Sedang Membaca
Anak-Anak Waktu di Zamrud Khatulistiwa
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Anak-Anak Waktu di Zamrud Khatulistiwa

Keluarga besar kami dari sulur Ibu, selaik Indonesia Raya. Paling tidak, Ayah yang berlatar Muhammadiyah, merelakan kami sekolah di MTs al Jam’iyatul Washliyah, Medan. Lembaga pendidikan binaan Nahdlatul Ulama.

Setiba di Jawadwipa pada 1997, kami mulai bersinggungan dengan kawan-kawan aktivis NU & MU, melalui alam pikiran. Harap Anda tidak salah fokus. Ini bukan tentang persaingan antara klub Manchester United dengan Newcastle United.

Kami bolak-balik menyambangi bilik-bilik kobong pesantren salaf sedari Pandeglang hingga ujung timur Jawa—demi ngalap berkah para kiai. Pun tak terhitung sudah kami menghadiri gelaran panggung ilmiah yang diselenggarakan kalangan cerdik cendekia Muhammadiyah.

Maka kerana itulah, kami beroleh pahaman sejarah serta latar belakang pendirian dua organisasi Islam yang usianya telah melebihi satu abad. Jauh lebih tua daripada Indonesia.

Mari sejenak kita masuk ke lubang waktu sejarah…

Semarang. Di pondok pesantren asuhan KH. Murtadho, sang menantu, KH. Sholeh Darat as-Samarani, mengajar para santrinya ilmu dasar keislaman seperti tasawuf dari Kitab al-Hikam dan Kitab al-Munjiyah (karya KH. Sholeh Darat); fiqih (Kitab Lataifut Thaharah wa Asrarus Shalat), serta beragam ilmu yang lain.

Di pesantren ini, dua orang santri muda yang kelak akan turut berperan menumbuhkembangkan geliat Islam di Indonesia, juga sedang bergiat mengaji. Keduanya sama mewarisi darah Syekh Maulana Malik Ibrahim, Mpunya Wali Songo angkatan pertama yang datang dari Persia.

Santri pertama berumur 16 tahun (l. 1868 M), bernama Mohammad Darwisy. Ia dilahirkan dari kedua orangtua yang dikenal alim,  KH. Abu Bakar (Imam Khatib Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (putri H. Ibrahim, HoofdPenghulu Yogyakarta).

Kakeknya adalah KH. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadha bin Kiai Ilyas bin Demang Jurung Juru Kapindo bin Demang Jurung Juru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Ishaq bin Mawlana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Sedang santri kedua berusia 15 tahun, Muhammad Hasyim. Ayahnya adalah kiai kenamaan, KH. Asy’ari (pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang) bin Abu Sarwan bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Abdurrahman (Pangeran Samhud Bagda) bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).

Dari garis ibu, Halimah, Muhammad Hasyim memiliki kakek bernama Kiai Usman (pimpinan Pesantren Gedang). Buyutnya, Kiai Sihah, juga pendiri pondok pesantren Tambakberas. Jika dirunut ke atas, Muhammad Hasyim adalah turunan ke delapan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang kemudian menjadi Raja Pajang.

Muhammad Hasyim, lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, pada Selasa 24 Dzulqo’dah 1287 H/14 Februari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahirannya sudah menampakkan keistimewaan isyarat yang menunjukkan kebesarannya kelak.

Satu di antaranya, ketika dalam kandungan, Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh ke dalam kandungannya. Begitu pun ketika melahirkan, Nyai Halimah tidak merasakan sakit yang dialami kaum perempuan saat melahirkan.

Setelah sekira sembilan tahun mukim dan belajar di Pesantren Keras sampai berusia 15 tahun), Muhammad Hasyim mulai melakukan pengembaraannya mencari ilmu ke pondok-pondok pesantren masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur.

Di antaranya adalah Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban, kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Syaikhona Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhona Khalil Bangkalan).

Di Bangkalan inilah Mohammad Darwisy bertemu pertama kali dengan Muhammad Hasyim. Setelah tuntas belajar pada Mbah Khalil, keduanya masing-masing dibekali kitab sebagai bekal mengaji pada Kiai Sholeh Darat, di Semarang.

Kala itu, Kiai Sholeh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, ahli tafsir, ahli falak. Keluarga besar RA Kartini juga mengaji pada beliau. Bahkan atas masukan Kartini-lah, Kiai Sholeh Darat menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa agar bisa dipahami banyak orang di tanah Jawa.

Selama nyantri di bawah naungan Kiai Sholeh Darat sepanjang dua tahun penuh, Mohammad Darwisy memanggil Hasyim—teman sekamarnya, dengan sebutan Adi Hasyim. Sementara Muhammad Hasyim menyapa Mohammad Darwisy dengan sebutan Mas Darwis.

Ketekunan dua santri jenius ini kemudian berbuah “pengusiran” mereka oleh sang kiai—ke Tanah Suci, Makkah. Sebelum berangkat ka jazirah Arabia, Mohamamd Darwisy sempat melanjutkan pelajarannya belajar ilmu fiqih pada KH. Muhammad Shaleh, belajar ilmu nahwu pada KH. Muhsin dan KH. Abdul Hamid.

Sementara itu, keahliannya dalam ilmu falak diperoleh dari berguru pada KH. R. Dahlan, salah seorang putra Syekh Mahfudz Termas. Sedangkan ilmu Hadits yang dikuasainya diperoleh dari KH. Mahfud Syaikh Khayat, dan KH. Muhammad Nur.

Baca juga:  Di Bandara Soetta, Berjumpa Kiai yang Punya 200 Karya

Seperti juga Darwisy, pemuda Hasyim terpikat untuk lebih lama memperdalam ilmu di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, pimpinan Kiai Ya’kub. Di sana, berkat ketajaman akalnya, Hasyim segera menjadi santri menonjol. Perilaku dan tekadnya, mencuri hati pimpinan pesantren. Bahkan belakangan, sesuai tradisi lingkungan pesantren, Kiai Ya’kub pun mengangkat Hasyim sebagai menantu.

Ia dinikahkan dengan Khadijah, pada usia 21 tahun (1308 H). Setelah pernikahan, Hasyim bersama istri dan mertuanya, menunaikan ibadah haji. Setiba di Makkah pada 1883, ia bertemu Darwisy lagi.

Mereka pun segera menjadi murid kesayangan Imam Masjid al-Haram, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Nawawi al-Bantani (yang kelak menggantikan jabatan Syaikh Ahmad Khatib), dan Syeikh Mahfudz Termas. Selain tiga nama tokoh kawakan itu, masih ada lagi Kiai Mas Abdullah (Surabaya) dan Kiai Faqih Maskumambang.

Puluhan ulama Makkah waktu itu berdarah Nusantara. Praktik seperti; tasawuf, wirid, tahlil, membaca Barzanzi (Diba’) yang menjadi bagian dari kehidupan ulama Nusantara, diamalkan di sana. Tentu saja, itu pula yang diajarkan pada para santri seperti Mohammad Darwisy, Muhammad Hasyim, Wahab Chasbullah, Syekh Abdul Kadir Mandailing, dll.

Dari sini tampaklah kecenderungan Muhammad Hasyim yang sangat mencintai Hadis, sementara Mohammad Darwisy lebih tertarik bahasan pemikiran dan gerakan Islam.

Di antara guru-guru Hasyim, Syeikh Mahfudz lah yang sangat menyayanginya. Hasyim memperdalam ilmu Hadis dari Syeikh Mahfudz yang dikenal sebagai isnad (perantai) dalam pengajaran Kitab Shahih al-Bukhari. Bahkan, ia pun mendapatkan ijazah dari sang guru atas penguasaannya pada kitab tersebut.

Syeikh Mahfudz merupakan generasi terakhir dari 23 generasi ulama ‘Shahih al-Bukhari’ yang mendapatkan ijazah langsung dari Imam Bukhari. Hasyim kemudian memeroleh ijazah itu dari Syeikh Mahfudz, pertanda besarnya penghargaan sang guru pada muridnya.

Hasyim memang laiknya musafir di sisi Baitullah. Malam-malamnya, diisi dengan menyimak pengajaran dari sang guru. Bersama santri dari pelbagai negeri manca, ia duduk dalam lingkaran disiram cahaya fanus (pelita). Di tengah lingkaran, sang guru dengan jubah kebesarannya, memberikan wejangan dan pengajaran.

Di saat senggang, ia terisak di sisi makam Rasuluhlah Saw, maupun di tempat mustajab yang lain, memanjatkan doa pada Allah Swt agar dapat mengharumkan Islam. Saat hendak kembali ke Tanah Air, Hasyim bersama beberapa santri seperguruan di antaranya, Pangeran Syiria, mengikat ikrar, disaksikan Baitullah.

Doa dengan linangan air mata itu, kemudian dikabulkan Allah. Ikrar tersebut menyatukan mereka kelak menjadi pemuka agama di negeri masing-masing. Sekembali ke Tanah Air, ia pun bersungguh-sungguh mengajarkan ilmu yang diperolehnya di Tanah Suci.

Bahkan, kemudian ia memilih membuka pesantren di Tebuireng. Pilihan ini sempat menjadi bahan tertawaan. Sebab Tebuireng kala itu adalah muara maksiat. Sebagian penduduknya masih terbiasa dengan judi, zinah, bahkan merampok. Di pusat kekelaman itulah, Hasyim muda menyalakan pelita ilmu.

***

Pada usia 20 tahun (1888), Darwisy kembali ke Yogyakarta dan ia pun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Dua tahun berselang pada usia 22 tahun, Darwisy menunaikan ibadah haji. Kesempatan tersebut ia pergunakan sebaik-baiknya untuk belajar pada seorang guru bermazhab Syafi’i yang bernama Sayid Bakir Syaththa di Makkah, selama kurang lebih dua tahun.

Tokoh inilah yang mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan, terinspirasi dari nama mufti Makkah, Ahmad bin Zaini Dahlan.

Muhammad Hasyim pulang ke Jombang. Di sana, kakek Cak Nun (Emha Ainun Najib), KH Muhammad Ikhsan, telah menantinya penuh rindu. Bersama lima kiai lain dari Cirebon, kakek Cak Nun nan ‘sakti’ inilah yang menaklukkan kawasan rampok dan durjana bernama Tebuireng, untuk didirikan pesantren. Ia memohon pada Hasyim muda agar berkenan mengajar di situ. Maka dibukalah pengajian ‘Shahih al-Bukhari’ di Jombang.

Sejak memulai pengajian Shahih al-Bukhari, Beliaulah orang yang menjadikan pengajian hadis dinilai penting dan terhormat. Sebelum Hadratussyekh memulai Pondok Pesantren (ponpes) Tebuireng-nya dengan kajian Shahih al-Bukhari, umumnya ponpes cuma mengajarkan tarekat saja.

Tak lama berselang, Ponpes Tebuireng pun kian maju. Para santri mulai berdatangan dari seantero Nusantara. Hubungan baik pun terjalin dengan Kiai Abdul Wahab Chasbullah, Tambakberas, putra Kiai Wahab Chasbullah. Tebuireng juga berhubungan baik dengan KH. Bisyri Syansuri, Denanyar.

Kelak, KH. Abdul Wahid Hasyim, putra Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, menikahi putri beliau (ibu Gus Dur). Sementara KH. Bisyri Syansuri juga beriparan dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah. Inilah yang kelak menjadi segitiga pilar NU: Tambakberas-Tebuireng-Denanyar.

Pemimpin Dunia Berbakat Akhirat

Pada usia 35 tahun, untuk kedua kalinya Kiai Dahlan menunaikan ibadah haji bersama putranya, Siraj Dahlan yang masih berumur 13 tahun. Selama 1,5 tahun mereka bermukim di Makkah guna memperdalam ilmu fikih pada Syekh Saleh Bafadal, Syaikh Sa’id Yamani, dan Syaikh Sa’id Babusyel. Ia juga belajar ilmu hadis pada mufti mazhab Syafi’i, ilmu falaq pada Kiai Asy’ari Bawean, ilmu qiraat (langgam bacaan Alquran) pada Syekh Ali Misri Makkah.

Baca juga:  Syekh Ahmad Jam: Kisah Hijrah Seorang Sufi

Kepulangannya yang kedua dari Makkah inilah yang kemudian menjadi tonggak Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 M. Sahabat santrinya dulu, yang telah dikenal sebagai Hadratussyekh Hasyim Asy’ary, kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M.

Bakat memimpin kedua tokoh ini sejatinya telah muncul sedari mereka masih belia. Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, misalnya. Ia gemar melerai temannya yang bertengkar, dan merukunkan mereka kembali. Bahkan pernah kepalanya sampai berdarah terkena pukulan dari salah satu temannya yang sedang ribut itu. Tapi ia tidak marah dan tidak membalas. Karena sikapnya yang baik, kedua orang yang bertengkar itu pun akhirnya berhenti, dan merawat kepala Hasyim kecil.

Semasa masih remaja, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari juga pernah menggembala sapi dan kambing ketika nyantri pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Ia yang merawat, membersihkan kandang dan mencari rumput bagi hewan gembalaan. Itu dilakukannya semata-mata karena patuh terhadap titah sang guru.

Bahkan pernah suatu hari, ia dengan senang hati membongkar septic tank dan mengaduk-aduk isinya hanya demi mencari cincin sang guru yang kecebur di kloset hingga benda itu pun ia temukan. Bagi Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, patuh dan menghormati serta membahagiakan guru adalah segalanya.

Dari situlah barokah (berkah) sang guru diharapkan bisa hinggap. Pada kenyataannya, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari memang menjadi tokoh besar—bahkan “melampaui” gurunya.

Hadratussyekh juga mendalami ilmu kanuragan, pencak silat. Ini tak lepas dari kondisi sosial yang memang menuntutnya mempunyai keahlian bela diri. Ketika itu, Tebuireng–tempat tinggalnya yang baru—termasuk daerah yang berbahaya lantaran masyarakatnya banyak yang suka mabuk-mabukan, berandalan, penjudi, dan bromocorah. Pernah beberapa kali, kediamannya disatroni penyamun. Itulah sebabnya beliau dan para santrinya belajar pencak silat, dengan mendatangkan guru ilmu kanuragan dari Cirebon.

Lain lagi dengan Darwisy kecil yang gemar bermain petak umpet, gobag sodor, dan sepak bola. Ia tak pernah absen bermain bola bersama teman-temannya ketika menjelang sore. Biasanya, Darwisy dan teman-teman bermain sepakbola seusai mengaji pada sore hari di bawah bimbingan Kiai Kamaludiningrat di Masjid Gede Kauman.

Darwisy dan kawan-kawannya sering bermain bola tak jauh dari tempat mereka mengaji, yakni di alun-alun utara, atau sesekali di alun-alun selatan yang tak jauh dari rumahnya. Walaupun permainan yang berlangsung sering tidak berpihak pada timnya, tidak menjadikan jiwa dan raga Darwisy lesu.

Ia tetap semangat walaupun telah dicederai pihak lawan. Bahkan ia tidak mendendam akibat permainan curang itu. Di sinilah etos kedisiplinan dan kejantanan dijunjung tinggi oleh Darwis.

Tak heran jika kelak Darwisy yang kemudian dikenal sebagai KH. Ahmad Dahlan berubah menjadi orang besar dan berkharisma dalam memimpin organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan. Sejak kecil, ia secara alamiah memang terlatih sebagai pemimpin yang dicintai.

Saat memimpin, ia menekankan strategi dan kerja sama yang dibangun bersama dalam tim. Hingga kini, Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi dengan kepemimpinan secara kolegial.

Kepemimpinan model ini tidak menonjolkan kharisma seseorang, melainkan dengan kerja sama dan mencari titik temu jika terjadi perbedaan di antara para pemimpin. Berdasar karakter kepemimpinan tersebut, maka proses generasi pelanjut dapat berlangsung nyaris tanpa hambatan. Masyarakat pun akan lebih mengenal amal usaha Muhammadiyah, seperti ribuan sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, tinimbang nama pemimpinnya.

Langkah yang dipilih KH. Ahmad Dahlan demi mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Magelang, dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis, Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk meng­ajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.

Langkah yang ditempuh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari lain lagi. Ia memilih mendidik santri Tebuireng dengan balutan semangat hubbul wathan (cinta bangsa). Hal ini terbukti pada 1945.

Hadratussyeih dan para ulama NU di Jawa Timur mengeluarkan Resolusi Jihad, yang mewajibkan umat Islam, terutama kalangan Nahdliyin, untuk mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad), yang berlaku bagi setiap Muslim yang tinggal radius 94 kilometer dari Tebuireng. Sedangkan mereka yang berada di luar radius tersebut, harus membantu dalam bentuk material bagi mereka yang berjuang.

***

Ahmad Dahlan termasuk orang yang sangat hati-hati dalam kehidupan sehari-harinya. Tersirat jelas pada sebuah nasihat dalam bahasa Arab yang ia tulis untuk dirinya sendiri:

“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, dan pasti harus dilewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya.

Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab (perhitungan), surga, dan neraka. Dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat padamu, dan tinggalkanlah lainnya.” (Diterjemahkan oleh Jarnawi Hadikusumo)

Baca juga:  Dialog Imajiner Djaduk Ferianto dan Didi Kempot: Tak Ada Kaplingan di Surga

Selain itu, kebiasaan KH. Ahmad Dahlan mengajar pendidikan agama dengan media biola terbilang fenomenal dan tidak lumrah bagi masyarakat Kauman—tempatnya tinggal—kala itu. Mereka bahkan menganggap apa yang diajarkan oleh Kiai Dahlan adalah pelajaran orang kafir.

Kendati demikian, Kiai Dahlan terus menjalankan kebiasaan ini tanpa merasa takut atau gentar. Dalam banyak kesempatan ia malah terus bermain biola. Sesungguhnya, dengan biola, Kiai Dahlan ingin mengajarkankan pada para santrinya bahwa hidup adalah keselarasan. Jika tidak selaras sesuai tuntunan agama, maka hidup akan berantakan. Seperti halnya biola, jika tidak dipetik dengan piawai, bunyi yang dihasilkan tidak beraturan.

 

Dawai Lenting NU-MU

Irisan kisah perjuangan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan di atas masih terus berlanjut hingga suatu hari seorang santri Hadratussyekh melapor, ada gerakan yang ingin memurnikan agama & aktif beramal usaha dari Yogyakarta. Beliau pun tangkas menjawab, “O kuwi Mas Dahlan. Ayo padha disokong: Itu Mas Dahlan, ayo kita dukung sepenuhnya”.

Sebagai bentuk dukungan pada perjuangan KH. Ahmad Dahlan, Hadratussyekh menulis kitab tentang  Kemungkaran Maulid Nabi dan Bidahnya. Bagi Hadratussyekh, peringatan itu banyak bidah dan mafsadatnya. Keunikan lain dari sosok mulia ini adalah, Beliau adalah satu-satunya kiai NU yang tidak diperingati haulnya (peringatan kematian).

Becermin dari cerita di atas, apakah Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj berkenan menulis kitab juga untuk Dr. H. Haedar Nashir dan Muhammadiyah yang ia pimpin?

Ketika akhirnya gesekan makin sering terjadi antara anggota Muhammadiyah vis a vis kalangan pesantren, Hadratussyekh turun tangan dengan wejangannya yang meneduhkan, “Kita & Muhammadiyah sama. Kita taqlid qauli (mengambil pendapat ulama Salaf’), mereka taqlid manhaji (mengambil metode).”

Mendapat dukungan sedemikian rupa, KH. Ahmad Dahlan sang putra penghulu keraton itu amat bersyukur. Sebagai bentuk ucapan terimakasih, Beliau lantas mengirim hadiah ke Tebuireng. Hubungan kedua keluarga mereka pun kian akrab. Sampai generasi keempat, putra-putri Tebuireng yang kuliah di Yogyakarta pasti selalu indekos di kediaman keluarga KH. Ahmad Dahlan di Kauman—termasuk Gus Dur.

Ahmad Dahlan juga terbiasa mengamalkan amalan-amalan yang dilakukan oleh kaum Nahdliyin. Misal, membaca doa qunut ketika Salat Subuh, ikut yasinan, tahlilan, dan shalat tarawih 20 rakaat.

Memang saat ini sebagian warga Muhammadiyah melaksanakan shalat tarawih delapan rakaat. Tapi tidak demikian dengan pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Ia terbiasa melakukan Salat Tarawih sebanyak 20 rakaat dengan 10 salam. Kebiasaan KH. Ahmad Dahlan yang demikian itu tidak terlalu berlebihan.

Pasalnya, bersama Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, ia belajar pada ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i, di Makkah. Tak hanya itu, di dalam kitab fiqih Muhammadiyah (karangan KH. Ahmad Dahlan) yang asli, pada bab salat disebutkan bahwa Salat Tarawih adalah salat dengan 20 rakaat dan setiap 2 rakaat harus salam.

Ahmad Dahlan tetap menggunakan qunut, dan tidah pernah berpendapat bahwa qunut Salat Subuh Nabi Muhammad Saw adalah qunut nazilah (qunut yang merujuk pada doa dalam sholat di tempat yang khusus sewaktu berdiri). Sebab Beliau sangat memahami ilmu Hadits dan fikih. Pun begitu dengan tarawih. Landasannya adalah, penduduk Makkah sejak berabad lamanya, sejak masa ‘Umar ibn al-Khattab, telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan tiga witir, hingga sekarang.

Hari ini, Muhammadiyah dan NU sudah rujuk kembali. Kami turut berbahagia berada di antara rengkuhan dua organisasi akbar dalam skala dunia ini.

Keduanya sama memiliki sayap politik. NU dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sedang Muhammadiyah dengan Partai Amanat Nasional-nya (PAN). Jika keduanya menyatu padu mengawal pesta politik lima tahunan negara kita, niscaya tugas berat Presiden Jokowi jadi lebih manusiawi.

Hemat kami, NU & Muhammadiyah punya ikatan kuat dengan keutuhan bangsa. Justru perkara terbesar ada pada akar tumor & kanker HTI yang tiada pernah rela negeri indah ini adem ayem tentram kerta raharja.

Lain lubuk lain ladang. Lain ikan lain belalang. Lain NU lain Muhammadiyah. Tapi siapa kita? Indonesia! Mari kita ngopi, Kisanak. []

Depok, 7 Maret 1941 Çaka

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top