Sedang Membaca
Mengapa Pulang?
Akhmad Taqiyuddin
Penulis Kolom

Nama lengkapnya Akhmad Taqiyuddin Mawardi. Lahir di Surabaya, 13 September 1988. Pendidik di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Mesantren di Pesantren Tambakberas Jombang dan Pesantren Ploso Kediri

Mengapa Pulang?

  • Betapa pulang memberikan suntikan semangat dan energi baru untuk melanjutkan perjuangan yang belum usai sebagai kembara ilmu.

Pulang adalah satu hal yang sangat menggembirakan bagi semua orang. Siswa SD sangat senang ketika bel penanda berakhirnya pelajaran berbunyi. Pegawai kantor di daerah Jakarta rela berdesakan di atas KRL demi satu kata sederhana: pulang.

Di China, tradisi pulang ke kampung halaman tiap tahun terlaksana saat hari raya Imlek. Begitu pula saan perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat. Tradisi ini tak ubahnya bagai tradisi mudik di Indonesia menjelang hari raya Idul Fitri. Masyarakat Madura juga memiliki tradisi mudik saat hari raya Kurban, dan lain sebagainya.

Pulang memang menguras energi dan biaya. Namun semua seakan tak ada artinya kala bertemu dengan sanak saudara, menginjak kampung halaman, dan merasakan suasana lingkungan, termasuk kuliner, tempat kita awal mula tumbuh.

Para santri yang pulang merayakan lebaran bersama keluarga, setelah berbilang tahun tak berjumpa, dalam diam mereka berkata “pulang membawa adab, kembali ke pesantren membawa semangat”.

Selama pengembaraan mencari ilmu, mereka bagaikan menjadi seorang yang terlahir kembali. Menjadi “new born”. Mereka tunjukkan akhlak, etos, dan ilmu yang mereka dapat selama di pesantren.

Dan ketika waktunya telah tiba untuk kembali melanjutkan proses pencarian ilmu, mereka kembali ke pesantren dengan membawa semangat baru. Bagai baterai yang full charged. Penuh semangat setelah melepas rindu dengan orang tua. Memang tak ada pesta yang tak usai. Tak ada pertemuan tanpa perpisahan. Namun perpisahan itu melahirkan rindu, agar kelak bisa bersua kembali. Pepatah arab menyatakan, laysal firoq lil firoq, walaakinnal firoq lisy syauq.

Penulis kala mesantren di Tambakberas awal tahun 2000, memiliki seorang kawan asal Sanggau Kalimantan Barat, yang terhitung baru pulang menengok kampung halaman, di tahun ketujuh mondoknya. Kepulangan santri asal Danau Sembuluh Kalimantan Tengah, Bau-bau Sulawesi Tenggara, ataupun Kuala Tungkal Jambi, memang hanya bisa penulis dengar liku-likunya. Karena memang tidak mengalami sendiri.

Baca juga:  Menengok Pameran Koleksi Seni Nasirun: Jasmerah

Mereka Beberapa kali berganti moda transportasi, berhari-hari di atas kendaraan, hingga akhirnya bertemu dengan sanak famili. Namun semangat mereka untuk pulang, sangat terasa energi positifnya. Para santri yang terhimpun dalam organisasi daerah, mempersiapkan sewaan bus ataupun satu gerbong khusus demi kepulangan santri.

Betapa pulang memberikan suntikan semangat dan energi baru untuk melanjutkan perjuangan yang belum usai sebagai kembara ilmu.

Para perantau Minang di tanah Jawa, banyak yang kembali ke kampung halamannya dengan rombongan mobil yang teramat panjangnya. Menyusuri jalur pantura Jawa, hingga jalur trans Sumatra. Biaya perjalanan pulang-pergi, tak menjadi masalah. Asalkan bisa bertemu dengan keluarga. Mudik gratis yang dibiayai pemerintah daerah ataupun perusahaan, juga besar sekali animonya. Pemudik motor yang menempuh perjalanan ratusan hingga ribuan kilometer, tak tampak raut susah di wajah mereka. Di tengah perjalanan yang terkadang melebihi satu hari satu malam. Semua bergembira dengan aktivitas kepulangan.

Dalam konteks penghambaan kepada Allah, kepulangan seorang hamba adalah ketika mati. Oleh karena itu, bila ada seseorang wafat, yang dibaca adalah lafaz istirja’, innaa lilllahi wa innaa ilayhi rooji’uun. Sekedar mengingatkan bahwa hanya kepada Allah lah, kita kembali pulang.

Bila untuk kepulangan menuju kampung halaman kita persiapkan bekal sejak jauh-jauh hari, maka sudah selayaknya bila kepulangan kita ke haribaan Allah juga kita persiapkan bekalnya sedari saat ini. Dengan banyak melakukan amal kebaikan.

Seorang Sufi besar Jalaluddin Rumi, tidak suka melihat murid-murid yang mengelilinginya sembab menangisi ajalnya yang kian dekat. Ia malah memerintahkan pada muridnya untuk menari riang, karena akan pulang.

Tak ada yang Rasulullah khawatirkan terkait diri dan keluarganya menjelang wafat. Beliau hanya berpikir dan bertanya pada malaikat Jibril, tentang bagaimana keadaan umatnya sepeninggal beliau.

Baca juga:  75 Tahun Gus Mus: Hidup dalam Tiga Aksara

Kematian yang diartikan sebagai kepulangan kepada pemilik diri, bukanlah sesuatu yang menakutkan bila diiringi dengan bekal amal saleh. Pelaku amal saleh malah sangat bergembira menghadapi proses kepulangannya ke hadirat Ilahi.

Bagi para santri, selamat berkumpul dengan keluarga di rumah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
4
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top