Apakah ada teori ekonomi menurut Imam al-Ghazali, pengarang kitab Ihya’ yang masyhur dan “mengubah” dunia Sunni itu? Kalau dibaca secara “lugu” semua karya al-Ghazali, tentu tidak akan kita jumpai teori ekonomi menurut ulama agung ini. Al-Ghazali, secara spesifik, memang tidak memiliki perhatian, baik teoritik atau praktis, terhadap masalah ekonomi.
Sebelum berlanjut lebih jauh, perkenankan saya mendefinisikan apa yang disebut ekonomi. Istilah ini sudah sering kita pakai, saking seringnya sehingga kita lupa maknanya apa.
Ekonomi di sini saya definisikan sebagai bidang pengetahuan manusia mengenai pokok soal ini: iaitu bagaimana kekayaan bisa diperoleh oleh seseorang, atau oleh sebuah bangsa; “how to generate wealth”. Kekayaan di sini tentu saja bukan dalam pengertian metaforis, misalnya kekayaan rohani; melainkan kekayaan dalam pengertian harafiah dan sempit: kekayaam material.
Ilmu ekonomi juga menggeluti isu lain, tetapi ini (menurur pemahaman saya) sekunder, yaitu bagaimana, setelah kekayaan itu diperoleh, dipegang dan “dikandangi” di dompet, dibelanjakan, didistribusikan, di-tasharruf-kan.
Jika ekonomi didefinisikan seperti ini, tentu saja tidak ada “teori ekonomi” dalam karya-karya al-Ghazali. Tetapi jika ekonomi kita pahami sebagai bidang yang mencakup pula masalah moralitas (maksudnya: bagaimana memperoleh kekayaan itu SEHARUSNYA dilakukan), maka jelas ada teori ekonomi dalam karya al-Ghazali, terutama dalam kitab Ihya’. Tulisan ini akan mencoba mengulas secara sederhana gagasan ekonomi menurut al-Ghazali, atau sebut saja “Ghazalian economics”.
Fondasi dasar ekonomi ala al-Ghazali adalah etika “qadrul hajah”, bertindak secukupnya dalam semua lapangan kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Gagasan ini mengandaikan bahwa suatu kegiatan ekonomi bukanlah kegiatan tanpa batas. Aktivitas ekonomi adalah sesuatu yang niscaya, bahkan secara moral baik dan mesti dikerjakan, tetapi ia baik hingga batas-batas tertentu.
Dasar kegiatan ekonomi adalah, seperti saya sebut dalam definisi di atas, untuk men-generate, menciptakan kekayaan, kemakmuran. Kegiatan ini diwujudkan dalam pelbagai bentuk: pertanian, perdagangan, pertukaran jasa, industri, manufaktur, pariwisata, eksploitasi sumber-sumber alam, atau (dalam era digital sekarang) e-commerce. Semuanya adalah kegiatan yang betujuan tunggal: bagaimana menciptakan dan meraih kemakmuran.
Pertanyaan dasarnya, dalam perspektif Ghazalian, adalah ini: seberapa jauh kita bisa mengakumulasi, menumpuk-numpuk kekayaan itu? Apakah kegiatan ini bisa dilakukan tanpa batas, sehingga sebuah perusahaan bisa menumpuk keuntungan tanpa sebuah “limit”, “hadd”, atau sebetulnya ada batas yang tak boleh dilewati?
Seberapa banyak seseorang layak memiliki kekayaan? Adakah kekayaan bisa ditumpuk tanpa batas? Ataukah ada batas minimal dan maksimal bagi kekayaan itu? Misalnya, batas maksimal deposito yang “etis” untuk satu orang, berapakah? 10 milyar, 50 milyar, atau 100 milyar? Ini hanya misal saja.
Perspektif ekonomi ala al-Ghazali bisa diringkaskan dalam ajaran di atas: yaitu, qadrul hajah; sekedarnya saja. Ekonomi dalam pandangan al-Ghazali adalah “ekonomi berbatas”, “the economics of limit”.
Perspektif ini jelas kontras dengan praktek ekonomi modern yang diasaskan pada asumsi “tak adanya batas” bagi sebuah produksi dan penciptaan kekayaan. Jika lahan terbatas, ada teknologi untuk memaksimalkan produksi dengan mengadopsi sejumlah alternatif teknologi yang tersedia banyak di “pasaran”. Masalahnya satu: ada kemauan politik dan kesiapan budaya atau tidak.
Ekonomi modern, sebagaimana pernah menjadi kritik keras E. F. Schumacher, seorang ahli ekonomi Inggris yang banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Gandhi, didasarkan pada sebuah asumsi dasar: bahwa problem produksi (problem yang dihadapi masyarakt manusia selama ratusan, bahkan ribuan tahun) sudah bisa diatasi, yaitu dengan ditemukannya “mesin” dengan segala buntutnya.
Dengan berhasil diatasinya masalah produksi, soal kelaparan, misalnya, sudah bukan lagi isu yang susah diatasi; bukan lagi “masalah yang keras kepala” (recalcitrant problem). Masalah kelaparan hanyalah soal teknis belaka: tinggal memproduksi pangan sebanyak-banyaknya, lalu mendistribusikannya.
Tetapi masalahnya bukan di sana. Bahwa masalah produksi berhasil diatasi melalui proses pemesinan segala hal yang terkait dengan penciptaan barang atau jasa, memang benar. Tetapi kegiatan produksi bukanlah sesuatu yang berlangsung dalam ruang sosial yang kosong. Kegiatan produksi ini berlangsung di dalam sebuah ruang bernama bumi. Sebagai ruang (atau “hayyiz” dalam istilah para ahli kalam atau teolog Muslim), bumi bukanlah ruang yang tanpa batas. Dia terbatas.
Tidak hanya itu. Manusia sebagai makhluk sosial yang akan mengonsumsi barang-barang yang diproduksi oleh mesin-mesin itu, juga sebuah ruang yang terbatas. Ruang dimana konsumsi atas barang-barang itu dikonsumsi adalah perut. Kita semua tahu, perut bukanlah ruang yang tak berbatas. Perut manusia ada batasnya, ada “hadd”-nya. Jika batas ini dilanggar, masalah, dengan satubdan lain cara, cepat atau lambat, akan muncul dan menimbulkan efek “ihlak”, merusak.
Sebuah hadis yang dikutip dalam Ihya’ (saya bisa saja mengutip pendapat dari Sokrates, Plato, atau Aristoteles, tapi saya memilih mengutip dari hadis saja, “iras-irus” membangun kesadaran tentang pentingnya membangun pengetahuan dari “dalam”); ya, hadis itu menegaskan: wa-kulu wa-syrabu fi anshafi-l-buthuni fa-innahu juz’un mina-n-nubuwwah) — makan dan minumlah hingga separoh perut, karena itu bagian dari tindakan kenabian.
Mengisi perut hanya separohnya saja adalah tindakan profetik, langkah kenabian.
Ada ruang lain yang tidak bisa diabaikan, yaitu “masyarakat”. Sebagaimana bumi dan perut, masyarakat adalah ruang yang juga memiliki batas. Masyarakat adalah “manzil”, “oikos” (karena itu muncul istilah “oikos-nomos”, lalu menjadi ekonomi, yaitu aturan untuk menata rumah tangga); masyarakat adalah rumah di mana manusia secara sosial tinggal. Rumah ini ada batas-batasnya.
Contoh sederhana: seseorang bisa saja melakukan ekspansi usaha minimarket tanpa batas, membuka gerai di seluruh pelosok negeri, asal ada modal dan pihak-pihak yang bersedia menjadi partner. Tetapi, ruang sosial di mana ekspansi usaha ini dilangsungkan bukanlah ruang yang tanpa batas. Pada titik tertentu, ekspansi usaha ini akan “menggusur” bisnis kecil-kecilan yang dikerjakan oleh masyarakat kecil. Jika hal ini tidak diperhatikan, akan timbul “social unrest”, keresahan masyarakat.
Ekonomi modern yang di-asas-kan pada asumsi “ketakterbatasan produksi” itu, menimbulkan masalah besar karena memiliki efek destruktif terhadap ruang-ruang yang tebatas itu: bumi, perut, dan masyarakat.
Ekonomi ala al-Ghazali adalah ekonomi “qadrul hajah”, ekonomi yang mengenal batas. Tentu saja soal batasnya di mana, ini bisa menjadi bahan diskusi pada level pernak-pernik. Yang penting adalah gagasan dasarnya yang membalik-“grompyang” asumsi-asumsi dalam ekonomi konvensional.
Sekian.