De Voetboeg, nama kapal model ‘fluijt’ VOC itu, menurunkan sauhnya dan memulai pelayaran pada 7 Juli 1693 di Ceylon, sekarang Srilanka. Kapal dengan panjang 130 kaki dan lebar 32 kaki itu mengangkut rempah, buah-buahan yang masih segar, budak, sutera, keramik China, dan seorang tahanan politik: Syaikh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makassari al-Bantani bersama 49 pengikutnya, 2 orang istri, 12 santri, 2 pembantu wanita, 14 sahabat, putra-putri, serta hamba-hambanya.
Menempuh perlayaran selama delapan bulan 23 hari, mereka berlabuh di Afrika Selatan pada 1694. Pertama-tama tiba di Tanjung Harapan, lalu dipindahkan ke sebuah lahan pertanian milik Dominus Petrus Kalden di Zandvliet (kini Madagaskar), berdekatan dengan muara sunga Eerste. Beliau disambut begitu meriah oleh gubernur Simon van der Stel.
Syaikh Yusuf telah berumur 68 tahun ketika dibuang ke Cape Town, sebuah kota yang dikuasai VOC sejak 1652. Kota itu dinilai akan menjauhkannya dari para pendukung fanatik yang tak kenal jarak. Sembilan tahun beliau diasingkan di Srilanka, namun tetap mampu menyulut pemberontakan di Banten dan Gowa. Memakai berbagai nama, beliau terus berkirim surat ke dua tempat itu lewat orang-orang Nusantara yang melewati rute Srilanka untuk berhaji.
Beliau, yang kelak lebih dikenal dengan nama Abidin Tadia Tjoessoep bagi orang-orang Cape Town, memang tidak bisa lagi berhubungan dengan pejuang (pemberontak menurut istilah kolonial) Nusantara. Namun VOC juga tidak bisa menekannya terlalu dalam. Sebaliknya, Cape Town dijadikan sebagai titik temu bagi para budak yang melarikan diri dan tahanan lainnya dari timur. Mereka mendirikan basis kecil di kota itu untuk menyebarkan paham agama Islam.
Ke-12 muridnya kemudian menjadi pembesar agama, dan daerah itu kelak dinamai sebagai Macassar. Sebuah kronik yang dibuat oleh Ebrahim Mahomed Mahida dalam History of Muslims in South Africa (1993), komunitas yang dijalankan Syaikh Yusuf menjadi basis pertama perkembangan Islam di Afrika Selatan.
Syaikh Yusuf tentu bukan orang Islam pertama yang datang ke Cape Town, bukan pula tahanan politik pertama. Orang Cayen, demikian para tahanan itu dinamai, telah didatangkan dari Sumatra sejak tahun 1667. Mereka adalah Syaikh Abdurahman Matahe Shad an Syaikh Mahmud. Namun mereka mendapat tekanan yang begitu kuat dari gubernur Cape Town untuk tidak menyebarkan paham keislaman.
Beberapa tahun berselang dari kedatangan Syaikh Yusuf, Raja Tambora juga diasingkan ke Cape Town pada tahun 1697. Beliau bernama Abdul Basi Sultania, raja Tambora yang pada masa dahulu masih masuk dalam bagian Kerajaan Majapahit. Beliau menuruni kapal dan kedua tangannya dibelenggu rantai, dihukum karena secara aktif menentang kompeni.
Belaiu pertama kali ditempatkan di sebuah kandang peternakan di Castle, tetapi atas permintaan Syaikh Yusuf beliau dipindahkan ke Vergelegen di distrik Stellenbosch yang jauh dari para tahanan lainnya.
Dalam pengasingan itu, sambil mendaras, beliau mulai merampungkan penulisan Al-Qur’an yang dihadiahkan kepada gubernur Simon van der Stel. Al-Qur’an ini, menurut Ebrahim Mahomed, tidak pernah disebarluaskan dan bertahan sebagai benda antik di Vergelegen.
Paay Schaapie yang dikenal sebagai Tuan Nuruman dibuang ke Cape Town dari Batavia pada tahun 1770. Beliau lebih dikenal sebagai penasihat spiritual dan pemilik azimat yang banyak dicari. Pada 1786 ia membantu sekelompok budak yang melarikan diri dengan memberi mereka azimat untuk perlindungan. Sayangnya budak-budak ini ditangkap kembali dan Paay Schaapie dibuang ke Pulau Robben. Beliau menjadi imam resmi pertama di Cape Town.
Imam Abdullah ibn Kadi (Qadri) Abdus Salam, yang dikenal sebagai Tuan Guru, putra seorang qadi, lahir pada tahun 1712, adalah seorang pangeran dari Tidore. Nasabnya masih sampai ke sultan Maroko dan Nabi Muhammad. Dia dibawa ke Cape Town pada 6 April 1780 bersama dengan Callie Abdul Rauf, Badruddin dan Nur Iman. Mereka ditahan di pulau Robben.
Di pulau Robben, Tuan Guru yang hapal Al-Qur’an itu menulis tangan beberapa salinan Alquran. Beliau juga mengarang kitab Ma’rifat al-Islam wa al-Iman, sebuah kitab kalam yang rampung ditulisnya pada 1781. Ditulis dengan bahasa Melayu dan Arab, menjadi referensi utama umat Islam di Cape Town selama abad ke-19.
Setelah dibebaskan dari pulau Robben pada 1793, Tuan Guru menetap di Dorp Street. Beliau lalu menikah dengan Kaija van de Kaap dan melahirkan dua putra: Abdul Rakiep dan Abdul Rauf. Keduanya memainkan peran penting dalam perkembangan Islam di Cape Town.
Tuan Guru juga mulai mendirikan madrasah untuk keturunan buangan politik dan orang-orang kulit hitam. Madrasah ini merupakan institusi pendidikan pertama di Cape Town yang banyak mengislamkan orang-orang pribumi. Mereka diajarkan Alquran dan baca-tulis bahasa Arab. Dari madrasah ini lahir imam-imam terkemuka seberti Abdul Bazier, Abdul Barrie, Ahmad al-Bengalen, dan Imam Hadjie.
Setelah kekuasaan Cape Town diambil alih oleh Inggris pada 1795, gubernur Inggris, Jenderal Craig lebih terbuka dan memberikan keleluasaan kepada kaum muslim untuk membangun sebuah masjid. Tuan Guru langsung berinisiatif menyatukan bangunan rumah dan madrasahnya sebagai masjid, yang lebih dikenal sebagai Masjid al-Awwal, masjid pertama yang berdiri di Afrika Selatan. Tuan Guru Imam Abdullah kelak dikenal sebagai ulama perintis dan mufti pertama di Cape Town.
Cape Town, dalam konteks hari ini, bukanlah kota yang dipenuhi kubah-kubah masjid dan orang-orang berkopiah dan berjilbab. Dari keseluruhan populasi sebanyak 4 juta jiwa, hanya 1.5% yang menganut agama Islam.
Suatu perjuangan mungkin tidak selamanya dapat dinilai dari angka dan rasio. Kehadiran ulama-ulama Nusantara di Cape Town tidak hanya menyebarkan Islam, tetapi juga mengajarkan orang-orang Afrika Selatan bagaimana memerdekakan diri di tengah kekangan yang begitu mengikat.
“Bahwa yang hitam dan putih adalah sama, bahwa yang bangsawan dan budak pun tidak berbeda, karena yang membedakan manusia di hadapan Tuhan adalah nilai imannya.” Demikian pidato Nelson Mandela ketika menganugerahkan gelar kepahlawanan Syaikh Yusuf.