Ketika iklim politik menjurus ke arah dekadensi moral, maka karya sastra harus sanggup bicara politik demi tegaknya nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Ketika fakta dimanipulasi bahkan ditutup dengan tinta hitam, politik hati nurani yang menyuarakan nilai-nilai kebenaran, harus sanggup tampil di permukaan. Dengan demikian, kualitas karya sastra yang baik dapat menyatu bersama udara, bahkan menyibak kabut hingga menembus ketinggian langit.
Seorang penceramah agama mungkin saja berdakwah secara radikal bahkan ekstrim, tetapi nilai-nilai kebaikan dalam karya sastra harus disampaikan secara lentur dan bijak demi kualitas dan keabadian karya sastra itu sendiri. Karena bagaimanapun, nilai-nilai kebenaran, etika dan estetika bisa menyatu dalam harmoni yang bersifat universal. Jadi, ibaratnya sudah ada software-nya, state of mind atau paradigma berpikir yang secara global telah menjadi kesepakatan umum.
Karena itu, tak usah heran, jika di setiap ajang penganugerahan nobel sastra, atau penganugerahan academy awards untuk kategori film terbaik, banyak seniman dan sastraawan Indonesia yang kerjanya menggerutu dan menggerundel – tak terkecuali yang senior – tanpa menyadari bahwa di antara mereka banyak yang mengalami “gagal paham”, karena tak pernah melatih diri untuk menguasai “software-nya”.
Belakangan ada sinyalemen yang menggugat peran sastrawan, bukankah karya sastra adalah karangan manusia yang identik dengan pencitraan juga? Ya, seandainya pun pencitraan itu hendak diciptakan, apakah ia bersifat mendidik dan mendewasakan umat, ataukah justru mengerdilkan dan membodohi mereka? Di sinilah titik perbedaannya dengan kaum politisi. Jadi, pengertian “riya” akan melebur dengan sendirinya ketika diniatkan untuk tujuan pengajaran dan pendidikan anak bangsa.
Tentu saja bukan sekelas para netizen yang menyebarluaskan informasi tanpa data-data yang valid dan akurat. Dunia sastra seumumnya dianggap “subversif” oleh para penguasa korup, justru karena akurasi data dan fakta yang menggetarkan jiwa mereka. Bila kita berkaca pada sosok Dostoyevsky, sejak abad ke-19 lalu, karya-karyanya melanglang buana dengan fasih menuturkan reruntuhan jiwa dari watak dan karakteristik para politisi yang semakin kehilangan pegangan hidup. Ia terampil membedah perikehidupan para penguasa berjiwa hedonis yang haus akan syahwat kekuasaan dan popularitas. Suatu problem yang sangat relevan bila dihubungkan dengan iklim politik suatu negara yang mengarah pada gejala-gejala post power syndrome.
Karya-karya Dostoyevsky nyaris tak pernah mengajak pembacanya untuk tertawa. Beda dengan Solzhenitsyn yang masih mengajak kita tersenyum. Dalam novel “Kesengsaraan di Petersburg” disingkap habis-habisan sifat dan watak manusia yang merambah dari tingkat desa, perkotaan hingga mencari peruntungan politik dan bisnis di metropolitan. Masyarakat dengan jenis kebudayaan yang belum siap menghadapi arus perubahan zaman, suatu deformasi jiwa yang membuat pribadi-pribadi para tokohnya menderita kehausan penyakit yang patologis.
Dostoyevsky juga bicara secara lugas, syahwat kekuasaan kaum birokrat yang rakus dan serakah. Tidak tanggung-tanggung disingkap pula suatu psike-individual yang mengakibatkan terbelahnya ideologi, paham keagamaan, serta jurang yang menganga antara generasi anak dan orang tua. Retaknya lembaga keluarga, masyarakat dan negara, hingga melahirkan suatu generasi baru yang mengidap paranoid hingga skozifrenia. Suatu kronik keputusasaan dalam pengertian yang realistis, otentik, bukan semata-mata melodrama teatrikal semata.
Di sisi lain, para komprador penguasa yang menjelma menjadi hewan-hewan buas dan brutal, garuda dan buaya kapitalis, para penumpuk harta yang keranjingan bersekongkol untuk melanjutkan rezim status quo yang bersifat otoriter bahkan tiranik. Agak beda dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, semisal “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” yang lebih menuturkan kisah-kisahnya dalam bentuk manifes protes politik. Tetapi Dostoyevsky cenderung menampilkan sosok-sosok manusia yang merasa dirinya hidup dalam amukan zaman kejam dan penderitaan di tengah badai salju di trunda-trunda Siberia.
Sastrawan sekaliber Pramoedya maupun Dostoyevsky memang sanggup berkarya melampaui zamannya, menyibak kabut dan memberikan pencerahan dakwah yang elegan. Menyadarkan para sastrawan lain, serta menggugat para penguasa dan politisi, mengapa sejarah umat manusia masih saja tergenangi oleh permasalahan para tuan dan budak, eksploitasi manusia-manusia lapisan bawah, oleh beberapa gelintir manusia di lapisan atas?
Dalam bahasa yang berbeda, seakan Pramoedya sedang mengajak masyarakat dan kalangan penguasa agar berkaca-diri. Jangan cuma sibuk memproyeksikan fungsi Tuhan untuk kepentingan politis belaka, seolah-olah “tambal sulam” dari lubang kesulitan yang tak pernah dibereskan oleh para penganut agama (homo religious), sambil mengharap-harap mukjizat datang untuk menyelesaikan kekalutan dan kerepotan yang sebenarnya bersumber karena ulahnya sendiri.
Citra Tuhan yang ditafsir kemudian disusupkan ke dalam benak masyarakat, sudah waktunya harus dibersihkan dari proyeksi dan politisasi kaum elite borjuasi yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, ketimbang berkarya membuktikan kemaslahatan dirinya di tengah peradaban umat. Citra Tuhan yang masih diselimuti unsur-unsur politik kotor, ideologi dan kritik-kritik palsu, propaganda kepahlawanan kosong, dicampuri urusan duit dan vested interest yang sama sekali tak ada urusannya dengan esensi keimanan, cinta kasih, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kualitas karya-karya Pramoedya seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, memang secara terang-terangan membawa misi dakwah dan syiar di jalan kebaikan yang universal. Dengan sesadar-sadarnya, Pramoedya mengakui di depan publik bahwa ia memang sedang “berpolitik”. Memadukan harmoni antara fakta dan fiksi demi memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Dengan totalitasnya berkarya, dan dengan kekayaan linguistiknya, seakan-akan Tuhan sedang mewartakan wahyunya melalui pikiran dari tangan-tangan terampil para sastrawan.
Karya-karya semacam itu, mengajak kita agar turut-serta berjuang membangun peradaban umat, bahkan memperkuat benteng-benteng pertahanan terhadap gempuran hoaks dan kebohongan publik yang memanfaatkan ketidakadilan sebagai motor penggeraknya. Selain itu, sastra yang baik juga memperkuat benteng keimanan, dari gempuran badai-badai modernitas yang mengepung keseharian hidup kita, dari ketegangan-ketegangan menghadapi hari esok yang tak menentu.
Dengan karya sastra yang baik, kita diajak merawat asa dengan penuh optimistis, serta berani menolak pandangan penguasa manapun yang gemar menebar ketakutan dan kebencian, tetapi berupaya mendidik umat dengan cara-cara yang elegan, manusiawi, menuju suatu peradaban baru yang luhur, saling mencerahkan dan menyinarkan kedaulatan rahmat. *