Edy Sedyawati dkk dalam Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum mengungkapkan bahwa masa periode Islam merupakan masa pengambila alihan oleh agama Islam dengan seluruh konsep dasarnya termasuk tata masyarakat, sastra, aksara Arab Pegon, bangunan masjid, kaligrafi dan unsur-unsur tertentu dalam seni pertunjukan. Semua hal tersebut dipelopori oleh Walisongo dalam rangka mendakwahkan Islam kepada masyarakat Jawa.
Menurut Widji Saksono, dalam buku Mengislamkan Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo, terdapat empat metode yang digunakan oleh para Walisongo: Pertama mauidzotu al-hasanah wa mujadalah bil lati hiya ahsan, metode ini menurut Saksono diterapkan bagi mereka dari kalangan terpandang, bangsawan istana dan adipati-adipati di seluruh wilayah pemerintahan. Praktiknya dengan mendekati secara personal, bersahabat baik melalui perenungan maupun dialog, atau bahkan dengan bukti lunuwih atau kesaktian. Seperti Kisah Sunan Kalijogo berhadapan dengan Pandan Arang, atau Sunan Ampel kepada Adipati Palembang, Arya Damar.
Kedua, metode al-hikmah, metode ini diterapkan kepada orang awam dan dipraktikkan dengan cara atraktif dan kreatif melalui media-media populer yang dapat menarik hati orang awam. Contoh dalam kategori ini, sebut Saksono, seperti usulan Sunan Kalijogo membuat Sekaten, Gendhing, Wayang Lakon Dewa Ruci misalnya.
Ketiga dengan metode tadarruj atau tarbiyatul ummah, seperti pendirian padepokan, poondok dan tempat-tempat pendidikan ngaji lainya. Keempat ialah dengan metode pengkaderan, yakni denga mengutus para murid untuk menjalankan misi-misi dakwah ke berbagai daerah.
Sejalan dengan metode tersebut, bisa jadi tradisi ‘Gembrungan’ yang mengakar di wilayah eks-Karisidenan Madiun merupakan peninggalan para murid atau bahkan Walisongo itu sendiri.
Namun, kepastian siapa kreator dari Gembrungan belum diketahui secara pasti. Misal penelitian Rido Kurnianto dengan judul Pola Sosialisasi Nilai Ajaran Agama dan Budi Pekerti Berbasis Akulturasi Budaya Seni Sholawatan Gembrung telah melakukan wawancara dengan berbagai komunitas yang ada di sekeliling Madiuan, dan dia menyatakan, meskipun telah berkembang di berbagai kota di Jawa Timur, atau yang akrab dengan wilayah Mataraman, namun tidak dapat dipastikan siapa sesungguhnya pelopor atau penemu Gembrungan ini.
Senada dengan penelitian Kusnanto, Riza Khoirur Roda’i & Novi Triana Habsari, dengan judul Kesenian Gembrungan di Desa Kaibon Kecamatan Geger Kabupaten Madiun (Kajian Nilai-nilai Kearifan Lokal Sebagai Pembelajaran Sejarah Lokal, memperkuat tentang keluhuran tradisi Gembrung yang mengandung ibrah dan pelajaran yang patut direnungkan dan diamalkan.
Sebab, lanjut Roda’i dan Habsari, terdapat ragam nilai: seperti pendidikan, religi, etika, spiritual, seni, kekeluargaan dan budaya. Seiring dengan perubahan zaman, tradisi Gembrungan terus mengalami ketergilasan. Oleh sebab, itu sudah menjadi tanggung jawab pemerintah setempat untuk menyemarakkan kembali kesenian khas ini.
Tidak lengkap kirannya, bila Gembrungan tidak disertai dengan teks lagu atau Gending yang biasa didendangkan dengan suara mendayu-dayu. Teks lagu atau Gending ini biasa dipentaskan bersamaan dengan Gembrungan. Instrumen utama dalam pagelaran Gembrung ialah Kendang dan Gembrung.
Profil Kendang secara umum telah dapat dimengerti olah banyak orang, sementara Gembrung ialah Kendang besar dimana di satu sisi dipasang kulit untuk ditabuh, dan di sisi lain, dibiarakan berlubang terbuka kira-kira sebesar seperlima ukurannya.
Temuan Kurnianto, Gembrung merupakan kesenian yang mengintegrasikan tradisi pembacaan selawat dengan iringan musik Terbangan yang dikolaborasikan dengan Gamelan, Kendang, serta teks lagu atau gending. Kesenian ini berkembang seiring dengan tradisi peringatan Maulid Nabi, Rejeban, Tingkeban, Piton-Piton dan perayaan sejenis lainya. Dalam konser Gembrungan, terdapat tiga gending atau teks lagi yang biasa dilantunkan: Khotaman Nabi, Alon-alon dan Sifat Papat.
Beberapa bait dari lirik Khotamana Nabi sebagai berikut:
Khotaman Nabi (Mi’roj Rasulillah), Khotaman Nabi Rosulillah, Mustopaallahi Muhammad, ‘Ajam-‘Arabi Rasulullah, Mukhtarullah Muhammad, Gusti Nabi Rosululloh, Habibulloh Muhammad
Nyariosaken Mi’roje Jeng-Dutone Hyang Kolone
Ning Sa’jroning Baitul Harom-Bakdo Isyak Wancine
Menceritakan Mikraj Nabi-Utusan Tuhan Penguasa Masa
Di dalam Baitul Haram-Setelah Isyak Waktunya
Nujuwulan Rojab-Kaping Pitulikur Tanggale
Bubar Sagung king Sholat Njeng-Rosulullah Mung dewe
Di bulan Rojab ke-Duapuluhtujuh tanggalnaya
Selepas Salat, Nabi-Sang Rasul Hanya Sendirian
Tandyo Wonten Jundakane-Hyang Sukmono Ngarsane
Sang Jibroil Uluk Salam-Giyo Jinawab Salame
Tanpa ada Pendamping-Di hadapan Tuhan Yang Haq
Jibril memberi salam-lantas salamnya dijawab
Malih Nabdo Sang Jibroil-Mring Njeng Mustopa Jatine,
Prapto Hambodinutonga-‘Azza wa Jalla Ngarsane
Tuan Kinen Minggah Dateng-Deneng Jalal Mung Dewe
Kemudian, Jibril berkata-Kepada Mustopa Langsung
Tujuan Hamba diutus-Allah Azza wa Jalla Langsung
Tuan, dimohon naik ke Hadapan Gusti Jalal sendirian
Semoga membaca tulisan singkat ini bisa dibaca khalayak luas khususnya juga Bupati Kabupaten Madiun H. Ahmad Dawami (Kaji Mbing) dan berkemauan untuk menindaklanjuti dalam bentuk pelestarian dengan menampilkannya dalam acara-acara resmi pemerintah.
Sebab, seni ini hampir terpinggirkan oleh arus kesenian non lokal yang mengepung dan membombardir eks-karisidenan Madiun. Kebijaksanaan pemerintah akan sangat menentukan keberlangsungan tradisi ini. Wallahu a’lam bis showab.
Bacaan lanjutan:
Edy Sedyawati, Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, cet-1 (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 2
Rido Kurnianto, Pola Sosialisasi Nilai Ajaran Agama dan Budi Pekerti Berbasis Akulturasi Budaya Pada Seni Selawatan Gembrung, Jurnal el-Harakah UIN Malang Vol. 14 No. 2 Juni 2012, h. 206-25.
Riza Khorur Roda’i & Novi Triana Habsari, Kesenian Gembrungan di Desa Kaibon Kecamatan Geger Kabupaten Madiun (Kajian Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sebagai Pembelajaran Sejarah Lokal, Jurnal Agastya Universitas PGRI Madiun Vol 6 No 2 Juli 2016, h. 112-36.
Widji Saksono, Mengislamkan Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, (Bandung: Mizan, 1996), h. 87.