Membincang tentang lelembut, dengan berbagai riwayatnya, memang tak akan ada habisnya. Dan dari dulu hingga masa ini, dimana era revolusi industri sudah makin mutakhir, lelembut tetap saja mampu menjaga eksistensi mistiknya, dan menurut Prof Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java, dijelaskan bahwa yang dimaksud lelembut merupakan makhluk halus yang seringkali menyebabkan kesurupan, dan di masyarakat Jawa, lelembut seringkali disebut juga sebagai gendruwo, setan, demit, atau jin .
Lalu berdasarkan pada argumentasi Ki Sondong Mandali dalam bukunya berjudul, Kawruh Kejawen terjelaskan bahwa keberadaan lelembut sebagai makhluk halus dalam ajaran Kejawen, mempunyai kedudukannya sendiri, berbeda dengan setan atau iblis. Sebab lelembut termasuk makhluk ciptaan Tuhan yang bisa menjadi saudara manusia, sekaligus membantu keperluan manusia. Sehingga dari beberapa penjelasan yang ada, bisa ditafsirkan secara spesifik bahwa lelembut tergolong makhluk halus yang dekat dengan dimensi manusia, yang dalam interaksinya bisa berupa kesurupan, dialog lintas alam, hingga simbolisme ghaib, yang kemudian secara lebih atraktif ditampilkan dalam film Danyang.
Selanjutnya berkaitan dengan film Danyang, bisa dideskripsikan bahwa film ini termasuk film pendek bergenre horor, yang merupakan hasil garapan dari Ravacana Films, serta di sutradarai oleh Tiaratita, dan dipublikasikan pada bulan mei 2021. Menurut Tiaratita sendiri, danyang berarti “sesosok makhluk yang menghuni suatu tempat dan melindungi tempat itu”, dan sejatinya, danyang juga termasuk dalam ekosistem lelembut.
Kemudian dalam buku berjudul, Dunia Hantu Orang Jawa karya Prof Suwardi Endraswaras, diterangkan pula bahwa Dhanyang/ Danyang merupakan roh hantu yang menjadi perintis awal dari suatu wilayah, sekaligus berkuasa penuh untuk menjaga kesejahteraan bumi atau daerahnya. Sehingga dalam hal ini, bisa dianalisis bersama, bahwa film Danyang ada, tampaknya untuk mengkontruksi nilai-nilai eksistensi dari makhluk halus, yang selama ini mungkin dianggap sebagai objek yang menakutkan, sebab sejatinya pada tiap kehadirannya mempunyai makna ataupun secret message yang ingin dinarasikan. Hal ini cukup selaras pula, dengan argumentasi dari Tiaratita yang menyatakan bahwa “mungkin mereka (makhluk halus) terlihat buruk dan terasa mengganggu kita, namun dibalik itu mereka punya niat yang baik, misalnya kayak ingin menyampaikan suatu pesan, cuman memang dengan cara mereka”.
Kemudian, seluruh dialog-dialog dalam film Danyang ini, menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa, yang akhirnya membuat film ini, menjadi lebih rekat sekaligus mengakar, khususnya dalam ruang kebudayaan maupun imaji masyarakat Jawa. Dan menurut Abdul Chaer dan Leonir Agustina dalam buku Sosiolinguistik, dipaparkan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi, mempunyai peranan yang fundamental, dan bahasa yang dipergunakan haruslah mempunyai kesamaan serta bisa dipahami antara pihak penutur dan pendengar, dan film Danyang, terlihat memanfaatkan basis linguistik tersebut, antara yang bertutur dalam film dan para pendengar atau penontonnya saling terhubung secara kultur kebahasaan. Sehingga penonton mendapatkan pengalaman kebahasaan lokal yang unik, selama proses menikmati film, dan menurut Amy Villarejo dalam bukunya berjudul Film Studies The Basic menyampaikan bahwa film sebenarnya terstruktur seperti bahasa, dan tata bahasa film mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga ada film-film yang corak alurnya seperti novel yang mempunyai banyak chapter, ada pula yang seperti puisi dengan arus ceritanya yang ingin mencapai hakikat terdalam, hingga ada juga yang condong ke arah dokumenter yang akhirnya terlihat sebagai bahasa jurnalisme. Dan film Danyang, termasuk film yang polanya mirip cerpen, sebab tidak terlalu panjang, isinya padat, dan langsung pada makna ceritanya.
Selain itu, dalam film Danyang , perwujudan untuk sosok Danyang dirupakan sebagai seorang anak kecil perempuan yang berambut panjang, dan tampil dengan menggunakan kaos singlet, serta ekspresi wajahnya yang datar. Dan dari hal tersebut, yang penulis ingin pertanyakan langsung pada sang sutradara ialah, kenapa sosok Danyang berwujud perempuan ?, kenapa tidak seorang anak laki-laki?, hal ini penting untuk dijawab, sebab hadirnya seorang perempuan dalam film tersebut, bisa mempunyai makna tersendiri, yang dengan itu, kita bisa “membongkar” lebih dalam, tentang makna sejati dari film Danyang.
Mungkin, pertanyaan singkat tersebut juga bisa terjawab dari naskah jurnal Umi Halimah yang berjudul Hantu Perempuan Jawa dalam Alaming Lelembut Sebagai Representasi Femme Fatale, yang menjelaskan bahwa perempuan dalam dunia Jawa seringkali mendapatkan label kanca wingking (teman belakang), yang itu meliputi masak (tugasnya memasak), manak (melahirkan anak), macak (berhias untuk suami). Dengan demikian, bisa ditafsirkan bahwa sosok perempuan identik dengan urusan domestik rumah tangga yang serba kompleks, sehingga bisa jadi, keberadaan Danyang yang berwujud perempuan dalam film tersebut, mewakili eksistensi nilai dari perempuan Jawa, yang selama ini terkontruksi bersama sebuah ruang yang disebut rumah.
Kemudian menurut Yafi’ Alfita dalam artikelnya berjudul 10 Film Pendek Indonesia yang Bisa Ditonton di Youtube (mojok.co), diungkapkan bahwa film Danyang berhasil memberikan cerita dan sinematografi yang epic, dan menurut penulis sendiri, film Danyang termasuk film pendek yang berhasil mengangkat sisi-sisi kebudayaan Jawa dengan sudut pandang yang tak biasa, misterius, dan mengundang penasaran. Dan melalui film Danyang, kita seakan mendapat pertanyaan, apakah kamu sudah mengenal Danyang di sekitarmu ?
Dari film Danyang, penulis ingin menyuguhkan satu tafsiran bahwa kita butuh film-film lelembut bukan film horor. Sebab bagi penulis, film lelembut punya makna tersendiri yang menyangkut dimensi kemanusiaan, kebudayaan, serta etika Jawa. Dan bukan seperti film horor yang tampak sebagai propaganda kengerian ala barat. Kemudian dengan adanya film lelembut semacam Danyang, akan turut menjadi instrument yang bisa merawat keberimanan masyarakat kita, karena Tuhan dan lelembut secara unsur berada pada status yang sama yaitu ghaib. Dan ciri masyarakat beriman adalah meyakini yang ghaib.
Lalu sebagaimana disampaikan Azka Nashrul Hasan dalam jurnalnya berjudul Intrepretasi KH Yasin Asmuni Tentang Jin Dalam Tafsir Muawwidzatain, disampaikan bahwa lelembut atau makhluk halus termasuk dalam golongan Jin, dan mempunyai tanggung jawab yang sama untuk taat pada hukum-hukum Allah SWT. Sehingga sejatinya manusia dan lelembut punya relasi yang saling berdekatan, dan hadirnya film lelembut akan turut mengukuhkan identitas kita sebagai Jawa sekaligus Islam.