Gus Dur adalah seorang Sayyid sejati. Sebab yang berhak mengenakan gelar sayyid adalah orang yang jelas-jelas bermanfaat bagi manusia dan menyelamatkannya dari pertumpahan darah ketika terjadi konflik apapun.
Nabi Muhammad Saw pun menyematkan dan menggantungkan gelar sayyid dengan peran sejauh mana seseorang bermanfaat bagi manusia dan sejauh mana ia mampu mendamaikan mereka ketika terjadi pertikaian. Inilah makna sayyid sebenarnya. Pakar fikih dan hadits Eropa, al Muhallab Abu Al Qasim bin Ahmad bin Usaid bin Abi Shufrah at Tamimi al Andalusi (w. 435 H/1044 M) sebagimana dikutib Ibn Batthal dalam kitab Syarh Shahih al Bukhari (VIII/95) menjelaskan:
أن السيادة إنما يستحقها من انتفع به الناس، لأنه علق السيادة بالإصلاح بين الناس ونفعهم، هذه معنى السيادة.
“Sungguh gelar sayyid hanya berhak disandang oleh orang yang bermanfaat bagi manusia. Sebab Nabi Muhammad Saw menggantungkan gelar sayyid dengan peran mendamaikan pertikaian di antara manusia dan memberikan manfaat kepada mereka. Inilah makna sayyid sebenarnya.”
Dalam konteks ini Nabi Saw bersabda:
(إن بني هذا سيد ولعل الله تعالى أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين. (رواه البخاري
“Sungguh al Hasan bin Ali anakku ini adalah seorang Sayyid. Semoga Allah Ta’ala mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin yang bertikai.” (HR. al Bukhari)
Sejarah pun membuktikan, Sayyidina Al Hasan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Sayyidina Mu’awiyah demi menghindari pertumpahan darah.
Demikian pula Gus Dur, Sang Sayyid, rela lengser dari kursi kepresidenan demi menghindari pertumpahan darah di antara anak bangsa, teladan kemanusiaan bagi kita semua.
Nah, sebagai generasi millenial, siapkah kita menjadi ‘sayyid-sayyid’ baru dengan hakikat yang sebenarnya?
‘Sayyid’ yang benar-benar menjadi solusi konflik bagi manusia dan menebar kebaikan bagi sesama. Bukan sebaliknya justru memicu pertikaian dan menebar kebencian di antara sesama anak cucu Nabi Adam ‘alaihis salam. (RM)
Sumber:
Abu Al Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik bin Batthal al Bakri Al Qurthubi, Syarh Shahih al Bukhari, (Riyadh: Maktabah ar Rusyd, 1423 H/2003 M), Ed.: Abu Tamim Yasir bin Ibrahim, cet. 3, VIII/95.