Sedang Membaca
Manusia Cahaya: Memahami Sains yang Awalnya Dipelopori Ibnu Haitam

Sedang menyelesaikan studi di bidang Optik, Karlsruher Institut fur Technologie (KIT), Jerman. Aktif di PCI NU Jerman.

Manusia Cahaya: Memahami Sains yang Awalnya Dipelopori Ibnu Haitam

1 A Fotonic

Tahukah Anda bila ada cabang keilmuan yang secara khusus mempelajari sifat-sifat dasar cahaya serta interaksinya dengan berbagai macam benda? Bidang ini disebut optik dan fotonik.

Optik berurusan dengan cahaya sebagai gelombang atau partikel, sedangkan fotonik berurusan dengan proses pembangkitan, manipulasi (manipulasi tidak selalu gerak negatif), serta deteksi cahaya. Keduanya berangkat dari pendalaman ilmu fisika sekaligus ilmu teknik.

Ia memiliki karakter riset dasar maupun aplikatif, juga multidimensi dan multidisiplin, sebab cakupannya adalah seluruh spektrum gelombang elektromagnetik; dari sinar gamma dan rontgen, cahaya tampak, hingga gelombang mikro, dan radio.

Istilah optik dan fotonik mungkin masih terdengar asing, tetapi tidak dengan aplikasinya. Aplikasi optik dan fotonik, sadar atau tidak, telah meliputi setiap lapisan masyarakat sejak zaman dahulu hingga hari ini dalam berbagai bidang.

Bayi lahir dibekali dua buah peralatan optik paling tua sekaligus paling kompleks: bola mata. Bila berkurang penglihatannya, digunakanlah kacamata. Selain itu, saat ini hampir setiap orang memiliki telepon genggam dengan kamera dan layar digital. Setiap contoh ini termasuk aplikasi optik dan fotonik, khususnya yang memiliki peran komunikasi visual.

Kontribusi optik dan fotonik dalam dunia komunikasi telah dirintis sejak penemuan camera obscura oleh Ibnu Haitam (965-1040) yang dikenal di dunia barat sebagai Alhazen lewat karyanya Kitāb al-Manāẓir atau Buku Optika, hingga penemuan laser tahun 1951 oleh Charles Townes dan penemuan serat optik tahun 1966 oleh Charles Kao.

Saking besarnya dampak penemuan “Dua Charles” ini terhadap wajah dunia komunikasi modern, Dua Charles sama-sama mendapatkan hadiah Nobel Fisika masing-masing pada tahun 1964 dan 2009 (pada lain kesempatan saya ingin menulis hadiah Nobel yang dianugerahkan untuk para ilmuan sains)

Kebut infrastruktur

Dunia komunikasi modern tentu tak dapat terlepas dari internet. UNESCO dalam penelitiannya di tahun 2015 berpendapat bila akses ke internet merupakan faktor penting dalam merealisasikan hak asasi manusia. Dampak internet dalam bidang sosial-politik pun juga tidak perlu diragukan lagi. Peristiwa Arab Spring di Timur Tengah sepanjang tahun 2010 dan aksi 212 di Jakarta akhir tahun 2016 kiranya cukup untuk dijadikan contoh. Arab Spring mengguncang banyak negara di Timur Tengah, sementara aksi 212, sampai hari ini terasa.

Baca juga:  Antara Sains dan Soto

Suka tidak suka, perkembangan internet secara global senantiasa menuju ke arah yang serba lebih: lebih cepatnya waktu yang dibutuhkan untuk mengakses sebuah informasi, lebih banyaknya informasi yang diakses, tetapi lebih efisien dalam konsumsi energi dan biaya (ini berbeda dengan penemuan teknologi mesim uap, pesawat terbang, pesawat televisi, pesawat telepon, bahkan penemuan kulkas yang tidak bisa dinikmati secara massif sekali. Ya tentu saja penemuan-penemuan itu mengubah kehidupan sangat signifikan, menggerakkan dunia lebih maju dan cepat, tapi penemuan internet yang massifnya berlipat-lipat. Sebagai contoh, satu rumah paling ada satu kulkas, namun, ponsel dan internetnya, satu rumah bisa ada, minimal 3-5 ponsel. Pesawat tentu saja sangat revolusioner dalam bidang transportasi, namun hanya berapa persen penduduk bumi yang menikmatinya).

Penyebab utama perkembangan ini ialah semakin banyaknya peralatan elektronik dengan berbagai aplikasinya yang terhubung dengan internet. Sebentar lagi tidak hanya komputer dan telepon pintar saja yang terhubung ke internet, tetapi juga mesin pabrik, sensor cuaca, peralatan rumah sakit, pesawat terbang, mobil, hingga berbagai peralatan rumah tangga seperti lampu teras. Setiap peralatan ini akan mengkonsumsi dan menghasilkan informasi. Saat itulah tiba era “internet untuk segala: (Internet of Things, IoT). IoT diramalkan akan memicu revolusi industri keempat.

Kecenderungan perusahaan-perusahaan telekomunikasi untuk segera bergeser dari teknologi komunikasi nirkabel 4G ke teknologi 5G demi akses internet yang sepuluh kali lebih cepat dari berbagai macam peralatan tersebut juga semakin mempersingkat masa tercapainya era IoT.

Baca juga:  Iman, Agama, dan Dogma

Hal ini tentu berdampak terhadap perkembangan infrastruktur internet. Lokasi penyimpanan informasi serta berbagai aplikasi daring dan konten situs web, lazim disebut pusat data (data center), mulai bermunculan. Mandat pemerintah kepada setiap organisasi finansial untuk menyimpan informasi keuangan dalam wilayah Republik Indonesia turut menambah besar kebutuhan ini.

Menurut laporan Bank Pengembangan Singapura yang dirilis November 2017 lalu, iklim yang demikian ternyata dapat menyebabkan pengembalian modal pelaku usaha pusat data hingga hampir 12% meskipun masih memiliki beberapa tantangan seperti keamanan data dan kestabilan pasokan listrik. Saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan pengembalian modal dua digit di Asia, meninggalkan Singapura yang menjadi pasar pusat data terbesar.

Serat optik, satu-satunya sarana yang dapat memfasilitasi transportasi data hingga mencapai orde puluhan terabyte per detik, juga turut terdampak karena lalu lintas data komputer/server intra maupun inter pusat data memiliki orde yang sama.

Pemerintah merespon kebutuhan ini dengan memprioritaskan proyek Palapa Ring yang menargetkan pembangunan jaringan serat optik bawah laut sepanjang 33.000 km ditambah jalur darat 22.000 km, direncanakan menjangkau 440 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.

Manusia Cahaya

Cahaya sebagai satu moda komunikasi utama tampaknya menjadi hal yang tak terhindarkan di masa depan. Ia harus diikuti tidak hanya dengan pembangunan infrastruktur, melainkan juga manusia yang siap menyambutnya lahir dan batin. Kegagalan menyiapkan salah satunya berpotensi menghambat laju perkembangan sebuah negara.

Hal ini dapat dipahami, misalnya, bila negara tersebut berada dalam ketergantungan terhadap pihak lain untuk mengembangkan teknologi komunikasinya baik berupa pengadaan infrastruktur maupun sumber daya manusianya. Terlebih lagi, apabila masih terdapat data-data penting rahasia negara yang disimpan di luar wilayah hukumnya sebab ketidakmampuannya menampung ledakan informasi di dalam negeri.

Baca juga:  Merekatkan Iptek dan Budaya Indonesia

Jerman telah lama mempersiapkan keduanya, khususnya manusianya, tidak hanya untuk pengembangan komunikasi serat optik, namun juga optik dan fotonik pada umumnya. Terlihat dari banyaknya insentif dari pemerintah dan industri, baik lokal, nasional, hingga Uni Eropa, kepada perguruan tinggi untuk bersama-sama menjalankan proyek-proyek penelitian dalam bidang tersebut.

Akibatnya banyak bermunculan program studi master hingga doktor bahkan pendidikan vokasi bidang optik dan fotonik. Sebagai langkah pertama, perguruan tinggi Indonesia perlu mengejar ketertinggalan ini dengan memperbanyak program studi serupa yang baru tersedia di beberapa universitas. Kehadiran Universitas Telkom dalam situasi ini bagaikan oase di tengah padang pasir.

Singapura sejak tahun 1991 telah mendirikan lembaga pengembangan sains, teknologi, dan riset bernama A*STAR dibawah kementerian perdagangan dan industri (bukan kementerian riset dan teknologi) yang memiliki kolaborasi erat dengan berbagai universitas dan industri terbaik negrinya.

Yang membedakan A*STAR dengan lembaga-lembaga serupa di Indonesia ialah kemampuannya memproduksi secara massal berbagai peralatan teknologi tinggi berbasis silikon dalam ukuran mikro hingga nanometer, termasuk komponen pemancar maupun penerima sinyal cahaya yang dirambatkan melalui serat optik. Kedua alat ini juga turut berkontribusi menaikkan kapasitas jaringan serat optik berkali-kali lipat.

Meskipun langkah kedua berikut ini rasanya sulit terwujud, saya berharap Indonesia bisa segera memiliki pusat penelitian optik dan fotonik. Karena biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, sebaiknya lembaga ini dibangun melalui konsorsium pemerintah, industri, dan berbagai perguruan tinggi.

Hal ini sejalan dengan saran Abdus Salam, seorang muslim Pakistan pertama yang meraih hadiah Nobel Fisika pada tahun 1979, bagi negara berkembang untuk membangun infrastruktur sains yang kokoh sebelum melakukan penelitian dan pengembangan teknologi, sekaligus sebagai jalan tengah untuk merealisasikan konsep ekonomi berbasis pengetahuan serta vis-à-vis pendanaan riset dasar dan riset aplikatif.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top