Aku berperang bukan untuk menang. Tetapi, aku berperang lebih agar hak-hakku tidak menjadi sia-sia begitu saja. Tidak pernah terjadi sepanjang umur sejarah manusia sebuah bangsa dan umat selamanya meraih kemenangan. Sesungguhnya aku hanya mengkhawatirkan satu hal: kita terus terpecah-pecah. Sebab, segala sesuatu yang terus menerus terpecah-pecah tidak mungkin akan mampu bangkit kembali. Katakan kepada mereka: hendaklah mereka senantiasa bersemangat agar tidak dapat terkalahkan sepanjang abad—Ibrahim Nashrallah, Zaman al-Khuyul al-Baydha
Palestina adalah legenda. Tapi ia juga darah dan air mata. Dahulu, Palestina adalah tanah suci impian para Nabi. Palestina adalah negeri impian bagi orang-orang yang beriman dan merindukan rumah Tuhan.
Palestina adalah surga, yang kini telah remuk redam akibat sebuah kesewenangan yang dilembagakan—Israel. Palestina adalah istana keagungan maha megah yang kini luluh-lantak, merupa serpih-serpih yang berserakan, bertebaran, berceceran tak keruan.
Dan Ibrahim Nashrallah, novelis kelahiran Yordania pada 1954 dari orang tua pengungsian Palestina adalah sosok yang senantiasa duduk menyanding dengan legenda itu. Legenda Palestina.
Ibrahim Nashrallah adalah sastrawan, profesor, pelukis, sekaligus cendikiwan besar, perindu saat-saat negerinya adalah legenda, saat negerinya adalah jelmaan tanah suci, saat negerinya adalah surga. Dan sang perindu ini menuangkan segala kecamuknya dalam rupa jilid-jilid buku, merangkainya dalam bentuk cerita-cerita.
Barangkali Nashrallah sangat percaya jika pena memiliki kekuatan yang lebih tajam dari pedang, tulisan lebih memiliki kekuatan yang lebih hebat dari senjata dan kendaraan perang. Maka lahirlah mahakaryanya yang legendaris: al-Malahhah al-Filasthiniyyah, Komedi Palestina.
Proyek-karya besar tersebut dimulai sejak tahun 1996 hingga 2007, terdiri dari 6 novel. Keenam novel tersebut mengisahkan tentang babakan-babakan kehidupan Palestina selama kurang lebih 125 tahun, yang merentang dari masa akhir Kekhalifahan Utsmani, penjajahan Inggris, pendirian negara Zionis-Israel, masa nukbah al-kubra (pengusiran besar-besaran), perang Arab-Israel, hingga Intifâdhah.
Kesemua cerita itu diolah dan dikemas oleh Nashrallah dengan sangat apik, menarik, menggugah, mengharukan, sekaligus menggelitik—hal ini sekaligus menunjukan kepiawaian dan reputasinya sebagai seorang novelis besar. Yang menjadikannya lebih menarik lagi, keenam jidil novel tersebut berdiri secara independen antar satu sama lain. Keenam jilid tersebut adalah Thuyur al-Hadzr (Burung Pengingat, 1996), Thifl al-Mumahhah (2000), Zaytun as-Syawari’ (Rumpun Zaitun Tepian Jalan, 2002), A’ras Aminah (Altar Ternyaman, 2004), Taht Syams ad-Dhuha (Di Bawah Matahari Duha, 2004), Zaman al-Khuyul al-Baydha (Zaman Kuda Putih, 2007).
Situs keislaman terbesar Islamonline (13/03/02) memuji karya-karya Nashrallah sebagai literatur yang sangat berharga, sumbangsih yang sangat mahal, sekaligus bagian yang tak terpisahkan dari penderitaan, perjuangan, dan juga mimpi bangsa Palestina.
Sementara harian Inggris terkemuka The Guardian (29/01/07) memuji karya-karya Nasrallah sebagai karya yang menggetarkan dan mampu menggambarkan cerita dengan sangat nyata.
Novel terakhir Nasrallah, Zaman al-Khuyul al-Baydha, secara khusus memotret dan mengisahkan keadaan Palestina, bangsanya, dan orang-orangnya dalam rentan masa tiga zaman, yang bermula dari akhir abad ke-19 M (akhir masa kekuasaan kekhhalifahan Utsmaniyyah), hingga masa pendirian negara Israel di tahun 1948.
Di halaman pertama novel tersebut, Nasrallah menuliskan sebuah kalimat pembuka:
“Allah telah menciptakan kuda dari angin, manusia dari tanah—(dan rumah dari manusia)”. Dari kata kunci kalimat itulah Nasrallah kemudian membagi novelnya ke dalam tiga bagian: ar-Rih (Angin), at-Turab (Tanah), al-Basyar (Manusia).
Dalam tiga bagian itu, Nashrallah menceritakan kehidupan beberapa orang yang berbeda-beda di setiap zamannya. Namun kesemuanya itu disatukan oleh kecintaan mereka terhadap kuda putih. Setiap orang, di setiap masanya, memiliki masalah dan fenomena tersendiri. Nasrallah, misalnya, mengisahkan tentang pergulatan kehidupan para petani Palestina dengan para pemilik tanah dan pengurus negara, penguasa Turki (Utsmani), penjajah Inggris, pendatang Yahudi, dan juga para pemerintah Arab.
Nasrallah juga tak ketinggalan untuk memotret pernik detil dari kehidupan semua kalangan tersebut: cinta, hidup dan mati, pengkhianatan, kesewenang-wenangan, kemuliaan, kelurusan hidup, kasih sayang, peperangan, angkara murka, sekaligus takhayul orang-orang tentang kuda putih yang menyimpan arwah orang-orang yang telah meninggal: semua itu tumpah dan beraduk menjadi satu, menjadikan novel Zamân al-Khuyul semakin menarik untuk disimak.
Majalah sastra dan budaya Arab Diwan al-‘Arab (18/10/08) menyatakan Zaman al-Khuyul sebagai novel yang mewakili potret nyata kehidupan rakyat Palestina selama enam puluh tahun. Zaman al-Khuyul mampu secara utuh menghadirkan potret tersebut, cerita-cerita yang didedahkan menyeruak dengan begitu “merakyat” dan kuat. Zaman al-Khuyal adalah hikayat Palestina, hikayat sebenar-benarnya hikayat.
Selamat membaca.