Bahasa seringkali memberikan nama yang sama untuk dua hal yang berbeda. Kata“kasep” dalam bahasa Sunda berarti “tampan”, seperti dalam kalimat “budak ieu kasep pisan”. Dalam bahasa Jawa, kata “kasep” jauh artinya dari tampan. Ia berarti “terlanjur”, seperti dalam kalimat “apa sliramu wes kasep tuku tiket kanggo menyang Jakarta?”
Namun di sisi lain bahasa juga sering memberikan nama yang berbeda untuk dua hal yang sama. Kata “tilem” dalam bahasa Jawa sama maknanya dengan kata “kulem” dalam bahasa Sunda, yaitu “tidur”.
Dalam bahasa Indonesia hubungan dua bahasa seperti ini bukan hanya melibatkan bahasa daerah, namun juga bahasa asing. Banyak ditemukan kosakata bahasa asing yang menyumbang kosakata bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan penjajahan, seperti dalam kasus masuknya kosakata bahasa Belanda; globalisasi, seperti dalam kasus masuknya kosakata bahasa Inggris; dan penyebaran agama seperti dalam kasus masuknya kosakata bahasa Arab.
Dalam kategori bahasa asal yang terakhir, terdapat beberapa kosakata yang sama dengan bahasa Indonesia, namun maknanya menjadi berubah, karena perkembangan penggunaannya dalam bahasa Indonesia.
Salah satu kata yang sering kali ditukar makna dalam bahasa asalnya, yaitu bahasa Arab, dengan makna yang berbeda dalam bahasa Indonesia adalah kata “fitnah”.
Kata ini dalam bahasa Arab berasal dari akar yang terdiri dari fa’-ta’-nun. Dalam kamus Lisanul ‘Arab kata fatana diartikan dengan ibtila’ (menimpakan bala), imtihan (pengujian), dan ikhtibar (pengetesan), seperti dalam kalimat “fatantu al-fidhdhata, idza adkholtuhu ilan nar litanzhura ma jaudatuhu”. Artinya “aku menguji emas itu, yaitu ketika aku memasukkannya ke dalam api agar diketahui kualitasnya”. Jadi “fitnah” adalah “hal pengujian” atau “ujian” itu sendiri. Dalam contoh kalimat di atas, “fitnah” bagi emas adalah dengan dilemparkan ke dalam api.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “fitnah” memiliki arti yang jauh berbeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mengartikan “fitnah” dengan: “perkataan bohong yg disebarkan dng maksud menjelekkan orang (spt menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)”.
“Fitnah” dalam hal ini adalah sama dengan “buhtan” dalam bahasa Arab. Ambil sebagai contoh kalimat “Apa yang ia katakana adalah fitnah yang keji”.
Dalam Alquran ada penggalan kalimat berbunyi “wal fitnatu asyaddu minal qatli” (Surah al-Baqarah, ayat 191). Di masa lampau, misalnya dalam kitab tafsir pertama di Nusantara, yaitu Tarjumanul Mustafid, makna “fitnah” dalam bahasa Melayu masih dipahami sebagai “fitnah” dalam bahasa Arab, yaitu “bala” atau “ujian”.
Sehingga pemaknaan penggalan ini cukup dipahami “fitnah–dalam arti menimpakan bala–itu lebih buruk daripada pembunuhan”. Namun setelah makna “fitnah” berubah dari makna asalnya, maka adalah salah kaprah bila frasa ini dianggap berbicara tentang berita bohong atau tuduhan palsu.
Misalnya mereka yang menganggap dirinya dirugikan dengan suatu berita bohong mengenai dirinya akan mengutip penggalan ayat ini. Ada sebuah kejadian dalam sebuah polemik kebudayaan, seorang sastrawan yang merasa dicemarkan nama-baiknya pernah menuliskan “menurut Alquran … bahwa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan (Q.,2:191, 217)”.
Padahal ayat tersebut tidak berbicara tentang “fitnah” seperti dalam bahasa Indonesia. “Fitnah” dalam kalimat itu sesuai dengan maknanya dalam bahasa Arab, yaitu “bala”.
Lebih jelas wujud bala yang ditimpakan diulas oleh kitab-kitab tafsir. Tafsir Jalalain, misalnya, menafsirkan bahwa “fitnah” yang dimaksudkan dalam penggalan ayat ini adalah kemusyrikan. Jadi frasa itu berarti “malapetaka kemusyrikan itu lebih besar dampak dan dosanya daripada yang diakibatkan oleh pembunuhan”.
Masih banyak kosakata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab yang mengalami perubahan makna semacam ini, namun masyarakat secara sembarang dan keliru mempertukarkannya.
Inilah pentingnya mengaji tafsir. Tidak hanya mengetahui makna Al Qur’an dengan membaca terjemahan.