Pengamalan syariat agama islam tidak dapat terpisahkan dari akar budaya yang melekat dalam suatu kelompok masyarakat. Umat islam wajib mampu menjalankan syariat islam melalui budayanya sesuai dengan peran sosialnya, serta menjadikan Nabi Muhammad SAW menjadi panutan dan suri tauladannya.
Pada pembahasan ini, saya tidak membahas syariat secara umum namun yang ingin saya kedepankan dalam pembahasan ini adalah pemahaman syariat dalam kitab-kitab di Jawa yang memuat syariat islam yang telah diajarkan oleh para Wali di Nusantara (salah satunya Sunan Kalijaga).
Beberapa bentuk syariat yang menjadi perhatian Sunan Kalijaga yang menjadi kunci dalam menjalankan agama islam, misalnya salat. Ibadah salat dijalankan secara praktik oleh umat islam. Sehingga hal ini sering timbul klaim bahwa orang yang tidak memperlihatkan salatnya dianggap telah meninggalkan islam.
Para wali di Nusantara menyebarkan ajaran islam telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat Jawa. Masing-masing menyebarkan ajaran islam dengan caranya masing-masing. Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang dalam menyebarkan ajaran islam menitikberatkan pada aspek mistis, karena ajaran mistis merupakan perilaku keagamaan masyarakat Jawa. Sunan kalijaga menyebarkan ajaran islam menggunakan pendekatan budaya. Penyebaran ajaran islam aspek mistik lebih diutamakan daripada aspek formal keagamaan. Oleh karena itu, dari sisi masyarakat jawa itu tampak sebagai pelaku sinkretik, suatu proses perpaduan dari paham aliran agama dan kepercayaan dalam kehidupan beragama.
Berdasarkan asal-usulnya, agama-agama di Nusantara merupakan perwujudan sinkretisme. Agama yang berada di Nusantara khususnya Jawa merupakan agama yang berasal dari luar, bukan agama asli yang muncul di Nusantara. Berbagai agama yang masuk itu disaring terlebih dahulu dan dipadukan oleh budaya-budaya lokal. Jadi agama islam di Nusantara ya tidak seperti islam di Arab begitu pula agama lainnya. Semua agama itu diterima dan dipadukan dengan budaya lokal.
Dalam ajaran islam di Jawa, ibadah salat disebut ‘sembayang’. Kata ini berkembang di Jawa setelah islam masuk di Jawa dan diterima sebagai agama raja-raja di Jawa. Kata “sembah” dan “hyang” ada dalam kosa kata basa Jawa Kuna. Sembah artinya menghormati, tunduk. Sedangkan “hyang” artinya dewa. Jadi kata sembayang merupakan perpaduan kata sembah dan hyang, yang artinya penyembahan kepada Tuhan.
Makna salat yang diajarkan oleh Sunan Bonang terdapat pada salah satu bait tembang dalam Suluk Wujil. Mari kita simak bait tembang tersebut.
Utamaning sarira puniki
Angawruha jatining salat
Sembah lawan pujiné
Jatining salat iku
Dudu ngisa tuwin magerib
Sembahyang aranéka
Wanangé puniku
Lamun aranana salat
Pan minangka kekembanging salat daim
Ingaran tata krama//
“Unggulnya diri itu mengetahui hakikat salat, sembah dan pujian. Salat yang sebenarnya bukan mengerjakan salat isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanyalah hiasan dari salat daim. Hanyalah tata krama.”
Dari bait tembang di atas, dapat disimpulkan bahwa keunggulan seseorang terletak pada pemahaman dan penghayatan dari sejatinya salat, penyembahan, dan pujian. Sunan Bonang, melaksanakan salat lima waktu hanyalah tata krama dalam pergaulan umat islam. Dan, hakikatnya, mengerjakan salat lima waktu hanyalah hiasan bagi orang yang mengerjakan “salat daim”. Menurut para wali terdalu, ibadah salat tidak semata-mata melaksanakan salat secara fisik saja.
Menurut Sunan Bonang, orang yang unggul dalam salat adalah orang yang mampu memahami dan menghayati sejatinya salat. Bukanlah orang yang tidak mengerjakan salat lima kali sehari itu. Orang yang unggul ialah orang yang memahami dan menghayati hakikat salat, sembah, dan pujian. Hal ini jelas tidak sama dengan mengerjakan salat hanya sebatas salat saja. kita terkadang berpikir, lalu apa yang disembah sesungguhnya dalam mengerjakan salat? Mari kita perhatikan bait lanjutan dari Suluk Wujil.
Endi ingaran sembah sejati
Aja nembah yén tan katingalan
Temahé kasor kulané
Yén sira nora weruh
Kang sinembah ing dunya iki
Kadi anulup kaga
Pungluné dén sawur
Manuké mangsa kenaa
Awekasa amangéran adam sarpin
Sembahé siya-siya//
“Manakah yang disebut salat yang sesungguhnya itu? janganlah menyembah bila tidak tahu siapa yang disembah. Akibatnya akan direndahkan martabat hidupmu. Apabila engkau tidak mengetahui siapa yang disembah di dunia ini, engkau seperti menyumpit burung, pelurunya disebar tetapi tak ada satupun yang mengenai burungnya. Akhirnya, hanya menyembah adam sarpin, penyembahan yang tiada guna.”
Kalimat “janganlah menyembah bila tidak tau siapa yang disembah” terlihat kalimat ini bertentang dengan ajaran islam yang mengharuskan umatnya untuk mengerjakan salat lima waktu sehari. Kalimat tersebut tidaklah bertentang dengan ajaran Al-Qur’an. Pertama, dalam Al-Qur’an dikatakan “menegakkan salat”. Masyarakat banyak yang berpandangan bahwa menegakkan salat sama dengan mengerjakan salat, padahal kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Kata “mengerjakan salat” bermakna menjalankan salat hanya secara lahiriah. Namun yang dikehendaki dalam Al-Quran tidak demikian. Dalam Al-Qur’an untuk menyatakan perbuatan salat adalah aqama. Arti aqama adalah menegakkan sesuatu dalam arti yang sebenarnya. Dalam salat terkandung tindakan “washala”, yaitu menyatukan diri dengan Tuhan.
Kedua, salat harus dikerjakan dalam keadaanya sadar sepenuhnya. Hal ini dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 23 disebutkan dalam salat setiap kata yang diucapkan harus dimengerti. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang yang mabuk tidak boleh mengerjakan salat. Jika dipahami secara arti yang mendasar, maka hanya orang yang bisa bahasa Arab saja yang wajib mengerjakan salat. Jika, salat itu wajib dikerjakan oleh orang yang beriman , maka anggapan bahwa kalimat “mabuk harus dipahami sebagai keadaan sadar sepenuhnya. Dalam keadaan inilah orang mengerti kepada siapa dia harus menyembah.
Dalam tembang tersebut juga disebutkan orang yang menyembah “adam sarpin”. Adam sarpin artinya sesuatu yang tidak ada, tidak ada objek, tiada tujuan. Hanya orang bodoh saja yang mau menjalankannya pekerjaan yang sia-sia. Hal inilah yang sebut sebagai orang yang direndahkan martabatnya.
Ibadah salat yang berguna adalah salat yang dapat mencegah manusia dari perbuatan “fakhsyâ” dan “mungkar”. Hal ini yang harus menjadi perhatian para ulama islam adalah hakikat atau tujuan salat.