Istilah Nusantara berasal dari dua bahasa, yaitu Nusa dari bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘pulau’ dan Antara dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘perbedaan, jarak, selisih, yang lain’ (kbbi.kemdikbud.go.id) yang digunakan untuk menyebut wilayah yang kini bernama Indonesia.
Setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15, Nusantara yang sebelumnya dalam keadaan relatif bersatu dan damai di bawah naungan panji Majapahit, terpecah menjadi kerajaan-kerajaan yang saling bersaing untuk kepentingan politik dan ekonomi masing-masing.
Pihak Belanda yang melihat peluang mampu mengeksploitasi celah perpecahan tersebut dengan optimal, sehingga akhirnya berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara yang ditandai dengan penyerahan kedaulatan Kesultanan Aceh kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1904.
Belanda menggunakan sistem kolonialisme ala Eropa yang dipadukan dengan sistem feodalisme yang dijalankan elite pribumi untuk menjajah rakyat Nusantara.
Rakyat yang terbiasa hidup dalam kultur feodal, ketika melihat raja atau junjungannya ditaklukkan dan menyerah kepada Belanda, juga akhirnya ikut menyerah. Belanda yang mengetahui hal ini kemudian memanfaatkan feodalisme untuk mempermudah upaya mengontrol wilayah jajahan.
Dampak terburuk dari praktik feodalisme adalah sulitnya membentuk persatuan nasional, karena motivasi para feodal hanya bagaimana cara melanggengkan kedudukan dan memperoleh lebih banyak insentif, demi reputasi masing-masing di mata pemerintah kolonial dan sesama kaum feodal yang lain.
Keadaan seperti itu berlangsung sampai bangkitnya kesadaran nasional pada awal abad ke-20, yang dipelopori oleh para kaum intelektual pribumi yang tercerahkan. Kesadaran nasional ini diikuti oleh berdirinya organisasi-organisasi dalam bidang pers, agama, budaya, pendidikan, ekonomi, sampai dengan politik yang dibentuk dan dipimpin oleh para intelektual tersebut.
Kesadaran dan pemahaman rakyat atas pentingnya persatuan dan kemerdekaan pun akhirnya bangkit.
Pancasila sebagai Akumulasi Intelektual
Para Pendiri Bangsa telah memberikan warisan yang berharga bagi bangsa ini selain kemerdekaan, yaitu Pancasila dan Republik.
Jika konsep bangsa dan Republik Indonesia ditawarkan menjadi suatu wadah pemersatu, maka Pancasila menjadi simbol identifikasi nilai yang sama dari berbagai bangsa di bekas wilayah Hindia Belanda yang sebelumnya terpecah dalam berbagai entitas yang berbeda.
Hal tersebut dimungkinkan, karena menurut Presiden Sukarno, Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India (Hindu), Barat (Kristen), Arab (Islam). (Amstrong Harefa, 2011)
Nilai-nilai Pancasila sudah lama hidup dalam masyarakat Indonesia yang berlainan identitas, kesukuan, kepercayaan, dan kebudayaannya. Nilai-nilai luhur yang berasal dari adat kebiasaan, kebudayaan, dan agama yang ada di Indonesia inilah yang menjadi asal mula bahan dari nilai-nilai Pancasila (Notonagoro, 1975).
Jika menilik dari latar belakang pendidikan dan aktivitas intelektual tiga tokoh perumus dasar negara, ada kemungkinan dalam proses penggalian dan perumusan Pancasila, tidak hanya mengambil nilai-nilai yang berasal dari kearifan lokal bangsa saja, tetapi juga terinspirasi dari ide, gagasan, paham, dan ideologi dari luar, terutama Barat, yang dinilai berhasil membawa kemajuan bagi Eropa atau Bangsa Barat pada masa itu.
Sukarno dan Mohammad Yamin, meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan di Eropa, tetapi dididik di sekolah Hindia Belanda yang menggunakan sistem pendidikan dan pengajar dari Eropa. Sedangkan Supomo, adalah lulusan Fakultas Hukum dari Universitas Leiden di Belanda. Faktor pendidikan inilah yang memungkinkan ketiga tokoh tersebut terpapar dan berinteraksi dengan literasi dan gagasan-gagasan modern dari Barat.
Sukarno, melalui tulisan dan orasi yang digunakannya untuk perjuangan pergerakan nasional, kentara mengandung ide-ide dari paham nasionalisme, sosialisme, ataupun humanisme. Dalam proses perumusan dasar negara, usulan Supomo tentang teori negara integralistik berasal dari pemikiran Spinoza, Hegel, dan Adam Muller. Mohammad Yamin, mengusulkan agar nilai demokrasi barat dan Hak Asasi Manusia (HAM) dimasukkan dalam dasar negara.
Sila ke-2 Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, kemungkinan dipengaruhi oleh pemikiran Sukarno tentang Humanisme dan pemikiran Mohammad Yamin tentang HAM. Sila ke-3, yaitu Persatuan Indonesia, dipengaruhi oleh pemikiran Sukarno tentang nasionalisme. Sila ke-5, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dipengaruhi dari pemikiran Sukarno tentang Sosialisme. Supomo dengan teori negara integralistik-nya memengaruhi pasal 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan…”.
Sumber nilai yang berasal dari kearifan lokal yang luhur membuat Pancasila mempunyai dasar pijak yang kokoh dalam sanubari setiap warga negara Indonesia. Sedangkan adaptasi pemikiran Barat dari tokoh-tokoh bangsa yang disesuaikan dengan karakteristik nilai-nilai otentik Indonesia, membuktikan sifat terbuka Pancasila, dalam artian bahwa Pancasila mampu menampung serta menghargai berbagai aspirasi yang tumbuh dari segenap bagian Indonesia (Sudharmono, 1995).
Republik Indonesia
Belajar dari sejarah penindasan rakyat yang berasal dari dua penjuru, yaitu kolonialisme dan feodalisme, Para Pendiri Bangsa bersepakat bahwa bentuk negara Indonesia adalah republik, yang dinyatakan pada UUD 1945, Bab I Bentuk dan Kedaulatan, pasal 1, yaitu “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.”
Dengan mengambil bentuk republik, berarti sistem pemerintahan negara dijalankan berdasarkan prinsip kepentingan bersama dari rakyatnya (Cicero). Konsekuensi logisnya adalah kedaulatan negara bukan berada di tangan kekuatan asing (kolonial) maupun kaum bangsawan (feodal), tetapi berada di kuasa rakyatnya. Landasan historis dari perjuangan kemerdekaan rakyat untuk terbebas dari belenggu kolonialisme dan feodalisme, harus menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Semangat ini ditegaskan pada pasal 2, yaitu “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Bentuk republik mengamanatkan agar negara memprioritaskan kepentingan rakyat secara umum, tanpa melihat dan membedakan identitas, kepercayaan, atau budaya. Sehingga setiap warga negara setara dengan warga negara lainnya, dan memiliki hak yang sama atas sumber daya bangsa, atas akses-akses kesejahteraan untuk kemakmuran bangsa.
Cita-Cita Kemerdekaan
Pancasila sebagai simbol pemersatu bangsa, dan republik sebagai sarana untuk melindungi kedaulatan rakyat, harus disadari dan dipahami oleh segenap lapisan rakyat Indonesia, dan senantiasa diteruskan dan dilestarikan semangatnya kepada generasi masa depan bangsa.
Pancasila dan republik adalah warisan Para Pendiri Bangsa sekaligus menjadi modal dasar yang penting yang dapat digunakan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan, yaitu Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.