Karkheh, nama sebuah sungai di selatan Iran yang pernah menjadi saksi sejarah perang Iran-Irak. Ketika kota Khorramshar jatuh ke tangan Saddam Husain, sungai Karkheh menjadi tempat pertahanan penting. Banyak kisah duka tertoreh di tepian sungai ini.
Ibu yang kehilangan anaknya, adik yang kehilangan kakaknya, juga anak yang kehilangan ayahnya. Konon, pasukan Saddam menyemprotkan senjata kimia secara membabi buta. Mereka yang masih hidup pun harus menyandang cacat seumur hidup.
Seperti judulnya, film besutan sutradara kenamaan Ebrahim Hatamikia (61) ini juga menceritakan para relawan yang menderita akibat perang. Hatamikia memang sutradara yang piawai membuat film dengan latar perang, kalau tidak ingin disebut seluruh filmya mengusung tema perang.
Film-filmnya garapannya langganan nangkring di berbagai festival film. From Karkheh to Rhein sendiri berhasil menyabet penghargaan Simorgh untuk kategori film terbaik tahun 1993 pada Festival Film Fajr, ajang penghargaan film paling bergengsi di Iran.
Hampir seluruh pengambilan gambar film yang berdurasi 93 menit ini, dilakukan di Kehl, kota di barat daya Jerman. Film dimulai dengan menampilkan pesawat yang sedang landing. Beberapa penumpang warga Iran terlihat keluar dari bandara, di antaranya para veteran dan relawan perang yang akan berobat di Jerman, termasuk Said yang diperankan oleh Ali Dehkordi. Ia akan menjalani operasi mata yang selama tiga tahun buta lantaran pengaruh gas beracun.
Cerita film berlanjut pada pertemuan antara Said dan kakaknya, Leila yang diperankan oleh Homa Rousta. Leila menikah dengan warga Jerman dan sudah lama menetap di kota Kehl. Ia tak kuasa menahan tangis, setelah belasan tahun tak bertemu, mendapati kenyataan adiknya yang buta. Adegan sentimentil ini dilatari hujan yang deras dengan iringan musik melankolis. Emosi penonton semakin terbawa hanyut.
Konflik-konflik kecil mulai muncul ketika Said yang lahir dan besar dalam tradisi keagamaan Timur harus beradaptasi dengan kehidupan western. Di sisi lain, berbagai masalah satu demi satu menimpa teman-teman seperjuangannya. Dari mulai temannya yang ingin mengganti warga negara sampai kematian salah seorang teman dekatnya. Semuanya menorehkan catatan pahit hari-hari Said di perantauan.
Tibalah hari yang dinanti ketika operasi mata Said berhasil. Ia kembali dapat melihat dunia setelah tiga tahun berada dalam gelap. Betapa bahagianya akhirnya ia bisa menyaksikan senyum kakak dan keponakannya, Yunes. Hal yang sangat ia nantikan adalah bisa kembali bertemu dengan istri dan memandang wajahnya yang sejak pertama menikah belum pernah ia lihat. Said penuh suka cita bersiap kembali ke tanah air.
Sayangnya, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Mata Said memang sembuh, tapi hasil diagnosa medis terakhir menunjukkan, ia menderita leukemia stadium tinggi. Sebuah kenyataan yang sama sekali tak terduga. Di sinilah titik klimaks film terjadi, ketika Said berdiri di tepi sungai Rhein. Dalam kesendirian, ia berteriak menyuarakan pergumalan batinnya. Seorang yang telah totalitas mencintai dan mengabdi pada negerinya, kini harus merasakan hari-hari terakhirnya di negeri terasing.
Tuhan…
Mengapa di sini..
Kucari Engkau di daratan dan lautan
Engkau tak jua menjemputku
Kucari Engkau sampai ke gurun
Hanya Kau ambil mataku
Mengapa di sini…
Aku mengadu padaMu
Kemana Rahman RahimMu
Tuhan…
Mengapa di sini
Suara lonceng gereja membangunkan Said yang tertidur di bangku kayu, persis di tepi sungai Rhein. Ia menyeret langkahnya ke arah gereja, duduk bersila di sudut ruangan sambil terus merapal zikir dan doa.
Sementara lagu-lagu kebaktian mulai menggema ke seluruh ruangan. Karena pengaduan salah seorang jamaat, polisi datang untuk menangkap Said yang dianggap mengganggu ketertiban. Tapi pembelaan pendeta gereja ini sungguh luar biasa: “Memang kami kedatangan tamu asing, tapi ia juga sedang berdoa dengan caranya”
Hari-hari Said berikutnya sudah mulai berjalan normal. Ia mau menjalani kemoterapi dan berbagai pengobatan lainnya. Tapi lagi-lagi pertahannya runtuh saat melihat film dokumentasi tentang kematian Ayatullah Khomeini.
Suami Leila berprofesi sebagai pembuat film dokumenter dan ia pernah meliput langsung pemakaman Ayatullah Khomeini yang saat itu cukup menyedot perhatian dunia. Secara tak sengaja, Said menemukan rekaman itu. Ia terkulai lemas melihat jutaan orang yang sedang mengantarkan pemimpin mereka. Kerinduan pada tanah airnya tak lagi dapat dibendung.
Kondisi kesehatan Said semakin memburuk sampai akhirnya ia menutup mata di tempat yang jauh dari tanah kelahirannya. Scene terakhir film ini memperlihatkan pesawat yang sedang take off. Dalam pesawat itu, Leila menahan haru akan kembali ke tanah kelahirannya, setelah tiga belas tahun tak ada keinginan untuk pulang. Jenazah Said telah kembali melabuhkan dirinya di kampung halaman. Sebagai seorang perantau yang selalu merindukan tanah air, emosi saya terasa campur aduk menyaksikan penutup film ini.
Tapi siapa sangka film ini pernah mengalami penolakan saat akan ditayangkan secara perdana.
Hatamikia dalam sebuah konferensi pers, secara mengejutkan pernah membeberkan cerita di balik kesuksesan film ini. “Waktu itu ada 500 surat yang ditujukan ke kantor pimpinan tertinggi Iran sekarang, Ayatullah Khamanei, agar film ini tidak lolos sensor. Setelah Rahbar, panggilan masyarakat Iran untuk pemimpinnya, menonton langsung film ini dan menganggap film ini tetap layak tayang di bioskop,” kenang Hatamikia.
Ia sendiri tak menjelaskan, bagian mana yang melahirkan pro kontra. Hatamikia hanya menutup penjelasannya dengan kalimat: “Kalau waktu itu film ini tidak diloloskan, cerita Karkheh tak akan sampai ke Rhein”.
Film yang mulanya diteriaki subeversif oleh penguasa, namun, lambat laun, seiring bertambah dewasanya pemerintah dan masyarakat, film ini kemudian dicintai seluruh warga penjuru negeri. Film From Karkheh to Rhein ini, selalu ditayangkan di televisi nasional Iran pada hari-hari bersejarah. Ia semacam film andalan untuk mengingatkan lagi tentang spirit kebangsaan dan nasionalisme di Iran.
Itulah film From Karkheh to Rhein, ia menjadi saksi perubahan sebuah pikiran dan sikap manusia.