Hari ini ada berita gembira: Tajul dan kawan-kawa yang pernah mengikuti ajaran Syuah telah kembali keajaran semula, Aswaja. Ia bersumpah tidak bertaqiya. Ia dan kakaknya Rais mengaku beralih ke Syiah setelah mengaji di YAPI Bangil yang tidak disadari ternyata bukan aswaja.
Rais terlebih dahulu sadar kembali ke Aswaja dan berkat dirinyalah, masyarakat mengetahi bahwa terjadi proses Syiahisasi di Tegineneng. Dampaknya terjadilah konflik seperti yang pernah kita dengar. Konflik yang bikin susah semua orang dan dalam waktu lama.
Pasca konflik di Tegineneng itu, PBNU menerjunkan tim terdiri Ketua Lakpesdam Yahya Ma’shum dan Lilies Azies untuk mendampingi masyarakat Tegineneng. Lakpesdam PBNU bekoordinasi dengan PCNU khususnya Rais Suriah KH Syaefudin Abdul Wahid dan Lakpesdam Sampang. Strateginya adalah membangkitkan kepercayaan diri dan semangat kekerabatan yang telah terkoyak.
Langkah yang dilakukan antara lain memperbaiki madrasah di empat titik lokasi dan sentuhan perberdayaan ekonomi melalui bantuan ekonomi dengan dana yang dihimpun oleh Lazisnu PBNU yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Mashuri Malik. Gerakan bersama ini bertujuan agar pada suatu saat, masyarakat Tegineneng akan menerima kembali saudara saudaranya yang berada dalam “tempat pengungsian di Surabaya”.
Sayang untuk Tajul dan kawan-kawan yang berada di pengungsian di Surabaya terlanjur dibina oleh lembaga-lembaga yang berafiliasi asing. Mereka lebih menonjolkan kebebasan agama sesuai dengan paradigma internasional, melalaikan proses dalam mancapai tujuan. Padahal di balik isu kebebasan, ada prinsip atau budaya masyarakat yang diabaikan khususnya pola dakwah taqiya, suatu cara dakwah menyembunyikan tujuan yg sebenarnya.
Penghormatan terhadap budaya adalah kunci toleransi umat beragama di Indonesia di Indonesia, sehingga tidak pernah terjadi konflik agama, kecuali insiden kecil dalam lingkup sempit.
Kalau pola dakwahnya tidak mencederai budaya, konflik tidak akan terjadi. Di tempat lain juga ada kelompok masyarakat Syiah, tetapi tidak terjadi kisruh karena hibup selaras budaya.
Kejadian di Tegineneng itu bisa menjadi pelajaran, cara dakwah seperti di atas, tidak mendukung kebersamaan dan ketertiban. Dalam negara Pancasia, cara dakwah harus selaras dengan nilai-nilai Pancasila antara lain terbuka, jujur, tidak eksklusip, tanpa kekerasan/paksaan, damai, selaras dengan budaya. Di sini perlunya “code of Conduct” yang perlu diupayakan menjadi kesepakatan bersama untuk mengantisipasi dakwah pada era globalisasi. Code of conduct tersebut sebagai pelengkap terhadap UU tentang kerukunan umat beragama.
“Penghormatan kepada budaya atau kearifan lokak adalah kunci,” dalam menegakkan toleransi, di samping keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Secara umum demikianlah pandangan NU.
Kami ditemani KH Mashuri Malik pernah menemui Rais Shuriah Sampang KH Syafik tukar pikiran. Intinya masyarakat harus dibangun kembali nilai-nilai budayanya.