Sedang Membaca
Tahun 1990an, Hari-Hari Terberat Gus Dur: Perjuangan Melawan Pencekalan
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Tahun 1990an, Hari-Hari Terberat Gus Dur: Perjuangan Melawan Pencekalan

Pasca Munas NU di Bandar Lampung, Januari 1992, Gus Dur menjalani tugas sebagai ketua umum PBNU dengan lebih percaya diri. Diskursus keagamaan hasil Munas menjadi bahan perbincangan nasional. Ide dari mazhab Qauli ke mazhab Manhaji disambut hangat. Dan makin meneguhkan NU sebagai organisasi yang berhasil dalam mengembangkan tradisi pemikiran keagamaan. Ini membuat Gus Dur senang.

Tahun 1990, dinamika anak-anak muda NU di banyak daerah membawa optimisme di tengah kuatnya Orde Baru yang makin tiran. Orang-orang NU tumbuh melalui lembaga resmi NU, PMII, pesantren, kelompok studi, lembaga swadaya masyarakat. Kiai-kiai muda di banyak pesantren semangat berorganisasi dan melakukan kajian-kajian kitab kuning. Sungguh menggembirakan. Gus Dur pastinya sangat senang.

Mereka kritis, giat belajar ilmu sosial, produktif menghasilkan karya intelektual, aktif mengembangkan masyarakat, dan membela rakyat yang tertindas, tapi sekaligus memegangi tradisi intelektualnya: Pesantren.

Gus Dur sendiri terus membangkitkan kepercayaan diri warga NU dengan aktif mendatangi kantong-kantong. Dia  aktif mengisi forum ilmiah, dalam dan luar negeri.

Semua warga NU di kampung-kampung sangat bersemangat dan bangga kalau melihat Gus Dur masuk televisi atau hanya mendengar suaranya lewat radio. Lebih-lebih jika mendengar kabar bahwa Gus Dur sedang di luar negeri.

Tidak lupa, Gus Dur rajin menulis, mempromosikan kiai dan pesantren di pelbagai media, yang dilakukan sejak tahun 1970an. “Ada tulisan Gus Dur di koran”, “Ada wawancara Gus Dur di majalah”, begitu anak-anak santri di pesantren saling memberi kabar saat nama atau wajah Gus Dur nongol di koran atau majalah. Aktivitas Gus Dur melambungkan imajinasi anak-anak NU di penjuru negeri.

Itu semua menjadi oase di tengah rezim penguasa yang menghalang-halangi bantuan untuk pesantren dan NU, tidak memberikan tempat bagi kader pesantren dan NU, bahkan sebutan-sebutan pejoratif terus dilontarkan ke kalangan pesantren dan NU.

Saat itu, gairah di tubuh NU memang menjadi magnet para pengamat dalam dan luar negeri. Bahkan kalangan modernis tak segan mengungkapkan rasa cemburu pada NU. Tapi tak sedikit pula yang curiga bahwa mereka hanyut dalam agenda liberalisasi yang dihembuskan lembaga donor luar negeri.

Kembali ke hasil Munas. Dari Bandar Lampung (sebuah kota yang masih sepi dengan infrastruktur yang tidak memadai), Gus Dur memiliki Rais Aam baru: Ajengan Ilyas Ruhiat menggantikan Kiai Ali Yafie yang mengundurkan diri.

Baca juga:  Siapakah “Kijahi Moelabaroek van Garoet”, Mahaguru Ulama Tatar Sunda di Abad ke-19?

Banyak orang menilai ulama dari Sunda ini lebih cocok dengan karakter Gus Dur yang terbuka dan high dinamic. Ajengan Ilyas Ruhiat dari Pesantren Cipasung Tasikmalaya berkarakter hati-hati, sedikit bicara, menghindari konfrontasi, dan secara personal punya hubungan khusus: ayah Gus Dur dan ayah Ajengan Ilyas berkawan dekat semasa zaman penjajahan.

Selepas Munas, Gus Dur langsung mendapat tugas besar dari NU: menyiapkan “Rapat Akbar” di Jakarta dalam rangka hari lahir Nahdlatul Ulama ke-66. Mengumpulkan jemaah dalam jumlah sangat besar adalah keahlian NU. Setelah PKI dibubarkan, tidak ada yang dapat menandingi keahlian NU dalam mengumpulkan massa (catatan: dengan biaya swadaya. Setelah reformasi, semua kelompok bisa mengumpulkan masa dalam jumlah besar, tapi itu politis dan penuh rekayasa).

Namun masalahnya, zaman Orde Baru adalah era di mana pencekalan berjalan secara efektif, dengan kekuatan aparat keamanaan, dari mulai tingkat pusat hingga kecamatan, bahkan khutbah Idul Fitri saja harus dilaporkan ke aparat keamanan.

Semua bentuk kegiatan yang diikuti masyarakat, yang mengumpulkan massa, dari mulai pentas teater hingga pengajian kawinan saja, harus dapat izin dari “pihak yang berwenang”. WS Rendra sebagai seniman dicekal di mana-mana tahun 1970an. Akhirnya dia bersama kawan-kawan Bengkel Teaternya keliling pesantren, termasuk ke Tebuireng akhir 1970an, agar tidak dicekal.

Gus Dur sendiri menerima pencekalan beberapa kali. Emha Ainun Najib (Cak Nun) secara berkelakar pernah mengganti nama acara  dari “Seminar Bersama Gus Dur” menjadi menjadi “Mauizdoh Hasanah Bersama KH Abdurrahman Wahid”. Siasat ini dilakukan agar Gus Dur tidak dicekal. Bahkan Orde Baru membuat hubungan Gus Dur dan Kiai Yusuf Hasyim (pamannya dan pengasuh Pesantren Tebuireng) renggang.

Suatu ketika, Gus Dur bersama Megawati dan Cak Nun ingin masuk Tebuireng, tapi Pak Ud (Kiai Yusuf Hasyim) menggembok pintu gerbang pesantren. Sahabat saya, Muhammad Usman, yang waktu itu santri Tebuireng menyaksikan Gus Dur hanya bisa duduk-duduk di warung sebrang pesantren sambil minum es teh.

Gus Dur menunggu lama. Tapi gerbang Pesantren Tebuireng tak kunjung dibuka. Akhirnya Gus Dur memutuskan, kata Gus Wafiyul Ahdi, pergi ke Pesantren Tambakberas, menemui Kiai Amanullah. Sebelum pergi, Gus Dur dan rombongan akhirnya melakukan doa bersama di depan pintu masuk pesantren, persis utara makam. Kiai Amanullah (w 2007) sahabat Gus Dur sejak nyantri di Tegalrejo-Magelang, selain juga masih paman.

Baca juga:  Gus Dur dan M. Imam Aziz: dari Jalan Kultural ke Tebing Politik

Di Tambakberas Gus Dur bicara-bicara santai, bertukar humor, sambil menyantap makan siang. Pertemuan di rumah Kiai Amanullah sudah lebih dari cukup mengobati rasa kecewa. Kita tahu, santainya Gus Dur melebihi apapun, dengan ungkapannya yang khas dan terkenal, “gitu saja kok repot”.

Ilustrasi: Gus Dur langganan mampir Kiai Amanullah Tambakberas (Foto: dok. Gus Wafiyul Ahdi)

Nah, bagaimana Gus Dur atau Pengurus Besar Nahadlatul Ulama menggelar hajatan besar di Jakarta sementara situasi politik menekannya secara sistematis?

Rapat akbar, pengumpulan masa dalam jumlah besar, akan dilaksanakan Maret, dua setelah diputuskan di Munas Bandar Lampung. Waktunya sangat pendek. Tapi menurut Mukhlas Sarkon dalam Ensiklopedi Abdurrahman Wahid (Jilid 5), Gus Dur sudah menyampaikan izin ke Presiden Suharto tanggal 17 Oktober 1991.

Waktu itu, tujuan utama Gus Dur adalah menceritakan lawatannya ke sejumlah negara: Irak, Iran, Kuwait, Belanda, dan Jepang. Pak Harto mempersilakan. Tapi pemerintah, lewat Menteri Dalam negeri Rudini mempersulit perizinan.

Peserta rapat akbar datang dari berbagai penjuru pulau Jawa, Lampung, Kalsel, dll.

“Dua juta orang berkumpul di Jakarta bagaimana ngatur-nya,” kata Rudini, seperti dikutip Mukhlas. Situasinya memang rumit karena menjelang Pemilu 1992.

Tidak hanya dipersulit pemerintah, di internal NU Gus Dur juga diprotes. Hambatan datang dari Kiai Yusuf Hasyim dan Chalid Mawardi, juga dari Ketua PWNU DKI Jakarta sebagai tuan rumah.

“Biasalah kalau yang nentang Pak Ud dan Mas Chalid,” mungkin begitu dalam benak Gus Dur.

Gus Dur tidak gentar. Seperti kepalang basah karena semua media telah membicarakannya secara sensasional. Mungkin karena itu pula Gus Dur mengancam jika PBNU tidak ikut, maka rapat akbar akan dilakukan atas nama dirinya dan orang-orang yang mendukungnya.

Namun akhirnya, lewat rapat pleno PBNU, diputuaskan Rapat Akbar tetap harus digelar. Pro-kontra di internal NU, kata Mukhlas, terhenti. Itu artinya, persiapan hajatan besar kurang dari sebulan. Mendagri Rudini terdesak, dan terpaksa mengeluarkan surat izin.

Walhasil, pada hari acara rapat akbar di Parkir Timur terlaksana dengan lancar dan penuh decak kagum. Dengan disaksikan ratusan ribu massa, Gus Dur dengan gagah berdiri di pangung memberikan naskah “Ikrar Kesetiaan Pancasila” kepada Ketua PWNU Jawa Tengah Kiai Buchori Masruri (pencipta lagu-lagu Nasidariya) untuk dibacakan.

Aula, majalah bulanan yang diterbitkan PWNU Jawa Timur merekam dengan baik dinamika acara yang heboh ini. Belakangan, Ensiklopedia NU dan Ensoklopedia Abdurrahman Wahid menuliskannya kembali. Bahkan Ensiklopedia NU menuliskan peristiwa dalam dua lema yang berbeda, “Ikrar Kesetiaan” dan “Rapat Akbar”. Berikut saya petikkan dalam lema “Ikrar Kesetiaan”:

Baca juga:  Humor Gus Dur: Berkah Celana Dalam

“Ikrar kesetiaan berisi tiga hal utama. Pertama, penyampaian rasa syukur pada Allah Swt. Kedua, penegasan NU bahwa NKRI adalah bentuk final yang diperjuangkan umat Islam. Ketiga, penegasan bahwa NU mendukung UUD 945 dan Pancasila. Pada saat dibacakan di Rapat Akbar, teks asli ikrar kesetiaan sendiri terdiri dari lima poin.”

“Sebelum dibacakan, ada prosesi ijab-kabul, dari ketua umum PBNU kepada pembaca teks. Ikrar kesetiaan bukanlah nomenklatur organisasi, tapi dapat digunakan pada kondisi tertentu.”

Rapat Akbar memang totalitas NU, baik dari segi kualitas acara ataupun kuantitas peserta. Pada waktu itu, kharisma dan aura NU menyeruak ke publik. Rais Aam Ajengan Ilyah Ruhiat, misalnya, berpidato secara singkat diapit dua Banser, dan seorang lagi pegang payung. Ketenangan Kiai Ilyas membuat kagum banyak orang.

Para pengisi acara lainnya nomor wahid semua. Qari kondang level internasional, Muammar ZA, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. KH Zainudin MZ, mubalig kondang yang tidak pernah menjadi pengurus NU, juga hadir. “Geng” Gus Dur yang terdiri dari para budayawan yang sering kena cekal, muncul dengan sumringah. Mereka adalah WS. Rendra, Eros Djarot, Emha Ainun Najib, Setiawan Djodi, dan lain-lain. Ratusan wartawan dalam dan luar meliput dengan antusias.

Mendagri Rudini yang ngotot minta acara dibatalkan akhirnya duduk di sisi Gus Dur dan memberi sambutan. “Hidup Pancasila, Hidup UUD 1945, Hidup NU,” kata Rudini saat memberikan kata sambutan.

Ada tokoh nasional yang datang secara mengejutkan dan membuat haru, yakni mantan Ketua Umum PBNU yang selama ini dianggap lawan politik Gus Dur, yakni KH Idham Chalid. Mantan Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini duduk dengan anteng di panggung utama, diapit Ajengan Ilyas Ruhiat dan Kiai Ma’ruf Amin. Tidak hanya itu, Kiai Idham diamanati menutup acara dengan doa.

Seusai perhelatan besar itu, Gus Dur selama berhari-hari didatangi wartawan. Salah satu pertanyaan yang banyak dilontarkan, “Gus, warga NU yang ke Jakarta hanya 400 ribu. Katanya dua juta? Kenapa gagal, Gus?”

Jawaban Gus Dur yang enteng menjadi viral, “Tidak gagal. Sebagian dicegat aparat di tengah jalan. Mereka tidak boleh masuk Jakarta. Sebagian lagi, tidak terlihat oleh Anda, karena mereka adalah ‘Jin NU’.”

Kiai Ilyas Ruhiat diapit Banser
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
6
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top