Sedang Membaca
Pinisi Sulawesi Selatan Kini Warisan Budaya Dunia
Susi Ivvaty
Penulis Kolom

Founder alif.id. Magister Kajian Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Pernah menjadi wartawan Harian Bernas dan Harian Kompas. Menyukai isu-isu mengenai tradisi, seni, gaya hidup, dan olahraga.

Pinisi Sulawesi Selatan Kini Warisan Budaya Dunia

Pinisi Sulawesi Selatan Kini Warisan Budaya Dunia 1
Pinisi, seni pembuatan perahu di Sulawesi Selatan, telah resmi tercatat di badan dunia UNESCO. Pinisi diinskripsi sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity atau Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan.

Penetapan warisan budaya takbenda berlangsung di Pulau Jeju Korea Selatan dalam sidang ke-12 Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO, Kamis, 7 Desember 2017. Demikian siaran pers dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang dikirim oleh staf bidang media, Indri Ariefiandi, melalui surat elektronik, Kamis pukul 12.00.

Terinskripsinya pinisi di UNESCO ini tentulah menggembirakan setelah perjalanan panjang pergumulan, mulai pengusulan,  sidang-sidang di tingkat lokal dan nasional,  penyusunan naskah,  studi pustaka,  seminar,  diskusi,  konferensi pers,  dan diseminasi-diseminasi lain.  Tidak mudah untuk sampai pada tahap ini, mengingat makin ketatnya UNESCO menyeleksi semua usulan yang masuk,  plus pembatasan bagi negara yang warisan budayanya telah banyak diinskripsi.

Kebanggaan ini tentu tidak hanya dirasakan tim yang berada di Korsel tapi juga warga Indonesia dan khususnya masyarakat Sulsel.  Inskripsi pinisi ini meningkatkan kesadaran mengenai nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Selain itu juga meningkatkan upaya pelestarian pinisi pada tingkat lokal, nasional,  maupun internasional.

Bersama dengan pinisi, diinskripsi juga antara lain organ craftsmanship and music dari Jerman.  Selain itu Kumbh Mela, festival keagamaan terbesar dari India yang dilaksanakan 12 tahun sekali. Lalu art of Neapolitan Pizzaiuolo dari Italy,  dan traditional system of Corongo’s water judges dari Peru.

Sistem tali-temali

Secara harafiah, pinisi atau orang Bugis-Makassar menyebutnya pinisiq, merupakan penamaan untuk tali-temali, tiang, dan layar perahu sekunar Sulawesi. Akan tetapi bagi masyarakat Indonesia dan bahkan secara internasional, pinisi telah menjadi sebutan popular bagi kebanyakan tipe perahu Nusantara (merujuk dossier Pinisi dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud)

Pinisi tidak hanya dikenal sebagai perahu tradisional masyarakat yang tangguh untuk wilayah kepulauan seperti Indonesia, tetapi juga tangguh pada pelayaran internasional. Pinisi menjadi lambang dari teknik perkapalan tradisional negara kepulauan. Pinisi adalah bagian dari sejarah dan adat istiadat masyarakat Sulawesi Selatan dan juga Nusantara.

Baca juga:  Puisi al-Ashma’i Membuat Khalifah al-Manshur Menyerah

Pengetahuan tentang teknologi pembuatan perahu dengan rumus dan pola penyusunan lambung ini sudah dikenal setidaknya 1500 tahun. Polanya didasarkan atas teknologi yang berkembang sejak 3000 tahun, berdasarkan teknologi membangun perahu lesung menjadi perahu bercadik.

Saat ini pusat pembuatan perahu ini ada di wilayah Tana Beru, Bira, dan Batu Licin di Kabupaten Bulukumba. Serangkaian tahapan dari proses pembuatan perahu mengandung nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari, seperti kerja tim, kerja keras, ketelitian/presisi, keindahan, dan penghargaan terhadap alam dan lingkungan.

Konstruksi kapal barang yang terbuat dari kayu masih menggunakan teknik pembuatan perahu tradsional, yang selama berabad-abad telah dikembangkan mulai dari kapal-kapal kecil dengan tiang sampai kapal besar yang dibawa oleh orang-orang Eropa yang masuk ke kepulauan Malaya.

Seperti teknik pembuatan perahu tradisional yang lain, teknik yang digunakan dalam pinisi mencakup konsep-konsep canggih dan cetak biru yang menggambarkan bentuk tiga dimensi dari sebuah perahu beserta berbagai macam komponennya. Dalam pembuatan perahu di Sulawesi Selatan, teknik ini dikonsepkan dalam penyusunan papan (tatta), contohnya rangkaian dan susunan kulit perahu dan pasak yang menjadi penyambung papan kulit perahu. Kearifan lokal dalam membangun perahu dengan teknik semacam ini dimiliki oleh panrita lopi, ahli pembuat perahu yang berasal dari etnis Konjo.

Ditransmisikan

Pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan pinisi ditransmisikan oleh orang tua kepada anak-anaknya melalui pembiasaan, pemberian contoh, dan pengulangan. Dimulai dari masa kecil, anak-anak dibiasakan bermain di sekitar bantilang (galangan kapal), menyaksikan para sawi (awak kapal) mengerjakan pembuatan perahu, dan sekali-sekali terlibat membantu sawi melakukan hal-hal sederhana seperti mengambil benda-benda atau peralatan terkait pembuatan perahu.

Saat beranjak remaja, anak masih terlibat dalam proses pembuatan perahu dengan pekerjaan yang lebih besar tanggung jawabnya seperti menjaga api (yang digunakan untuk membengkokkan kayu) atau mengambil air. Kegiatan ini dilakukan setelah mereka pulang sekolah. Dengan cara ini diharapkan dalam diri anak tersebut tumbuh kecintaan dan keingintahuan tentang tata cara pembuatan perahu.

Baca juga:  Menyimak Kritik Sastra Gus Dur kepada HAMKA

Dalam pengetahuan yang diturunkan ini, juga terdapat sistem pembagian kerja dan jenjang karir. Seseorang yang baru mulai bekerja menjadi pengrajin perahu akan memulai karirnya sebagai tukang masak. Setelah itu dia akan naik menjadi tukang bor dan akan naik lagi menjadi pemasang baut dan pasak. Semakin meningkat kemampuan pengrajin, dia akan mulai bekerja menjadi tukang potong kayu. Setelah itu, dia akan menjadi perakit papan. Jika semua sudah dijalani, dengan kemampuannya itu, tidak tertutup kemungkinan menjadi panrita lopi.

Seorang panrita lopi akan mengajarkan kepada keturunannya dan pekerja yang potensial tentang pengetahuan dan keahliannya. Pengetahuan dan keahliannya ini baik yang terkait dengan hal teknis pembuatan perahu maupun mantra-mantra dan ritual.

Pinisi juga mempunyai fungsi budaya untuk masyarakat yaitu sebagai penjaga keberlangsungan adat istiadat. Setiap tahap pembuatan perahu selalu terkait dengan kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat setempat. Hal ini terlihat dari upacara-upacara yang dilakukan dalam proses pembuatan perahu, seperti pada saat pemilihan kayu, pemasangan lunas, dan pada saat penentuan pusat perahu sebagai pengharapan atas keselamatan perahu dan manusia di dalamnya. Ritual-ritual ini juga memperlihatkan adanya keharmonisan antara manusia dengan manusia.

Proses pembuatan perahu merupakan representasi proses kelahiran seorang anak. Diawali dengan pemasangan lunas yang melambangkan bersatunya laki-laki dan perempuan dan diakhiri dengan ritual peluncuran perahu yang melambangkan proses kelahiran anak. Persiapan untuk melakukan pelayaran dan mengarungi samudera bagi perahu ini diibaratkan sebagai orang tua yang mempersiapkan anaknya untuk mengarungi kehidupan.

Oleh karena itu, penetapan pinisi menjadi  Warisan Budaya Takbenda UNESCO tidak hanya merupakan bentuk pengakuan dunia internasional terhadap arti penting pengetahuan tradisional, teknik perkapalan tradisional yang dimiliki nenek moyang bangsa Indonesia. Pengakuan itu juga melibatkan elemen tradisi berupa adat-istiadat, kearifan lokal, memori kolektif sejarah asal-usul, yang kesemuanya itu membangun kebudayaan masyarakat Sulsel.

Delapan elemen

Dengan penetapan Pinisi ini, maka Indonesia telah memiliki delapan elemen budaya dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Tujuh elemen yang telah terdaftar sebelumnya adalah wayang (2008), keris (2008), batik (2009), angklung (2010), tari Saman (2011),  noken Papua (2012), dan tiga genre tari Tradisional Bali (2015).

Baca juga:  Rokat Sang-Pasang: Islamisasi Tradisi Hindu di Madura

Satu lagi pencatatan yang masuk dalam kategori lain adalah program pendidikan dan pelatihan tentang batik di Museum Batik Pekalongan (2009). Program ini ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda bersamaan dengan penetapan batik.

Sidang di Jeju berlangsung sejak 4 Desember–9 Desember 2017. Sidang dihadiri oleh Duta Besar LBBP Prancis, Monaco, dan Andora/Wakil Tetap RI di UNESCO, Hotmangaradja Pandjaitan. Hadir pula Duta Besar/Deputy Wakil Tetap RI untuk UNESCO, T.A Fauzi Soelaiman.

Kasi Pengusulan Warisan Budaya Takbenda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hartanti Maya Krishna,  juga hadir. Maya ini merupakan satu dari anggota tim yang lintang-pukang mengurusi hal-hal teknis administrasi hingga urusan akdemis.  Wakil Bupati Kabupaten Bulukumba, Tomy Satria Yulianto, juga hadir beserta tim delegasi Indonesia.

Dalam sidang tersebut, 24 negara anggota komite membahas enam nominasi untuk kategori List of Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguarding. Dibahas pula 35 nominasi untuk kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity dari 175 negara yang sudah meratifikasi konvensi 2003 UNESCO.

Sekretariat ICH UNESCO menggarisbawahi tentang perlunya Indonesia membuat program untuk tetap menjaga ketersediaan bahan baku bagi keberlanjutan teknologi tradisional, dalam bentuk perahu berbahan baku utama kayu. Sidang juga menilai perlunya program-program melalui pendidikan formal, informal dan nonformal terkait dengan transmisi nilai tentang teknik dan seni pembuatan perahu tradisional, khususnya untuk generasi muda.

Hotmangaradja Pandjaitan dalam siaran pers mengatakan, komunitas dan masyarakat menjadi bagian penting dalam pengusulan Pinisi ke dalam daftar ICH UNESCO. Hal ini menjadi momentum yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama oleh pemerintah pusat dan daerah serta komunitas. Semua pihak dapat memberikan perhatian lebih dalam pengelolaan warisan budaya takbenda yang ada di wilayahnya masing-masing, terutama bagi pengembangan pengetahuan. (***)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top