Dalam blog pribadinya, Khazanah Mushaf Al-Qur’an Nusantara, Ali Akbar beberapa kali menyorot anomali-anomali yang terjadi berkaitan dengan naskah-naskah kuno. Seperti ketika ia berbicara tentang Qur’an Kuno-kunoan, Qur’an “tiban”, Qur’an kecil peninggalan Cheng Ho, dan pembicaraan lain di bawah rubrik Jangan Langsung Percaya.
Tulisan-tulisan ini sesungguhnya bermaksud mengingatkan kepada para peneliti dan pengkaji naskah kuno untuk selalu menjaga skeptisismenya ketika berhadapan dengan informasi tertentu, termasuk dari sumber yang paling otoritatif sekali pun, seperti juru kunci atau bahkan catatan yang tertulis di dalam naskah.
Apa yang dibicarakan Ali Akbar ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi penulis. Terlebih karena pengalaman serupa yang pernah penulis alami ketika mendapati naskah mushaf kuno di Desa Gogodalem, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, tidak jauh dari tempat penulis tinggal.
Naskah yang menjadi koleksi masyarakat Gogodalem ini biasa disebut dengan Mushaf Blawong atau Qur’an Blawong. Berjumlah empat buah dan kesemuanya telah terdaftar di Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang berkode BRI 82, BRI 83, BRI 84 dan BRI 85. Oleh masyarakat setempat, naskah yang kini tersimpan di Masjid At-Taqwa ini dipercaya sebagai tulisan tangan asli Mbah Jamaluddin, salah seorang awliya’ yang menjadi cikal-bakal Desa Gogodalem selain Mbah Nitinegoro dan Mbah Marto Ngasono.
Keberadaan Mushaf Blawong
Menurut informasi yang diberikan oleh Kiai Ahsin, juru kunci mushaf yang juga dzuriyah Mbah Nitinegoro ke-14, Mbah Jamaluddin hidup sebelum masa Mbah Nitinegoro dan Mbah Marto Ngasono. Mbah Jamaluddin juga diriwayatkan memiliki tiga saudara, yakni Mbah Basyaruddin, Mbah Sirojuddin dan Mbah Tholabuddin, yang salah satunya, yaitu Mbah Basyaruddin, konon juga memiliki Mushaf Blawong dan tersimpan di Desa Pringapus, Kabupaten Semarang.
Dalam kajian yang telah dilakukan oleh Pipit Mugi Handayani (2008) di Desa Pringapus, penulis menemukan bahwa masa hidup Mbah Basyaruddin adalah sekitar 335 tahun yang lalu, atau secara umum masuk dalam lingkup abad ke-17, yang berarti menunjukkan bahwa masa hidup Mbah Jamaluddin kurang lebih semasa, yakni abad ke-17.
Dan karena dipercaya sebagai peninggalan Mbah Jamaluddin, maka Mushaf Blawong juga kurang lebih datang dari masa yang sama, yakni abad ke-17. Atau setidaknya hal ini yang menjadi kepercayaan masyarakat Gogodalem. Akan tetapi, jika berpijak pada ulasan Ali Akbar sebelumnya, sebagai seorang peneliti, penulis diharapkan untuk tetap skeptis dan tidak menerima begitu saja apa yang telah menjadi kepercayaan komunal ini.
Penulis kemudian berkonsultasi dengan Mas Nur Ahmad, penulis buku Filologi Naskah-Naskah Islam Nusantara dan Wajah Islam Nusantara. Mas Nur menyarankan untuk mencari informasi naskah lebih jauh melalui alas yang digunakan, seperti jenis kertas, watermarks, cauntermarks dan lain sebagainya.
Dan benar adanya. Setelah mendapatkan informasi awal sebagaimana disarankan oleh Mas Nur, penulis mendapati bahwa Mushaf Blawong tidak seperti sebagaimana kepercayaan yang ada. Hal ini penulis dasarkan pada beberapa hal. Diantaranya bahwa penulis tidak mendapati adanya shadow atau bayangan di sepanjang chain line atau garis vertikal kertas.
Riset Lanjutan
Sehingga kendati watermarks atau cap kertas (bukan cap air menurut Ali Akbar) yang ada menunjuk pada abad ke-17 sebagaimana informasi yang diberikan Churchill dalam Watermarks in Paper in Holland, England, France, etc., in the XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection, tetapi jika tidak ditemukan shadow, maka informasi Churchill ini tidak dapat digunakan seperti keterangan yang diberikan Pak Russell dalam catatan Ali Akbar, Cap Kertas “Blauw & Briel”.
Dari sini kemudian penulis mengambil kesimpulan bahwa naskah yang dinisbatkan pada Mbah Jamaluddin ini tidak berasal dari masa yang sama, melainkan lebih muda sekitar abad ke-19 atau paling awal 1820-an. Kendati masih harus dilakukan penelitian dan kajian lebih lanjut untuk mendapatkan validitas kesimpulan.
Skeptisisme semacam ini perlu dijaga dan dipelihara untuk menghasilkan objektifitas dalam sebuah penelitian dan kajian, terlebih dalam konteks pernaskahan kuno. Selain juga harus dibarengi dengan ketelitian dan kesabaran dalam proses penelitian yang tengah dilakukan. Wallahu a‘lam bi al-shawab.
-- Download Belajar Skeptis dari Ali Akbar as PDF --