Agama Islam tidak diturunkan tanpa sebuah tujuan. Ia diturunkan untuk kemaslahatan manusia (Asy Syatibi, Muawafaqat, juz 2, hal 322). Tujuan inilah yang kemudian banyak dikaji oleh para cendekiawan muslim lintas masa. Katakanlah nama besar seperti Imam Haramain (w. 478 H), Imam Ghazali (w. 505 H) serta Asy Syatibi (w. 790 H), yang kesemuanya itu dari generasi salaf. Pun saat ini, pembahasan maqashidus syariah (tujuan-tujuan syariat) tak pernah usang dalam hal mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Sebut saja nama Ibnu ‘Asyur (w. 1973 M), ‘Alal al Fasî (w. 1974 H), Ahmad ar Raisuni, Jasir Auda serta nama besar lainnya.
Dua nama terakhir, serta nama lain yang tak bisa disebut disini, masih terus produktif dalam mengembangkan seputar pembahasan ini. Adapun yang menjadi pertanyaan kali ini adalah “Apa dan bagaimana sebenarnya maqashidus syariah itu?”.
Secara bahasa, maqashid bermakna sandaran, ibu, mendatangi sesuatu (Ibnu Mas’ûd al Yûbî, Maqashidus syariah al Islamiah, hal 26). Adapun Maqashid asy Syarîah secara istilah ialah: “Nilai dan hikmah yang diperhatikan oleh Tuhan pada segenap keadaan syariat atau sebagian besarnya.” (Thahir ibn Asyur, Maqashid asy Syarî’ah, hal 51).
Dari sana para ulama mencoba mengklasifikasikan nilai dan hikmah itu. Asy Syatibi dalam Muwafaqat-nya membagi menjadi tiga bagian besar. Pertama, tujuan syariat yang sifatnya dharuriyat (primer). Ia mendefinisikannya sebagai “Sesuatu yang harus ada dalam merealisasikan kemaslahatan dunia dan akhirat. Hal tersebut sekiranya dinegasikan maka kemaslahatan dunia akan kacau, bahkan akan terjadi kerusakan, kerusuhan bahkan kebinasaan. Adapun dampak di akhirat, tidak akan merasakan surga dan kenikmatannya, kembali dalam keadaan penuh menyesal (Asy Syatibî, Al Muwafaqat, juz 2, hal 325).
Bagian pertama ini, Asy Syatibî membaginya menjadi lima unsur. Pembagian ini pun banyak diikuti oleh ulama setelahnya, meski tidak jarang pula ulama yang mencoba merekonstruksinya. Rekonstruksi itu baik berupa penambahan dalam jumlah ataupun perubahan dari sisi hirarki. Lima unsur tersebut, secara berurutan ialah: Menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan serta menjaga harta.
Setiap unsur yang telah disebutkan di atas, terdapat dua bentuk proses penjagaan. Pertama adalah menjaga dalam sisi aksi (min janib al wujûd). Sisi ini bisa terealisasi dengan memenuhi rukun-rukunnya dan menetapkan kaidah-kaidahnya. Kedua, penjagaan dalam sisi penolakan (min janib al ‘adam). Sisi ini terealisasi dengan menolak segalah hal atau kemungkinan yang akan merusak tujuan ini (Asy Syatibî, Al Muwafaqat, juz 2, hal 324).
Contoh dari penerapan kedua sisi tersebut pada setiap tujuan (dari lima tujuan yang ada) sebagai berikut: (I) Penjagaan agama dari sisi aksi antara lain: Mengamalkan agama, melihat sesuatu dengan parameter agama, mengajak untuk menuju kepadanya serta berjuang di jalannya. Adapun penjagaan agama min janib al ‘adam antara lain dengan menolak segala sesuatu yang akan merusaknya, seperti mengikuti hawa nafsu dan melakukan perbuatan bidah (Ibnu Mas’ud al Yûbi, Maqashid asy Syarîah wa ‘alaqatuha bi al Adillah asy Syar’iyyah, hal 194).
(II) Penjagaan jiwa antara lain: Larangan untuk menyerang jiwa, menutup segala jalan yang memungkinkan tindakan pembunuhan, disyariatkannya qishas, pengampunan terhadap qishas, diperbolehkannya memakan hal yang dilarang dalam keadaan darurat (Ibnu Mas’ud al Yûbi, Maqashid asy Syarîah wa ‘alaqatuha bi al Adillah asy Syar’iyyah, hal 212).
(III) Penjagaan terhadap akal bisa terealisasi dengan menghindari segala sesuatu yang merusak akal, baik yang berupa materi ataupun pemikiran (Ibnu Mas’ud al Yûbi, Maqashid asy Syarîah wa ‘alaqatuha bi al Adillah asy Syar’iyyah, hal 236). Contoh dari perusak akal yang bersifat materi adalah seperti apa yang dijelaskan Al-Qur’an dalam Sûrat al Maidah: 90-91, tentang keharaman khamr. Adapun perusak akal yang bersifat pemikiran seperti halnya memberi gambaran tentang agama, masyarakat, politik, dengan gambaran yang salah (hal 236).
(IV) Penjagaan terhadap keturunan (nasl) terdiri dari dua sisi, sisi aksi dan sisi penolakan. Bentuk sisi aksinya ialah adanya motivasi untuk tetap menjaga kelangsungan keturunan serta memperbanyak berupa disyariatkannya nikah. Adapun janib ‘adam-nya ialah mencegah segala sesuatu yang memutus rantai keturunan atau sekedar mengurangi populasi, terlebih jika sampai memusnahkannya. Hal ini termanifestasin dalam bentuk larangan mencegah kehamilan, larangan aborsi dan lainnya (hal 257) .
(V) Penjagaan terhadap harta mencakup sisi aksi dan sisi pencegahan. Dari sisi aksi, seseorang dimotivasi untuk senantiasa bekerja memenuhi kebutuhan. Sedangkan dari sisi pencegahan meliputi: Larangan mengekspansi harta orang lain, larangan membuang-buang harta, disyariatkannya hukum potong tangan bagi pencuri dan lain-lain (hal 286).