Dalam Alquran surat al-An'am ayat 108 Allah jalla wa 'ala berfirman:
ﻭﻻ ﺗﺴﺐﻭا اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ اﻟﻠﻪ ﻓﻴﺴﺒﻮا اﻟﻠﻪ ﻋﺪﻭا ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ ﻛﺬﻟﻚ ﺯﻳﻨﺎ ﻟﻜﻞ ﺃﻣﺔ ﻋﻤﻠﻬﻢ ﺛﻢ ﺇﻟﻰ ﺭﺑﻬﻢ ﻣﺮﺟﻌﻬﻢ ﻓﻴﻨﺒﺌﻬﻢ ﺑﻤﺎ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ
"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (Terjemahan Alquran Kemenag)
Dalam Tafsir Lathaiful Isyarat, Syekh Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi (w. 465 H) menjelaskan:
ﻳﻌﻨﻰ ﺧﺎﻃﺒﻬﻢ ﺑﻠﺴﺎﻥ اﻟﺤﺠﺔ ﻭاﻟﺘﺰاﻡ اﻟﺪﻻﺋﻞ ﻭﻧﻔﻰ الشبهة، ﻭﻻ ﺗﻜﻠﻤﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﺟﺐ ﻧﻮاﺯﻉ اﻟﻨﻔﺲ ﻭاﻟﻌﺎﺩﺓ، ﻓﻴﺤﻤﻠﻬﻢ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﺗﺮﻙ االاجلال ﻟﺬﻛﺮ اﻟﻠﻪ.
Maksudnya adalah bertuturlah kepada mereka, orang-orang yang menyembah selain Allah, dengan hujjah, menetapi dalil-dalil, dan menolak syubhah. Janganlah berbicara kepada mereka dengan mengikuti nafsu dan kebiasaan. Karena hal itu bisa mengakibatkan mereka meninggalkan pengagungan menyebut/berdzikir pada Allah.
Yang perlu digarisbawahi berkenaan dengan diskusi tentang sesembahan agama lain ialah kita berdiskusi "dengan hujjah, menetapi dalil-dalil, dan menolak syubhah". Bagaimana melaksanakannya? Kita dapat melihat Nabi Saw. Dalam sebuah hadis nomor 3095 dalam Kitab Shahih At-Tirmidzi diceritakan:
أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ وفي عنقي صليبٌ من ذَهبٍ. فقالَ يا عديُّ اطرح عنْكَ هذا الوثَنَ وسمعتُهُ يقرأُ في سورةِ براءةٌ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ قالَ أما إنَّهم لم يَكونوا يعبدونَهم ولَكنَّهم كانوا إذا أحلُّوا لَهم شيئًا استحلُّوهُ وإذا حرَّموا عليْهم شيئًا حرَّموه.
Aku (Adi bin Hatim ath-Tha'i) sowan kepada Nabi Muhammad Saw sedangkan di leherku terdapat salib dari emas. Maka Nabi menasehatiku, 'Wahai Adi jatuhkan berhala ini dari lehermu'. Dan aku mendengar Nabi Saw membaca ayat dari surat Bara'ah (ayat 31): Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah. Nabi bersabda: sebenarnya mereka tidak menyembah "ulama" Yahudi dan Nasrani itu tapi mereka ketika "ulama" itu menghalalkan sesuatu maka mereka ikuti, dan ketika "ulama" itu mengharamkan sesuatu mereka ikuti.
Perlu dipahami bahwa "para ulama" tersebut menetapkan baik haram atau halal bukan berdasarkan ketetapan Allah SWT oleh sebab itu mereka menjadi sesembahan-sesembahan selain Tuhan.
Ada hal-hal yang dapat kita pelajari dari teladan Nabi Saw di sini. Pertama, Nabi berkata secara jernih dalam menjelaskan akidah. Tidak perlu memaki, merendahkan, atau berkata yang tidak sesuai hujjah.
Meskipun yang diberi nasihat adalah sahabat dan pengikut beliau sendiri. Hal ini semakin penting mengingat pertemuan Nabi Saw dan Sahabat Adi bin Hatim ini pertemuan yang personal. Bahkan di masa di mana tidak perlu khawatir ada sorotan kamera yang menjadikannya viral.
Sahabat Nabi ini tidak "menggigil ketika melihat salib" memang, dia "hanya" memakai kalung salib di lehernya ketika sowan Nabi. Respons Nabi adalah dengan berkata dalam bahasa mudahnya "lepaskanlah salib itu karena itu dalam agama kita dinilai berhala".
Kedua, ternyata keislaman di masa Nabi Saw tidak kaku dan susah seperti dibayangkan banyak orang. Keislaman di masa Nabi sangat manusiawi.
Seorang Sahabat yang sebelumnya beragama Nasrani seperti Adi bin Hatim ini bahkan tampak tidak tahu bahwa simbol agama sebelumnya dilarang digunakan dalam Islam. Dia masih memakai salib emas ketika sowan ke kanjeng Nabi Saw.
Terakhir, sikap dan perilaku Nabi amat terukur dan terkontrol berkaitan dengan sesembahan agama lain bahkan di keadaan personal, pertemuan dua orang, dan kepada sahabatnya sendiri. Beliau menetapi kaidah menasihati "dengan hujjah, menetapi dalil-dalil, dan menolak syubhah" tanpa perlu bahasa memaki dan merendahkan.
Semoga para dai kita mencontoh teladan dari Sang Teladan Agung Saw. Amin (atk)