Banten selain dikenal dengan seni Debus-nya juga terkenal dengan tradisi Panjang Mulud-nya. Tradisi yang digelar untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad ini dilaksanakan hampir di seluruh kampung di Banten, secara bergantian selama bulan Rabiul Awwal.
Sesuai susunan akar katanya, Panjang berarti ukuran yang tidak pendek, dan Mulud –sesuai pengucapan orang Nusantara dari kata Maulid– berarti waktu kelahiran Nabi Muhammad saw. Panjang Mulud adalah kesempatan merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang dimiliki warga masyarakat Banten secara tidak mengikat dan bersifat longgar, baik pelaksananya maupun pelaksanaannya.
Pelaksana atau yang melakukan tradisi Panjang Mulud dapat perorangan dan juga kelompok orang. Warga yang kurang mampu terbiasa bergotong royong, secara kolektif menyumbang dan saweran untuk membuat hiasan Panjang Mulud. Sedangkan Orang Banten yang mampu dan kaya biasanya membuat ornamen Panjang Mulud dari modal perorangan.
Mereka yang secara perseorang membuat Panjang Mulud adalah warga setempat atau warga perantauan di Jakarta, Lampung dan Palembang yang tergolong sukses usahanya. Mereka meyakini bahwa setiap harta dan uang kertas yang dikeluarkan untuk membuat hiasan ornamen Panjang Mulud akan bertambah dan diganti berlipat ganda.
Hiasan ornamen Panjang Mulud pada mulanya adalah gunungan hasil pertanian dengan uang kertas sebagai jurai-jurainya. Hanya saja seiring perjalanan waktu, masyarakat memilih membuat hiasan Panjang Mulud dari bahan uang kertas asli, beragam nominalnya dari seribu sampai seratus ribu, yang disusun menyesuaikan bentuk Panjang Mulud, seperti tajug, kubah, kapal, dan sebagainya.
Untuk membuat satu ornamen Panjang Mulud dibutuhkan sedikitnya lima ratus libu, dan dapat pula menghabiskan jutaan rupiah sesuai kemampuan pembuat dan pelaksana tradisi Panjang Mulud. Dikarenakan biayanya tidak sedikit maka pelaksanaan tradisi Panjang Mulud tidak ditentukan bersamaan tanggal 12 Rabiul Awwal akan tetapi dapat dilaksanakan di hari-hari lain selama bulan Maulid.
Hiasan ornamen Panjang Mulud yang sudah jadi akan dikeluarkan dari satu titik tempat (masjid atau mushalla) dan diarak keliling kampung. Biasanya seluruh anggota keluarga dan warga masyarakat, –termasuk yang di rantau juga ikut terlibat dengan terlebih dulu pulang ke kampung halaman, ikut hadir terlebih dulu untuk mengadakan doa bersama di masjid dan musala. Pemanjatan doa dipimpin sesepuh dan tokoh masyarakat setempat.
Selesai berdoa mereka mengarak Panjang Mulud keliling kampung. Anak-anak, orang tua dan masyarakat dari luar kampung ikut menyambut dan menyaksikan festival tahunan ini dengan penuh suka cita dari pinggir jalan. Mereka yang dilewati arak-arakan Panjang Mulud biasanya mengikuti dari arah belakang supaya kebagian berkah dari Panjang Mulud yang nantinya disedekahkan.
Baik yang membuat Panjang Mulud maupun yang menerima sedekah dari ornamen uang kertas Panjang Mulud, mereka sama-sama bergembira merayakan kelahiran Nabi Muhammad pembawa rahmat bagi semesta alam. Seolah-olah mereka meresapi bahwa rahmat bukan untuk perseorangan pribadi akan tetapi lebih penting untuk dibagi-bagi.