Kita punya banyak kosakata yang berhubungan dengan duduk dan cara duduk. Di antara yang saya tahu adalah bersila, bersimpuh, bertimpuh, bertinggung, berjuntai, dan lain-lain. Gaya-gaya duduk ini pun bergantung kepada orang dan situasinya. Adanya berbagai macam kosakata yang mengacu kepada duduk dan gaya-gayanya ini—sedikitnya—menunjukkan betapa santainya orang Indonesia.
Bersila: duduk yang umum bagi lelaki, seperti ketika sedang makan lalapan di saung Kabayan yang tempat duduknya gaya lesehan. Umat Islam yang sering mengadakan acara tanpa kursi ya duduk bersila, bahkan ini dilakukan setiap selesai shalat.
Bersimpuh: duduk saat menghadap sultan, kiai, atau calon mertua (duduk seperti tahiyat pertama saat shalat, biasanya untuk laki-laki sebagai variasi karena kram kalau bersila terlalu lama).
Bertimpuh: duduknya perempuan kebanyakan (seperti tahiyat kedua; tubuh ditopang oleh tangan kiri).
Bertinggung: duduk dengan lutut diangkat, seperti duduknya orang yang baru terjatuh dari sepeda motor dan napasnya masih naik-turun.
Berjuntai: duduk dengan kaki menggelantung, seperti duduk di dahan besar pohon mangga sambil membawa cobek berisi cabai dan garam, rujakan di atas sana.
Jongkok: duduk tapi pantat tidak menyentuh lantai, seperti duduk di jamban
Duduk biasa: ya, duduk biasa, masa harus dijelaskan lagi?
Adapun lesehan adalah tentang situasi duduk. Lesehan merupakan khazanah bangsa ini tapi entah dari mana ia berasal, apakah warisan tradisi jalsah dari warga Hadramaut atau dari Gujarat? Saya belum menguliknya. Yang pasti, di Barat, lesehan atau duduk saat bertamu bukanlah hal biasa. Di sana, duduk itu, ya, di kursi. Jangankan duduk bersila, bahkan jongkok pun, bagi sebagian mereka, merupakan suatu hal yang tak biasa. Merasa kesulitan melakukannya. Paling top-nya mereka paling cuma mencangkung. Namun kita tahu, Jepang juga punya tradisi duduk yang bermacam-macam hingga sekarang.
Di pedesaan Madura, dan saya kira juga begitu di pedesaan-pedesaan lain di Indonesia, banyak keluarga yang tidak memiliki sice (meja dan kursi), tapi mereka punya tikar atau karpet atau hambal untuk digelar manakala ada tamu, tempat mereka duduk atau tiduran.
Budaya kita punya banyak aturan tentang duduk, dan umumnya tidak tertulis. Aturan tersebut mengharuskan orang kapan waktunya duduk dan kapan waktunya berdiri. Contoh: saat makan dan minum kita harus duduk. Standing party tidak cocok buat orang desa. Orang Indonesia di kota sudah mulai terbiasa dengan model ini, model makan sambil jalan tanpa duduk.
Sementara saat ada orang sepuh yang datang atau melintas, kita punya aturan harus berdiri untuk menghormat. Kadang pula berdiri sambil ngapurancang, kadang pula setengah menjura. Jadi, mengapa kalau Maulidan itu ada kalanya hadirin berdiri di antara dua duduk pada permulaan dan penutupan? Karena mereka meyakini bahwa yang disanjung di dalam puji-pujian itu, Rasulullah saw, hadir dan datang ke tempat itu. Persoalan kita kita bisa melihat kedatangan beliau karena keterbatasn mata, tapi kita biasanya ‘merasakan’ kedatangan itu.
Di Barat, ada istilah “Coffee to Go”, kedai kopi yang menjual kopi tapi tidak menyediakan bangku (kecuali hanya beberapa) karena target pembelinya adalah orang-orang yang melintas: beli lalu kopinya dibawa pergi. Di Jogja, di kafe-kafe kelas mahasiswa, orang membeli kopi lima ribuan secangkir tapi durasi duduknya masya Allah lamanya (kalau ngaji, bisa sampai tiga juz). Mengapa bisa begitu? Karena mereka pernah mendengar hadis kalau minum itu harus duduk, sementara di Barat yang begitu itu tidak terlalu laku. Yang ini cuma mungkin, loh, mungkin begitu.
Duduk punya aturan tersendiri di dalam budaya Nusantara, begitu juga di dalam Islam. Ruang tamu kiai di pesantren (juga di Madura) banyak yang tanpa sice, tanpa meja-kursi, sehingga tamu harus duduk di bawah, di atas tikar, atau karpet, atau ambal. Orang yang jarang bersila—seperti bule—akan berat menjalaninya. Mereka akan duduk bercangkung. Sebab itu, tuan rumah mesti mafhum: duduk bercangkung adalah pelajaran bersila bagi pemula.
Duduk menjadi tidak santai lagi, bahkan krusial, jika kursinya mengandung unsur metafora, kekuasaan misalnya. Duduk di kursi dewan, kursi rektorat, kursi presiden direktur, adalah sedikit contohnya. Duduk yang paling berbahaya adalah duduk di pangkuan orang lain atau orang asing. Adapun duduk yang ditakuti adalah duduk di kursi listrik.
Adakalanya, memilih tempat duduk pun dapat menyebabkan munculnya sifat sombong. Ah, masa?
Iya, kok. Habib Umar bin Hafizh berpesan (di dalam Taujih an-Nabih li Mardhah Barih, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Habib Umar bin Hafizh Menjawab) lewat sebuah ilustrasi, bahwa “jika sifat sombong menginginkan duduk di deretan paling depan suatu majelis, maka hendaklah kita mencari tempat di tengah”. Apabila kita memang berhak duduk di depan tapi rela memilih posisi di tengah atau belakang, maka yang demikian itu (menurut Sayyid Abdullah Alawi al-Haddad di dalam kitab “Hikam”-nya) merupakan tanda-tanda tawaduk.
Cuman, yang perlu dicatat, posisi duduk yang dimaksud adalah duduk di majlis (ilmu atau zikir), bukan di atas becak. Jika Anda melihat orang naik becak dan dia maksa duduk di tengah padahal tukang becaknya sudah mempersilakannya duduk di depan, maka itu tanda-tanda dia khilaf. Jika justru dia yang mengayuh (duduk di belakang) sementara si abang becaknya yang jadi penumpang, maka kemungkinan besar dia adalah seseorang yang sedang menjalani laku Mulamatiyyah. Inilah tambahan beberapa cara mengidentifikasi orang berdasarkan gaya duduknya.
Oh, ya, sementara itu, selain di majelis yang digambarkan di atas, belajar menahan diri dari sifat sombong itu juga bisa dimulai latihannya dari dalam bis dan/atau angkutan umum lainnya. Saran saya, jika Anda kebetulan naik bis umum atau kereta komuter dan Anda kebagian tempat duduk sehingga bebas main game di ponsel sementara ada seorang ibu yang menggendong balitanya berdiri di dekat Anda karena tidak kebagian kursi, sikap Anda ada dua:
Pertama, Anda tetap duduk karena Anda berhak mendapatkan fasilitas atas nama penumpang yang sah;
Kedua, Anda memilih berdiri saja dan mempersilakan si ibu untuk duduk atas nama kemanusiaan.
Maka, sungguh benarlah kata pepatah: “Duduk sama rendah, berdiri sama pengamen”.