Tubuh Al-Hallaj yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esok harinya, baru sang algojo memenggal kepalanya.
Ketika kepalanya dipenggal, wajah Al-Hallaj masih tampak tersenyum dan beberapa saat kemudian dia tak bernapas lagi. Semua orang berteriak, namun Al-Hallaj menunjukkan betapa bahagia dia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, “Akulah kebenaran”, sewaktu meninggal dunia, setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah. Tak cukup sampai di situ, tubuh yang sudah terpotong-potong itu pun akhirnya dibakar. Namun abu jenazahnya secara gaib berseru, “Akulah Kebenaran”.
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bergaya hidup Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara pada 866 M. Berbeda dengan pendapat banyak orang, dia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang pemeluk taat Majusi, namun ayahnya seorang Islam.
Di usianya yang masih sangat muda, Al-Halaj mulai mempelajari tata bahasa Arab, belajar Al-Qur’an dan tafsir serta teologi. Ketika usianya menginjak 16 tahun, dia merampungkan studinya, tapi ada kegelisan batin untuk segera menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya.
Pamannya pernah bercerita tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi frontal dan independen yang menurut pikiran si paman, sangat gigih dalam menyebarkan ruh hakiki Islam. Al-Hallaj pun lalu pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi besar ini.
Dalam bukunya, Aththar menceritakan bahwa Al-Hallaj datang kepada Junaid untuk yang kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan tentang kenapa kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan dalam memperbaiki masyarakat (Al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan yang hanya sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat Al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika Al-Hallaj kembali ke Bashrah, dia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Al-Hallaj pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya.
Di Tustar dia terus mengajar dan meraih keberhasilan yang gilang gemilang. Akan tetapi, Amr Al-Makki seorang yang pernah berkonflik dengannya dan tidak bisa melupakan konflik diantara berdua, Amr mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama Al-Hallaj. Situasi pun makin memburuk sehingga Al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya dia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Selama beberapa tahun Al-Hallaj meninggalkan jubah kesufian, tapi batinnya tetap terus mencari Tuhan. Pada 899 M, dia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian ke selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam proses perjalanannya, dia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi religi di antaranya; Zoroastrianisme dan Manicheanisme.
Dia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi religiusitas yang mereka gunakan dan belakangan juga digunakan kemudian dalam karya-karya terakhirnya. Ketika kembali tiba di Tustar, dia mulai mengajar lagi dan memberikan kuliah. Dalam setiap ceramahnya selalu dibongkar berbagai rahasia alam semesta, serta tentang apa saja yang terbersit dalam benak pengikutnya.
Dia mampu menarik pengikut dalam jumlah besar. Namun kalimatnya yang sangat tidak lazim di dengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan dia pun dituduh sebagai dukun.
Sesudah itu, dia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal. Di Baghdad dia bersahabat dengan dua orang sufi termuka, Al-Nuri dan As-Syibli.
Tahun 913 M merupakan titik balik bagi proses spiritualnya. Setahun sebelumnya dia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga dan terakhir kalinya. Di akhir 913 M inilah dia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah dia mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan batinnya berkeinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”.
Dia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap Muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap umat manusia. Dia menjadi seorang martir, dia Jesus Kristus Muslim yang selalu rindu pada tiang salib sebagai penebus dosa umat manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, di pasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: “Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh.” Kemudian, Al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, “Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka.”
Sungguh menakjubkan, justru kata-kata ini malah mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan di masyarakat mereka. Lingkungan sosial politik kala itu menimbulkan banyak kesenjangan antara masyarakat bawah dengan kelas penguasa. Banyak orang menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan reformasi dalam masyarakat sendiri.
Celakanya, Al-Hallaj pun punya banyak sahabat sekaligus musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para oposan kebanyakan adalah murid Al-Hallaj, yang memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat dengan harapan meraih kekuasaan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga dia akan membantu mengadakan pembaruan sosial. Pada akhirnya, keberpihakan Al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Lalu dia pun diawasi, dan kemudian dia ditangkap.
Para penasihat khalifah ada di antaranya adalah sahabat Al-Hallaj, untuk sementara berhasil mencegah upaya membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu pula dia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Dia dan para sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa telah menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah.
Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan Al-Hallaj berada di atas angin. Tak lama berselang, Al-Hallaj disiksa di hadapan banyak orang, dibunuh secara brutal. Akan tetapi Al-Hallaj tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan pencapaian rohaninya. Dengan caranya sendiri, dia telah menunjukkan pada para pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh para pecinta agar sampai pada sang kekasih.
Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ke-Tuhanannya sendiri.
Meskipun Al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Seperti yang dikatakan Fariduddin Aththar, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni; mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan Al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”.
Di dalam Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”