Sabtu 11 Juni, sekitar pukul 16.30 WAS, rombongan wartawan dari Pudji Abdul (SCTV), Prapdipta (RRI), Elik Ragil (slami.CO), Surya Yuli (Suara Merdeka), Abdul Hakim (Sindo), dan aku dari Alif.ID, bergerak dari Bandara Amir Mohammed bin Abdul Masjid menuju asrama untuk istirahat. Namun baru 5 menit meninggalkan bandara, salah satu di antara kami usul jangan langsung pulang, melainkan mampir dulu ke Masjid Quba.
Kami semuanya setuju. “Gas pol,” kata Elik Ragil dari Islami.CO. Abdul Hakim dari Sindo yang sudah pernah ke sana, menegaskan, “Enak di sana, tidak terlalu panas, banyak pohon kurma.”
Sekitar 20 menit dari bandara, menara masjid sudah tampak dari kejauhan. “Itu menaranya sudah terlihat,” kata Hakim. Empat menara menjulang seperti melambai-lambai memanggil kami.
Masjid Quba tidak berukuran besar. Lahan parkir justru terlihat lebih luas. Masjid Quba hanya lebih besar sedikit saja dari Masjid Sunda Kelapa di Jakarta Pusat (menurut informasi terbaru, masjid ini akan diperluas dari 5000 meter persegi menjadi 50.000 meter persegi).
Tetapi, Masjid Quba menjadi bagian sejarah besar pergerakan Nabi Muhammad dalam membangun peradaban baru di tanah Arab, terkhusus di Madinah.
Dan bagaimana tidak istimewa, Masjid Quba disebutkan dalam Al-Quran surat at-Taubah ayat 108, “Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya.”
Rasulullah membangun Masjid Quba tahun pertama Hijrah, 622 Masehi. Sementara Masjid Nabawi dibangun tahun 644 M. Walhasil, Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun Rasulullah.
Nabi Muhammad sendiri menyatakan keistimewaannya, “Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu datang ke Masjid Quba, lalu dia mendirikan shalat di sana, maka dia mendapatkan pahala umrah.” (HR. Ibnu Majah).
Yang aku kaget, kata seorang India bernama Kholid yang kuhampiri, beruntung datang di hari Sabtu, karena Nabi Muhammad sering ke berkunjung di Masjid Quba di hari Sabtu.
Di masjid ini pun, kita bisa menikmat tulisan-tulisan kaligrafi nan mempesona. Ada surat al-Fatihah, ayat Kursi, salah satu ayat dari surat Muhammad, hingga hadis keutamaan shalat di Masjid Qubah.
Tidak hanya itu, di masjid ini juga kuat nuansa orang belajar. Aku sempat mendekati dan kenalan seorang “santri” bernama Daud. Dia berjalan mondar-mandir di ruangan utama masjid. Tangan kirinya membawa sebuah buku, tangan kanannya memutar-mutar pensil. Dia tampak sedang menghafal sesuatu.
“Ini buku balaghah,” kata Daud, pemuda kulita hitam yang mengaku asal Sinegal. Ketika kusebut Sadio Mane pemain lipervool asal Sinegal, Daud tersenyum. Sayang sekali aku tidak berkenalan lebih dalam, menanyakan judul buku pun tidak sempat.
Aku pun belum sempat mengikuti rekomendasi ulama muda dari Grobogan Muhammad Shofy Al Mubarok untuk sowan Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith yang tinggal di daerah itu.
Waktu 30 menit memang terlalu singkat untuk mengunjungi tempat bersejarah dan sarat makna. Untung saja aku masih punya waktu sekitar 10 hari lagi di Madinah, aku pun berjanji dalam hati, “Sabtu depan harus ke sini lagi.”