KH. Ahmad Bahaudin Nursalim adalah tentang imajinasi kreatif akal universal kaum santri. Di tengah pola keberagamaan belakangan inu yang terus-menerus dikeringkan oleh kelompok keagamaan tertentu, Gus Baha’ hadir.
Kehadirannya adalah kehadiran kreatif. Kreatifitas yang berhadap-hadapan dengan “kebekuan” kelompok keagamaan tertentu. Kebekuan yang disebabkan ketidakmampuan akal mereka untuk menembus batas-batas dirinya sendiri.
Gus Baha’ bukan satu-satunya contoh. Banyak kiai-kiai pondok pesantren yang selain menguasai kitab-kitab juga alim allamah sekali. Tetapi, Gus Baha’ menjadi representasi sebuah narasi tersendiri dalam menghadapi kelompok keagamaan yang tidak memiliki imajinasi, kreatifitas, dan akal universal dalam perilaku keagamaan sehari-hari mereka.
Bukti paling konkrit tentang mereka adalah tentang bahasa. Gus Baha’ hadir untuk menghadapi kelompok keagamaan tertentu yang memberhalakan bahasa, bersujud pada bahasa, dan menjadikan bahasa sebagai sesembahan tertinggi keyakinan mereka.
Pengertian agama bagi kelompok ini adalah bahasa. Semua narasi ibadah mereka dirujukkan pada bahasa. Semua keyakinan mereka juga merujuk pada bahasa. Seakan-akan agama hanya bahasa, dan di luar bahasa tidak ada lagi agama.
Karena bahasa adalah agama dan sesembahan dalam keyakinan mereka maka perkara di luar bahasa menjadi tidak terjangkau. Ini yang saya sebut kelompok keagamaan ini tidak memiliki akal universal. Jadi, berkomunikasi dengan mereka harus selalu disangkut pautkan dengan bahasa. Sebab, agama hanyalah bahasa.
Contoh sederhananya, soal rasa. Berbicara dengan mereka tentang rasa adalah perkara mustahil. Bagi mereka rasa itu bukan bahasa, dan perkara bukan bahasa pasti bukan agama. Dengan kata lain, mereka tidak mengerti sama sekali tentang rasa. Sebab rasa tidak menemukan rujukannya dalam agama.
Hari ini, saya bersyukur ada Gus Baha’ yang ngaji dengan membawa teks. Supaya jadi pelajaran bagi mereka bahwa kalau mau beragama dalam pengertian bahasa, ya bawalah teks. Sehingga nanti bisa dikoreksi apakah teksmu atau teks kita yang bermasalah; apalah bahasamu atau bahasa kita yang problematik.
Ini pelajaran bagi kita semua: turats adalah salah satu cara paling penting dalam rangka berbicara pada mereka. Sebab, mereka itu hanya mampu memahami bahasa, dan di luar itu tidak mengerti apa-apa. Jadi, bersabarlah kelompok kita, yang harus berbicara pada mereka sebatas tentang bahasa, dan simpanlah rasa kita dalam beragama.