Di novelnya berjudul Hayy ibn Yaqdzan, Ibnu Thufail (506-581 H.) salah seeorang ilmuwan Islam dari Andalus (Spanyol) menulis: “Leluhur yang bijak (semoga tuhan memberkati!) menceritakan, bahwa di pulau Al-Hind; sebuah pulau yang terletak di bawah garis khatulistiwa, dimana terdapat seseorang terlahir tanpa ibu dan tanpa ayah dan pula terdapat pohon berbuah seorang perempuan; sebuah pulau yang oleh sejarawanAl-Mas’udi disebut sebagai pulau Waqwaq.”
Ada dua hal setidaknya yang menarik dalam pembuka novel tersebut. Pertama, pulau Al-Hind, sebuah pulau tempat lahirnya seseorang tanpa ibu dan ayah. Kedua, Pulau Waqwaq.
Mengenai yang pertama, pertanyaan yang kiranya perlu untuk diajukan. Di mana letak pulau Al-Hind? Siapa yang terlahir tanpa ayah dan ibu?
Al-Hind merupakan sebuah daerah yang seringkali disebut dalam kitab-kitab klasik Arab. Orang-orang secara sambil lalu biasa mengartikannya sebagai India. Namun, sebenarnya dalam kajian geografis kuno, Al-Hind adalah sebutan yang tidak saja merujuk pada India, melainkan juga penyebutan untuk daerah disemenanjung kepulauan Nusantara. Para penulis Arab mengindentifikasinya sebagai daerah timur jauh yang menaungi beberapa pulau.
Al-Mas’udi, dalam karyanya Muruj Adz-Dzahab menyebut mengenai Al-Hind ini sebagai negeri yang memiliki daratan, gunung dan lautan sangat luas. Kekuasaannya terbentang hingga negeri Zabaj; negeri yang dikuasai oleh Maharaja.
Tentang negeri Zabaj ini,musafir Arab, Sulaiman As-Sirafi dalam cacatan rihlahnya menjelaskan; di negeri Zabaj terdapat daerah yang disebut dengan Rami/Ramni/Lamuri; daerah yang memiliki banyak kerajaan, tambang emas dan pula terdapat kapur berkualitas yang disebut dengan Fanshur.
Ibnu al-Faqih ahli geografi Arab menyebutkan dalam bukunya Buldan Ibnu Al-Faqih bahwa Fanshur merupakan sebuah daerah yang termasuk dalam teritori kerajaan Zabaj.
Fanshur adalah sebuah daerah di Sumatra. Itu sebabnya mengapa Hamzah Al-Fansuri salah seorang penyair sufi Nusantara memiliki penisbatan Al-Fansuri yang berarti Hamzah dari Fansur. Selain itu, Istilah “Maharaja” sendiri, menurut S.Q Fatimi adalah gelar untuk raja di Sumatera, tepatnya kerajaan Sriwijaya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Al-Hind yang disebut di dalam pembuka novel Hayy ibn Yaqdzantersebut bukan berartiIndia. Namun,besar kemungkinan adalah Nusantara. Mengapa?
Ada dua hal yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Hind dalam pembuka novel tersebut adalah Nusantara.
Pertama, dalam cerita tersebut, Pulau Al-Hind dinarasikan sebagai pulau yang terletak di bawah garis khatulistiwa. Sedangkan negara dengan titik (lokasi) yang paling banyak dilewati oleh garis khatulistiwa adalah Indonesia. Equator (garis lintang 0 derajat) itu tepat berada di beberapa pulau dan kota di Indonesia; Sumatera, Kalimantan, dan Halmahera sebagai pulau yang tepat berada di zero latitude (khatulistiwa). Dan juga Kepulauan Raja Ampat di Papua Barat.
Kedua, Waqwaq sebagaimana yang disebut di novel tersebut menurut Thomas Suarez dalam bukunya Early Mapping of Southeast Asia: The Epic Story of Seafarers, Adventurers, berdasarkan peta yang dibuat oleh Al-Idrisi untuk Raja Roger II dari Sisilia, menempatkan koordinat Waqwaq pada lokasi yang bertepatan dengan pulau Sumatra pada peta modern.Thomas mencatat:
“The corroborative evidence for Waq-waq led al-Idrisi to include it as a group of island in his atlas of the world (fig. 28), though he dismissed the fantastic lore associated with it. Waq-waq remauned a prominently mapped feature into the middle of the seventeenth century, when the island is found in the position of Sumatra on the map of the world bya Indo-Islamic cartographer Sadiq Isfahani”
Meski pada dasarnya, para ahli masih memperdebatkan mengenai lokasi pulau Waqwaq dan tidak ada kejelasan dimana letak pulau tersebut. Namun, agaknya Waqwaq yang dimaksud dalam novel Hayy ibn Yaqdzan lebih condong pada kepulauan Nusantara.
Selain itu, yang menarik lagi, dalam novel Hayy ibn Yaqdzan disebutkan bahwa di pulau Al-Hind terdapat seseorang terlahir tanpa ibu dan tanpa ayah. Lalu yang menjadi pertanyaan, siapakah yang terlahir tanpa ayah dan ibu di bumi Nusantara?
Banyak di antara para ulama yang menyebut bahwa Nabi Adam diturunkan di Al-Hind. Jarir Ath-Thabari dalam kitab tarikhnya menjelaskan bahwa Nabi Adam diturunkan di Al-Hind, begitu pula Al-Qurthubi. Dalam kitab Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an, Al-Qurthubi menyatakan “Nabi Adam diturunkan di Sarandib, sebuah daerah yang terletak di Al-Hind di gunung Budz..”
Berdasarkan catatan yang ditulis oleh Idris Mas’udi dalam salah satu tulisannya yang dimuat di alif.id menuturkan:
Para sejarawan kerap berbeda pendapat mengenai maksud nama Sarandib ini. Keram Kevonian, dalam sebuah tulisannya berjudul Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia, memaparkan data-data seputar nama beberapa tempat yang digunakan dalam buku catatan perjalanan berjudul Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia. Di buku tersebut, salah satu nama tempat yang diuraikan Keram adalah Sarandib.
Menurutnya, dalam sumber berbahasa Armenia yang ditelitinya, nama Sarandib ini dalam bahasa Armenia ditulis Oske Getin atau Oskegetin, yang dalam bahasa Sansekerta bermakna Suvanabhumi atau Bumi Emas yang dapat dibandingkan dengan istilah Suvarnadvipa atau Pulau Emas, sebuah nama tempat yang pernah teridentifikasikan sebagai Ceylon akibat kekeliruan di antara trasnkripsi Bahasa Arab dalam istilah ini (سورنديب) dan istilah Sarandib (سرنديب) merupakan bentuk Arab-Persia nama-nama Sanskerta dan Sinhala pulaunya (Simhaladvipa dan Singhaladipa). Kevan berpendapat bahwa kawasan tersebut adalah Pulau Sumatera yang menghasilkan emas dan yang dinamakan demikian dalam beberapa sumber seperti yang diketengahkan oleh Ferrand: teks Ramayana menyebutnya sebagai “Pulau Emas dan Perak”.
Dengan demikian tak berlebihan agaknya jika disimpulkan, bahwa manusia pertama di bumi, berada di Nusantara. Wallahu A’lam.