Sedang Membaca
Hikayat Walisongo (8): Kanjeng Sunan Drajat, Catur Piwulang dan Teladan Kenabian

Pengajar di Pesantren Darul Falah Besongo Semarang dan Dosen Fak. Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang.

Hikayat Walisongo (8): Kanjeng Sunan Drajat, Catur Piwulang dan Teladan Kenabian

Whatsapp Image 2021 04 06 At 19.06.59 (1)

Tlatah Jawa adalah daerah yang dipilih oleh Walisongo dalam menyiarkan Islam di Nusantara pada sekitar abad ke 15 M. hingga ke 16 M. Kesuksesan syiar Walisongo tersebut dibuktikan dengan banyaknya warga pribumi saat itu yang memeluk agama Islam hanya dengan rentang waktu kurang dari satu abad, yakni hanya sekitar 40 hingga 50 tahun saja. Padahal dalam catatan sejarah yang ada, dinyatakan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara sejak pertengahan abad ke 7 masehi, dan bukti tertua arkeologi adanya Islam di Nusantara adalah keberadaan makam Fatimah bin Maimun yang terletak di Leran Kab. Gresik yang inskripsi batu nisannya tertulis wafat tahun 475 H./1082 M.

Melalui mazhab sufisme dan pengajaran akhlak mulia, para Walisongo berhasil menanamkan nilai-nilai agama yang sarat akan keluhuran budi, sikap moderat, dan memiliki jiwa social yang luhur. Salah satu tokoh Walisongo yang menarik untuk dijadikan teladan bagi generasi muslim Nusantara adalah Raden Qasim atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Sunan Drajat.

Dikatakan bahwa Sunan Drajat masuk dalam kategori wali atau sunan muda dibandingkan dengan para wali atau sunan lainnya. Menurut Agus Sunyoto (2011: 166), Sunan Drajat merupakan adik dari Sunan Bonang (w. 1525 M.) yang riwayat hidupnya tidak banyak ditulis dalam naskah historiografi Islam di Jawa. Meski demikian, Sunan Drajat justru memiliki banyak nama dan sebutan dibanding Walisongo lain, seperti Raden Qasim, Raden Syarifuddin, Masaikh Munat, Maulana Hasyim, Sunan Mayang Madu dan Pangeran Kadrajat.

Baca juga:  Mba Kemis: Pendakwah Islam di Ujung Barat Blambangan

Sunan Drajat yang diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi merupakan putra dari Raden Ali Rahmatullah yang akrab dikenal dengan Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila. Bersama dengan kakaknya, Sunan Bonang, Sunan Drajat awal sekali belajar ilmu agama dengan ayahandanya sendiri, Sunan Ampel di Pesantren Ampeldenta. Setelah itu, Sunan Drajat juga menuntut ilmu agama kepada Sunan Gunung Jati di tlatah Cirebon.

Saat di Cirebon inilah dikisahkan bahwa Raden Qasim muda menikah dengan putrinya Sunan Gunung Jati yang bernama Dewi Sufiyah. Setelah menikahi Dewi Sufiyah, Sunan Drajat bermukim di Kadrajat, yang saat ini masuk wilayah Kab. Lamongan, dan dikenal dengan sebutan Pangeran Kadrajat atau Pangeran Drajat.

Sunan Drajat berdakwah di daerah pesisir barat Gresik hingga wafat, dan dimakamkan di Desa Drajat Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Sebagaimana makam para Walisongo lain, makam Sunan Drajat berada dalam sebuah bangunan bertungkub dan banyak diziarahi oleh para peziarah dari berbagai wilayah di Jawa dan luar Jawa.

Catur Piwulang yang Sarat dengan Ajaran Nabi Muhammad

Sebagaimana Sunan Bonang, Sunan Drajat juga sangat paham betul berbagai pengetahuan tentang ilmu, bahasa, seni, budaya, dan sastra dalam tradisi dan budaya Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai peninggalan Sunan Drajat yang saat ini masih dapat terlihat di Museum Sunan Drajat. Nuansa njawani ini pula terlihat dari warisan laku yang diajarkan oleh Sunan Drajat kepada santri dan masyarakatnya yang dikenal dengan sebutan Catur Piwulang.

Catur Piwulang sebagai ajaran adiluhung Sunan Drajat sarat dengan ajaran sosial-religius sebagaimana yang dirisalahkan oleh Rasulillah dalam berbagai sunnahnya. Agus Sunyoto (2011: 170) menyatakan bahwa Catur Piwulang adalah satu dari ajaran Pepali Pitu (tujuh dasar ajaran) yang mencakup tujuh falsafah kehidupan yang menjadi pegangan umat Islam.

Baca juga:  Ulama Banjar (175): Prof. Dr. Asmaran AS, MA

Catur Piwulang berisi ajaran: “Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, lan menehono ngiyup marang wong kang kudanan; (Berikanlah tongkat kepada orang yang buta, berikanlah makanan kepada orang yang lapar, berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang, dan berikanlah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan).

Keempat ajaran luhur tersebut sangat kental dengan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi pilar utama ajaran luhur Nabi Muhammad. Maklum diketahui bahwa poros utama ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah untuk memanusiakan manusia dalam berbagai hal.

Rasulullah menyatakan dalam hadisnya: Man Naffasa ‘an Mu’minin Kurbatan min Kurabid Dunyaa, Naffasallaahu ‘anhu Kurbatan min Kurobi Yaumil Qiyaamati (barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat) (HR. Muslim). Selain hadis tersebut, masih banyak lagi hadis-hadis Nabi yang mensiratkan makna dari ajaran Catur Piwulang tersebut.

Ajaran moralitas yang luhur yang diteladankan Nabi Muhammad sukses diterjemahkan oleh Sunan Drajat dengan lisan Jawa tanpa harus menghilangkan esensinya. Dengan filosofi dakwah yang menyejukkan dan akulturatif, Sunan Drajat menyadari betul bahwa masyarakat Jawa saat itu masih banyak yang belum memahami bahasa Arab dan masih sangat awam. Sehingga untuk mempelajari langsung ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis jelas pasti merepotkan. Oleh karenanya, Sunan Drajat mengambil intisari dari berbagai ajaran Islam untuk kemudian dialih bahasakan dengan gaya dan budaya masyarakat saat itu.

Baca juga:  Ulama Banjar (19): Syekh Achmad Nawawi Panjaratan

Ajakan dalam menjalankan Islam secara substantive tanpa terjebak dengan aksesoris luaran belaka ini juga dilakukan oleh para wali lainnya. Lihat saja syi’ir Tombo Ati yang diajarkan oleh Sunan Bonang, Lir Ilir karya Sunan Kalijaga, wasiat Aku Titip Tajug lan Fakir Miskin oleh Sunan Gunung Jati, dan ajakan Pagerono Omahmu Kanthi Mangkok oleh Sunan Muria. Kesemua ajaran luhur tersebut merupakan pengejawantahan dari ajaran Nabi Muhammad yang penuh dengan nilai-nilai kemanusian dan kerahmatan.

Kacang Ojo Lali Lanjaran adalah sindiran ala Jawa yang tepat bagi kita saat ini untuk harus senantiasa melestarikan ajaran-ajaran luhur para wali dan pendahulu kita. Ingatlah bahwa keberagamaan kita saat ini merupakan suatu mata rantai yang berkesinambungan dari watak dan laku keagamaan para pendahulu kita yang sarat dengan nilai-nilai moderasi dan kearifan laku dan budaya. Semoga bermanfaat, wa Allah A’lam bi al-Shawab…………..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top