Suatu ketika Kanjeng Nabi Muhammad ditanya oleh seorang lelaki. Ada yang mengatakan lelaki ini adalah Abu Dzar. Menurut Ibnu Hibban laki-laki tersebut adalah Hani’ bin Yazid.
“Islam yang baik itu bagaimana toh, Kanjeng Nabi?” tanya lelaki itu.
Menurut kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani, kata baik (dalam redaksi Arabnya menggunakan kata ‘khair‘) yang ada dalam teks hadis tersebut bermakna manfaat. Jadi pertanyaannya bisa bermakna, “Islam yang bermanfaat itu yang bagaimana toh, Kanjeng Nabi?”
“Islam yang baik itu bila kamu nraktir makan orang lain dan mengucapkan salam pada orang lain,” jawab kanjeng Nabi.
Aku membayangkan beliau jawab ini dalam keadaan kalem. Kalau konteks sekarang bisa jadi macam-macam soal traktir-mentraktir ini. Bisa mentraktir minum kopi, bagi-bagi berkat kondangan, dan macem-macemlah. Pokoknya makan-makan. Jadi kalau sedang nraktir teman, diniati melakukan dawuhnya Kanjeng Nabi, ya Mas dan Mba. Dan aku siap ditraktik bakso ini.
Satu lagi poin dawuh Kanjeng Nabi, yakni mengucapkan salam. Nah, ini maknanya bisa berkembang menjadi setelah makan-makan ya damai, berkata baik. Meskipun habis mentraktir, ya jangan sombong dan jangan riya’, karena bisa menimbulkan keburukan, memicu konflik. Percuma, habis makan-makan kok tidak rukun.
Terakhir sekali, boleh unggah di Instagram, Facebook, atau grup WA alumni, boleh saja. Tapi bau makan jangan ikut diunggah, biar tidak kena hadis tentang bagi makanan jika memasak baunya datang ke hidung tetangga. Tulisan caption yang baik, inspirasional. Tapi jangan berlebihan, bisa mengurangi suasana damai.
Paragraf terakhir, satu pertanyaan untun Kanjeng Nabi tentang anjuran ringan ini dapat dibaca di kitab Shahih Bukhori, bab Iman. Ehm, sejatinya anjuran mentraktir ini tidak ringan ya, karena dimasukkan dalam bab Iman. Luar biasa Islamku, Islam Anda, Islam kita.