Sedang Membaca
Ayat-Ayat Sosiologis dalam Al-Qur’an (3): Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo (Surah Ali Imran ayat 110)
Nuzula Nailul Faiz
Penulis Kolom

Mondok di PP Nurul Ummah Yogyakarta dan mahasiswa di Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ayat-Ayat Sosiologis dalam Al-Qur’an (3): Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo (Surah Ali Imran ayat 110)

Whatsapp Image 2022 02 22 At 21.52.04

Orang-orang Islam, tentu sudah akrab dengan istilah-istilah seperti amar ma’ruf, nahi munkar, dan iman kepada Allah. Banyak ulama yang menggaungkan ketiga hal ini untuk diamalkan muslim. Ketiga hal ini biasanya diartikan dalam dimensi spiritual atau yang berkaitan dengan ibadah, seperti amar ma’ruf yang dicontohkan dengan memerintah orang untuk mendirikan sholat. Namun bagi Kuntowijoyo, ketiganya juga bisa memiliki dimensi sosial. Dimana hal-hal normatif dalam Islam yang diperintahkan Al-Qur’an ini, bisa diempiriskan ke dalam aksi sosial yang bisa membawa kepada visi Islam, rahmatan lil ‘alamin.

Dalam tulisan ketiga ini, ayat sosiologis yang dibahas adalah QS. Ali Imran ayat 110 yang berisi perintah ketiga hal di atas. Tulisan ini akan melihat bagaimana arti ayat tersebut menurut pandangan ulama, serta bagaimana Kuntowijoyo membawanya pada dimensi sosial, yang kemudian membuatnya merumuskan ilmu sosial profetik. Ilmu sosial profetik sendiri merupakan gagasan Kuntowijoyo, yang diartikan sebagai ilmu sosial yang menjadikan nilai-nilai normatif Islam sebagai landasan keilmuanya, sehingga dapat diaktualisasikan dan menjadi petunjuk perilaku dan aksi sosial (Leprianida, 2009).

Riwayat Hidup

Kuntowijoyo lahir dari keluarga priyayi dan taat beragama di Yogyakarta, pada 18 September 1983. Pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan di Klaten. Pada masa itu, ia mulai mengenal pergerakan Muhammadiyah lewat surau tempatnya mengaji setelah sekolah. Pendidikan menengah atasnya diselesaikan di Solo. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Jurusan Sastra Universitas Gadjad Mada Yogyakarta dan selesai pada tahun 1969. Saat kuliah, ia sudah aktif menulis puisi, cerpen, dan esai di berbagai Koran dan majalah nasional.

Selepas lulus, ia melanjutkan studinya di University of Connectitut dan Colombia University. Ia meraih gelar Ph. D. dalam bidang kajian sejarah. Selanjutnya ia mengabdi menjadi pengajar di almamternya, sambil aktif di gerakan keislaman, seperti Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Pengurus Pusat Muhammadiyah (Maskur, 2012). Ia juga dikenal sebagai sastrawan, budayawan, sejarawan, dan sosiolog terkemuka yang produktif menulis berbagai karya dalam bidang-bidang tersebut.

Baca juga:  Tafsir Surah At-Takatsur (Bagian 3)

Ali Imran ayat 110 dalam Pandangan Ulama

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ

Artinya: Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.…(Āli ‘Imrān [3]:110).

Setelah pada ayat-ayat sebelumnya, Allah memperingatkan tentang tipu daya Ahlu Kitab yang tidak mau beriman dan memerintahkan untuk berpegang teguh pada agama Allah dan syariat-Nya, Allah kemudian meminta segenap kaum mukmin untuk menegakkan kewajiban dakwah menuju Allah, melaksanakan amar ma’ruf, dan nahi munkar. Pada ayat ini, Al-Qur’an menyebut umat Nabi Muhammad yang melaksanakan amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman pada Allah sebagai umat terbaik yang dihasilkan manusia.

Syekh Ali ash-Shabuni dalam Shafwat at-Tafasir menjelaskan, predikat umat terbaik diperoleh, karena umat Nabi Muhammad SAW. merupakan manusia yang paling bermanfaat pada manusia (anfa’u an-nas li an-nas). Umat ini muncul dengan membawa orientasi kemanusiaan dan untuk kemaslahatan manusia. Syaratnya, umat Nabi Muhammad SAW. menjalankan tiga ciri umat terbaik yang disebutkan ayat ini, yaitu  amar ma’ruf, nahi munkar, dan beriman pada Allah. Sayidina Umar bin Khattab RA. diriwayatkan pernah berkhutbah tentang ayat ini: “Barang siapa yang senang dirinya menjadi seperti umat tersebut, maka penuhilah syarat yang Allah tentukan dalam ayat itu.” (Tafsir Ath-Thabari, 7/102).

Oleh Kuntowijoyo, ketiga ciri umat terbaik pada ayat itu kemudian dijadikan pilar atau unsur-unsur dari ilmu sosial profetik yang dikembangkanya. Namun, ia menghindari bahasa-bahasa dakwah, yang cirinya berlaku umum. Sementara dalam bahasa ilmu, mesti berlaku spesifik. Ia menerjemahkan ketiganya ke dalam kata yang punya arti social significance/makna sosial, yaitu amar ma’ruf menjadi humanisasi, nahi munkar menjadi liberasi, iman kepada Allah menjadi transendensi (Kuntowijoyo, 1997).

Baca juga:  Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang (c. 1820-1903)

Humanisasi, Liberasi dan Transendensi

Penerjemahan Kuntowijoyo atas ketiga ciri umat terbaik yang disebutkan Al-Qur’an itu ke dalam bahasa yang memiliki makna sosial, sejalan tentang gagasanya yang lain mengenai objektivikasi Islam. Objektivikasi Islam yang ia maksud adalah proses penerjemahan dan eksternalisasi nilai-nilai internal atau ajaran normatif Islam ke dalam kategori-kategori objektif. Ia menginginkan agar ajaran normatif Islam terkongkritisasi ke dalam perbuatan, agar kemudian masyarakat secara luas –baik muslim maupun yang bukan- merasakan manfaatnya tanpa harus menyetujui nilai-nilai asalnya (Nailul Faiz N, 2021).

Kuntowijoyo memahami ayat tersebut sebagai isyarat aktivisme sejarah umat Islam. Umat mesti terlibat langsung dengan persoalan-persoalan sejarah manusia. Aktivisme itu dibarengi dengan kesadaran akan nilai-nilai ilahiah sebagai tumpuanya, berbeda dengan aktivisme Kaum Marxis yang bertumpu pada etika materialistis. Ilmu sosial profetik kemudian memiliki posisi sebagai gerakan sadar aktivisme umat itu, untuk menjalankan etika profetik (amar ma’ruf, nahi munkar, iman kepada Allah), yang buahnya akan dirasakan dalam waktu yang lama.

Ilmu Sosial Profetik terdiri dari tiga pilar utama, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi. Pertama, humanisasi. Humanisasi di sini yaitu suatu usaha untuk mengangkat kembali martabat manusia akibat dehumanisasi (objektivikasi teknologis, ekonomis, budaya, atau negara), agresivitas (agresivitas kolektif, dan kriminalitas), dan loneliness (privatisasi, individuasi) (Kuntowijoyo, 1997).

Hal-hal itu bisa membawa manusia yang tadinya diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan pada apa yang disebut dalam Al-Qur’an “asfal as-safilin” (jatuh ke tempat paling rendah) (QS. At-Tin ayat 4-5). Bentuk humanisasi yang diisyaratkan pada ayat selanjutnya adalah iman dan amal saleh dalam arti luas. Contoh kongkrit dari humanisasi ini yaitu bagaimana umat Islam yang dipimpin Nabi Muhammad SAW. pada waktu itu, mengangkat derajat perempuan yang tadinya hanya dianggap sebagai objek dan tidak berharga dalam budaya Arab. Praktik humanisasi itu didasari bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama dihadapan Allah (Kodrat Permana A, 2021).

Baca juga:  Tafsir Surat Al-Baqoroh Ayat 102: Tentang Belajar Ilmu Sihir

Kedua, liberasi. Ada empat sasaran liberasi atau pembebasan yang dimaksud Kuntowijoyo. 1. Liberasi sistem pengetahuan, yakni usaha untuk membebaskan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dan dari dominasi struktur. 2. Liberasi sistem sosial, yakni pembebasan orang dari belenggu sistem sosial yang pada waktu itu sedang bertransformasi dari sistem sosial agraris ke sistem sosial industrial. 3. Liberasi sistem ekonomi, yakni pembebasan dari belenggu ekonomi yang memperkuat kesenjangan dan ketidak adilan. 4. Liberasi sistem politik, yakni usaha membebaskan sistem politik dari otoritarianisme, diktator, dan neofeodalisme (Kuntowijoyo, 1997).

Ketiga, transendensi. Transendensi memiliki peran sentral dalam ilmu sosial profetik. Transendensi ialah meletakkan Allah sebagai pemegang otoritas tertinggi, yang menjadi rujukan utama dari humanisasi dan liberasi, sehingga terhindar dari relativisme penuh, nilai tergantung pada golongan yang dominan di masyarakat, dan nilai tergantung nilai biologis (Kuntowijoyo, 1997). Maka, baik amar ma’ruf (humanisasi) dan nahi munkar (liberasi) yang menjadi pilar ilmu sosial profetik, harus diverifikasi dari sikap totalitas, kepasrahan, dan keyakinan kepada Allah SWT (Kodrat Permana A, 2021).

Wallahu a’lam bish showab

 

Referensi:

Ali ash-Shabuni. (2016). Shofwah at-Tafasir. Jakarta: Darul Alamiyah.

Ath-Thabari, A. J. (2000). Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Tafsir ath-Thabari). Muassasah ar-Risalah.

Kodrat Permana, A. (2021). Paradigma Al-Qur’an Menjawab Realitas Arab Jahiliyah Perspektif Ilmu Sosial Profetik. At-Tatbiq: Jurnal Ahwal asy-Syakhsiyah STAI Syamsul Ulum Sukabumi.

Kuntowijoyo. (2018). Muslim Tanpa Masjid. Yogyakarta: IRCiSoD.

Leprianida, L. (2009). Studi Pemikiran Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik. UIN Raden Patah Palembang: Tesis.

Maskur. (2012). Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo (Telaah atas Relasi Humanisasi, Liberasi dan Transendensi). UIN Alauddin Makassar: Tesis.

Nailul Faiz, N. (2021). Pemikiran Sosial Keagamaan Kuntowijoyo. Alif. Id: Sabtu, 06 November 2021.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top