Akhir-akhir ini media sosial kita dipenuhi dengan hujatan terhadap salah seorang penceramah yang menggunakan diksi ‘goblok’ kepada seorang pedagang minuman . Padahal, sebagaimana yang kita ketahui, nabi tidak pernah mewariskan model dakwah seperti itu, mengolok-olok yang lemah, merendahkan sesama.
Disadarai atau tidak, fenomena pengolokan seorang tokoh agama terhadap pedagang minuman itu merupakan salah satu dari sekian banyak ironi tragedi yang terjadi di atas panggung agama. Tak jarang pula dengan fenomena itu banyak dari kaum awam lari dari agama bahkan membencinya.
Fenomena yang sama juga terdapat dalam film Tuhan Izinkan Aku Untuk Berdosa (2023), sebuah film yang diadopsi dari novel Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur (2006) gubahan Muhidin Dahlan. Di mana Kiran, sebagai tokoh utama dalam film tersebut, menjauh dan lari dari agama setelah ia dikecewakan oleh Abu Darda, salah seorang yang menjadi tokoh agama. Kemudian ia menuntaskan dendamnya terhadap agamawan yang berpura-pura alim di khalayak masyarakat. dengan menjadi pelayan seks untuk mengetahui kebusukan-kebusukan mereka.
Hal ini merupakan pelajaran bagi kita dan para figur yang mendapatkan kesempatan untuk berdakwah di panggung agama untuk terus menjalankan ajaran yang selaras dan merangkul umat, dengan menanamkan nila-nilai luhur (akhlak al-karimah) dan keikhlasan, yang di mana hal demikian merupakan nilai-nilai inti dari ajaran islam, bahkan menjadi konsen semua ajaran agama. (Muhammad, 2019).
Nabi Akrab Dengan Pedagang dan Mereka Yang Terpinggirkan
Dikisahkan sangat masyhur bahwa terdapat salah sahabat yang sangat dicintai Nabi, yaitu Zahir bin Haram, Zahir merupakan salah seorang suku pedalaman yang ketika datang kepada Nabi selalu membawakan hadiah.
Pada suatu waktu nabi mendatangi Zahir dengan memeluk erat di saat ia sedang berdagang di pasar, bahkan saking eratnya pelukan Nabi sampai-sampai antara punggung Zahir dan badan Nabi saling menempel. Dengan begitu ia pun kaget dengan mengatakan: siapa ini? Tolong lepaskan.
Tak melepaskannya justru nabi memberikan candaan kepadanya dengan mengatakan: siapa yang mau membeli budakku ini? Dengan begitu ia mengenali suara nabi, dan menjawab: lihatlah ya rasulallah, tidak ada seorang pun yang ingin membeli hamba.
Mendengar itu nabi lebih erat memeluk Zahir Bin Haram, dengan membalas perkataannya: tetapi engkau (Zahir) di sisi Allah bukanlah seorang yang tidak mempunyai harga. Dalam artian Zahir sangatlah berharga di sisi Allah.
Nabi memuji mereka yang tengah berdagang di pasar, dengan pujian yang serius. Seharusnya atas kisah demikian dapat dijadikah ‘ibrah bagi pewaris para nabi dalam dakwahnya, dan dapat mengapresiasi dan mendukung mereka yang tengah berjuang dalam hal apapun.
Sebagaimana kita kenal sosok Nabi di dalam kitab Al-Barzanji, selain sifat pemalu yang dimiliki nabi, juga beliau mencintai orang-orang fakir miskin, dan duduk membersamai mereka, menjenguk mereka yang sedang sakit, mengiringi jenazah mereka, dan tidak pernah menghina orang-orang fakir.
Sikap Nabi yang seperti ini seharusnya membuka kesadaran bagi kita, bahwa tidak selayaknya kita atau siapa saja yang mengampanyekan cinta Nabi, terlebih pewaris para nabi, untuk menjauhi mereka bahkan menghina mereka, tanpa sebab salah yang mereka perbuat.
Tak sedikit kita saksikan dari mereka yang menyandang sebagai kaum intelektual acapkali merendahkan orang-orang yang mereka anggap lebih rendah, mengenai hal ini menarik untuk kita sajikan hadist yang telah dikutip Al-Ghazali dalam magnum opusnya, ihya ulumuddin, beliau mengatakan, “aktsar ahli al-jannati al-bulhu” arti bebasnya adalah, banyaknya penghuni surga itu mereka dari kalangan al-bulhu (orang yang lemah akalnya).
Gus Ulil dalam tulisan kolomnya yang berjudul Nabi Muhammad, Orang bodoh, dan Sokrates (2018). mengartikan hadist ini “sebagai kritik terhadap elitisme intelektual, di mana kebanyakan dari orang pandai yang kerapkali canggih berteori, sehingga kehilangan sentuhan atas hal yang mendasar dalam hidup. Bahkan hadist ini sebagai pembelaan terhadap rakyat jelata dalam masyarakat atau, the commoners dalam bahasa Gus Ulil”.
Sebagai penutup mengutip dari buku Berfikir dengan Melompat karya Yulita Putri (2024). “Ceramah bukan hanya persoalan kata-kata dan kutipan dalil, lebih dari sekedar itu. Ceramah adalah proses komunikasi yang melibatkan bahasa, tubuh, orientasi ruang, simbol dan sederet pertimbangan lain”. Sekian, Wallahu a’lam.