Bagi orang Islam, hari kelahiran Nabi Muhammad adalah momen istimewa. Tiap tanggal 12 Rabiulawal, semua orang Islam di seluruh penjuru dunia merayakan maulid dengan cara yang berbeda-beda. Di Cirebon, perayaan ini juga dilakukan di lingkungan Keraton, lazim disebut Muludan. Salah satu acara yang paling dikenal dalam Muludan adalah “Panjang Jimat.”
Istilah “Panjang Jimat” sebenarnya merujuk pada benda kuno berupa piring keramik Tiongkok yang berhias tulisan-simetris kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Setiap malam 12 Rabiulawal, pada puncak acara Grebeg-Mulud, benda-benda pusaka tersebut diarak dalam sebuah upacara yang juga disebut “Panjang Jimat”.
Sumber yang lain mengatakan kata ‘panjang’ dapat diartikan sebagai ‘tak berhenti’ dan ‘jimat’ berarti ‘siji kang dirumat’ atau ‘satu hal yang dipertahankan’. Panjang Jimat, dengan begitu adalah simbol komitmen untuk mempertahankan Yang Tunggal. Inilah inti ajaran tauhid.
Sebelum upacara Panjang Jimat, satu per satu jimat berupa piring keramik besar dan kecil, tasbih, guci dan gelas dicuci dengan air tujuh sumur oleh abdi dalem keraton. Jimat-jimat itu kemudian dilap dan dibungkus dengan kain putih. Setelah itu, pusaka tersebut diarak dari Bangsal Prabayaksa Kaputren menuju Jinem Pangrawit dan selanjutnya ke Langgar Agung.
Urutan barisan dalam upacara Panjang Jimat atau yang disebut pelal terdiri dari sembilan kelompok iring-iringan yang menceritakan peristiwa kelahiran bayi dalam paling sedikit 19 adegan penting.
Prosesi Panjang Jimat dimulai dari munculnya orang pertama yang membawa lilin di tangannya dan memberikan api kepada dua orang di belakangnya. Orang pertama membawa tombak, simbolisasi dari Abu Thalib, paman Nabi. Orang kedua terlihat lebih tua, dialah Abdul Muthalib, kakek Nabi. Mereka berdua berjalan di tengah malam untuk memanggil seorang dukun beranak. Kemudian datanglah sekelompok laki-laki dengan membawa manggaran, nagan, dan jantungan yang melambangkan ketinggian derajat seorang Abdul Muthalib.
Selanjutnya muncul seorang perempuan dengan bokor kuning berisi mata uang logam yang menandakan sang dukun beranak. Berikutnya datang seorang perempuan membawa nampan dengan sebotol air mawar sebagai simbol air ketuban. Lalu muncul setelahnya seorang perempuan membawa baki yang berisi bunga goyah, lulur dan bedak tradisional sebagai simbol ari-ari. Penghulu keraton bertindak sebagai pemotong tali pusat.
Panjang Jimat yang berupa tujuh buah benda pusaka utama pun muncul dengan dipayungi. Tujuh jimat ini pertanda ajaran tujuh martabat (martabat pitu), yang merupakan salah satu pokok ajaran tarekat Syattariyah di keraton. Tujuh benda pusaka ini juga diartikan sebagai tujuh hari dalam satu minggu yang salah satunya adalah hari di mana Nabi Muhammad lahir, hari Senin.
Adegan selanjutnya adalah dua lelaki membawa dua cairan yang mirip dengan darah. Diikuti dua lelaki lain yang masing-masing membawa baki dengan botol berisi cairan yang melambangkan lendir. Selanjutnya datang laki-laki membawa periuk berisi nasi uduk yang melambangkan penderitaan seorang ibu ketika melahirkan. Setelahnya, muncul orang membawa tumpeng dan ayam panggang atau sega jeneng, nasi untuk penamaan.
Setelah itu pawai dilanjutkan dengan munculnya delapan cepon (keranjang besar dari bambu) yang melambangkan sifat wajib dan mustahil rasul. Kemudian empat meron atau tenong (wadah makanan berukuran besar terbuat dari bambu) yang melambangkan empat unsur penciptaan manusia: tanah, air, udara, dan api.
Sumber lain mengatakan tenong ini menggambarkan empat sahabat nabi. Rombongan terakhir adalah empat dongdang, juga sejenis wadah besar, sebagai simbol dari unsur-unsur spiritual pada diri manusia: jiwa, kalam, cahaya dan kesaksian atas keberadaan Allah. Sumber berbeda mengatakan empat dongdang melambangkan empat imam madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali.
Perayaan ini menarik perhatian banyak orang. Mereka datang dari berbagai daerah, terutama dari Jawa dan Sumatera. Sebulan sebelum malam puncak itu, kawasan keraton biasanya lebih dulu dibanjiri para pedagang musimam (pasar malam) dan para pengunjung lokal. Banyak orang yang menyayangkan pengunjung terlalu fokus berbelanja sehingga Muludan lebih identik dengan jajanan dan makanan.
Akan tetapi, fenomena seperti itu tidak bisa menjadi legitimasi untuk mengatakan bahwa ritual tersebut tidak benar sehingga perlu ditinggalkan. Satu kaidah fiqh yang sering dikutip Gus Dur berbunyi, “maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluhu”, apa yang tidak mungkin terwujud seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan sama sekali.
Apalagi ritual semacam itu, menurutku, sama dengan ritual pembacaan Barzanji dalam hal mengingat dan mengenang sosok mulia yang hidup di masa lalu. Ritual-ritual ini diadakan bukan semata ekspresi hampa atau hura-hura belaka. Betul bahwa tradisi semacam Panjang Jimat ini irasional. Maklum, orang yang merayakan Muludan, itu bisa dikatakan sedang dimabuk cinta. Cinta dan rindu kepada Nabi.
Tapi kemudian orang mabuk ini ingin meneladani Nabi, yang semasa hidupnya membawa misi rahmat bagi semesta. Puncaknya, kita berupaya untuk hidup bersama Nabi, di sini, di zaman ini. Hidup dengan cara dia hidup, bersikap dengan cara dia bersikap, memiliki akhlak Nabi.
Kemarin saya ditanya salah seorang teman. Katanya, kenapa kita semua orang Islam rindu Nabi, padahal tidak satupun orang di zaman ini pernah bertemu Nabi? Saya jawab saja, Nabi memang sudah tidak ada. Jasadnya sudah dikebumikan. Tapi jiwanya masih mewujud dalam ajaran Islam yang penuh kasih, dalam setiap laku umat Islam yang memberikan kasih, dalam setiap apapun yang di situ ada kebaikan.
Nabi ada di setiap relung jiwa orang-orang beriman. Nabi tetap hidup bersama kita. Muludan dan segala ritualnya, Panjang Jimat, Pembacaan Barzanji, dsb., berupaya mengingatkan kembali kepada kita yang pernah lupa, bahwa Nabi bersama kita, di sini, di zaman ini. Mari meneladani Nabi dengan penuh suka cita. Allahumma sholli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad.