pemerintah kolonial ini wafat pada Januari 1914 dan dikuburkan di pemakaman orang Arab, di Petamburan, Jakarta Pusat.
Menyebut nama Petamburan, tentu saja tak dapat dilepaskan dari suatu ormas Islam yang bermarkas di sana dan kebetulan dipimpin oleh seorang keturunan Arab, di mana belakangan juga dikenal sebagai sosok ulama kontroversial, yaitu Habib Rizieq Sihab. Bahkan, nama Rizieq cukup populer di kalangan media sebagai “peranakan” (muwallad) Arab yang gencar memimpin serangkaian demonstrasi melawan pemerintah.
Tulisan ini tentu saja tidak menghubung-hubungkan genealogi apapun antara Sayid Usman dan Rizieq Sihab, karena sepanjang pengamatan saya, keduanya memiliki trah Arab yang berbeda, sekalipun keduanya sama-sama berasal dari koloni orang-orang Hadrami yang melakukan migrasi ke Nusantara sejak abad ke-16.
Berbicara soal koloni Arab di Indonesia, nama L.W.C Van den Berg tentu menempati urutan teratas sebagai sarjana yang seringkali dirujuk dalam soal diaspora Hadrami di Indonesia. Karyanya “Le Hadramout” terus mengalami cetak ulang dan tetap dalam bahasa aslinya, yaitu Prancis!
Pandangan Van den Berg mengenai kedatangan orang Arab ke Indonesia tidak selalu bernada positif, sebagaimana dikutip Karel Steenbrink dalam bukunya:
“Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19”, Berg menulis: “Hampir semua orang Arab yang tinggal di Indonesia berasal dari Hadramaut…pada umumnya orang dari golongan rendah yang mencari untung untuk diri sendiri”.
Dalam bagian lainnya, secara subjektif dirinya menegaskan—subjektivitas barangkali didorong oleh pengetahuan soal Islam yang telah dipahami sebelumnya—bahwa “orang Hadramaut 100 persen Islam, tetapi kadang-kadang pengamalannya menyeleweng dari Islam yang sempurna”.
Namun yang pasti, sekalipun Van den Berg mempunyai kesan negatif terhadap diaspora Hadrami di Indonesia, tetap muncul kesarjanaan Arab yang memiliki peran cukup penting dalam kancah politik nasional, terutama mereka yang menjadi tokoh dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan.
Tidak hanya itu, peranakan Arab juga menempati posisi-posisi cukup penting di pemerintahan bahkan hingga saat ini. Sebut saja misalnya, Anies Baswedan, yang sukses meraih karir tertinggi di bidang politik, sebagai gubernur Jakarta melalui suatu kontestasi yang demokratis. Kendatipun belakangan, umat muslim di Jakarta, seolah kehilangan sosok ulama yang benar-benar otoritatif dan diakui genealogi intelektualitasnya, kecuali para ustaz seleb yang seringkali mewarnai layar kaca atau pengajian-pengajian terbuka yang hampir tak menyentuh aspek intelektualitas, berupa karya tulis dalam bidang-bidang keislaman yang diakui oleh khalayak luas.
Mengangkat kembali sosok keulamaan Sayid Usman dirasa memiliki relevansi cukup penting saat ini, di saat menguatnya aspek “sub-budaya” politik yang kerap kali dipertentangkan, khususnya menyoal peranakan Tionghoa atau Arab yang dikait-kaitkan dengan aspek kekuasaan politik. Isu-isu kepolitikan populer belakangan ini yang terkait dengan kekuasaan, pendulumnya bergerak ke arah isu etnisitas: Jawa-Arab-Tionghoa, seolah merepresentasikan kembali diksi kepolitikan era kolonial yang bercorak feodalistik. Sebagian masyarakat seolah ada yang terjebak pada suatu pandangan yang hierarkikal, dimana menganggap seolah semua “Arab” adalah keturunan Nabi Muhammad yang harus dihormati, terlebih mereka yang bergelar “habib”, atau pandangan atas orang-orang keturunan Tionghoa yang distigmatisasi sebagai kelompok “penjilat” kekuasaan dan dikategorikan “kafir”, atau mereka yang keturunan Jawa dianggap manifestasi dari perpanjangan tradisi klenik-sinkretik yang keislamannya seringkali dipertanyakan bahkan diragukan.
Perlu cukup waktu untuk meneliti lebih jauh soal pergerakan arah pendulum kekuatan politik ini, sekalipun telah banyak penelitian yang dilakukan dalam mengungkap perihal hubungan-hubungan agama dengan politik di Indonesia yang pada akhirnya mengerucut pada pola penguatan primordialisme yang membentuk suatu “identitas” dalam lingkup besar budaya politik.
Sementara kita tinggalkan dulu soal polarisasi gerakan politik yang cukup rumit belakangan ini, kita akan lebih banyak melihat peran salah seorang ulama Batavia—sebagai “sayid” yang dihormati sekaligus ulama otoritatif di zamannya—yang bagi saya memiliki pengaruh luas tidak hanya dalam skala lokal di Nusantara, tetapi juga dibicarakan dalam media-media Eropa sebagai tokoh agama yang memiliki reputasi terbaik, minimal dalam pandangan kalangan sarjana kenamaan kolonial.
Oportunisme dirinya bahkan telah ditunjukkan oleh berbagai korespondensinya kepada “mufti Batavia”, Snouck Hurgronje, jauh sebelum ulama “peranakan” Arab ini memperoleh posisi penting dalam pemerintahan. Nico J Kaptein, dalam bukunya “Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia Belanda: Biografi Sayid Usman (1822-1914)” mengunggah surat Sayid Usman kepada Snouck yang ditulis pada 18 Juli 1888.
Dalam suratnya kepada Snouck itu, tampak suatu ungkapan yang hampir tak pernah dilakukan oleh seorang ulama di Nusantara, terlebih ungkapan tersebut ditujukan kepada orang Belanda yang menjajajah negerinya. Dalam kalimat pembukanya, Sayid Usman menulis:
“ilaa hadlrati al-janab al-mukarram wa an-nahrir al-mufkhim dzi al-‘ilmi al-munif al-ghani ‘an at-ta’rif ‘azizina wa muhibbina…” (kepada yang terhormat, paduka yang mulia, pembebas yang agung yang memiliki kedalaman ilmu dan keluasan pengetahuan, penguasa dan kesayangan kami…).
Pujian-pujian yang sedemikian mengalir, tentu saja tidak semata-mata sebagai penghormatan kepada petinggi kolonial, namun lebih jauh menunjukkan sikap oportunistik yang kental dan kadang berlebihan yang justru dilakukan seorang ulama! Sekalipun hal ini didukung oleh otoritas keilmuan sang Ulama Batavia ini, namun dalam pandangan sebagian orang tetaplah bermasalah dan dapat memicu kontroversial di tengah masyarakat.
Lobi-lobi pribadi Sayid Usman kepada Snouck tentu saja membuahkan hasil, sehingga ketika Snouck ditugaskan sebagai Penasehat (adviseur) urusan Pribumi, Sayid Usman kemudian diangkat sebagai asistennya.
Beberapa tahun kemudian, Sayid Usman diangkat secara resmi sebagai “Penasihat Kehormatan untuk Urusan Arab”: sebuah artikulasi kelembagaan yang unik dimana, nama “Islam” tidak disematkan didalamnya, padahal tugas-tugas Sayid Usman jelas menjadi mufti bagi urusan-urusan keagaman Islam masyarakat Nusantara.
Dalam beberapa tahun masa jabatannya sebagai mufti kolonial, reputasi keulamaan Sayid Usman tetap dipertaruhkan dan terbukti sukses dalam banyak hal meredam berbagai aktivisme politik umat muslim yang merongrong pemerintah Hindia Belanda.
Perdebatan sengit antara dirinya dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau menyoal pembangunan masjid baru untuk salat Jumat di Palembang, dimenangkan olehnya dan Sayid Usman lolos dari godaan “money politics” yang waktu itu menghampirinya.
Sayid Usman tetaplah memposisikan dirinya sebagai ulama dengan segala kesalehan pribadi yang melekat didalamnya. Tradisi intelektual yang sejauh ini dijunjung tinggi oleh dirinya, tidak pernah digadaikan demi kepentingan dirinya pribadi, tetapi lebih banyak dipersembahkan demi kemaslahatan umat.
Keberadaannya dalam lingkaran politik kolonial, semata-mata agar dirinya dapat memberi pengaruh baik, terutama dalam soal kebijakan-kebijakan keagamaan Islam di Indonesia. Paling tidak, Sayid Usman menjadi peletak dasar utama dalam pembentukan lembaga pengadilan agama di Indonesia yang melepaskan diri dari pengadilan tata negara yang lebih umum.
Pengaruh Sayid Usman dalam pembentukan lembaga peradilan agama ini, diwujudkan dalam suatu karyanya berjudul, “Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah li ahl al-Majalis al-Hukmiyyah wa al-Ifta’iyyah (Buku aturan hukum Islam bagi staf dewan pengadilan dan penasehat) yang selanjutnya menjadi buku standar bagi para hakim pada Peradilan Agama di Indonesia.
Kita, tentu saja selalu merindukan sosok ulama yang tidak saja dikagumi, namun tetap menularkan tradisi intelektual kepada generasi berikutnya, baik dengan memperkenalkan suatu genealogi intelektual keulamaan yang otoritatif ataupun merangsang para generasi berikutnya untuk menulis dan membukukan tradisi intelektualnya bagi masyarakat luas. (aa)