Dalam dunia dakwah Indonesia terkini, kita mengenal seorang da’i asal Sulawesi Selatan bernama Das’ad Latif. Dia menyampaikan pesan-pesan agama dengan bahasa yang lugas, mudah dipahami, penuh semangat dan diselingi bumbu-bumbu jenaka. Pembicaraannya selalu sistematis. Maklum, ustadz ini dosen komunikasi di Universitas Hasanuddin Makassar dan menyandang dua gelar doktor.
Penampilannya rapi dan klimis. Rambutnya dipotong pendek dan beliau tidak memelihara kumis ataupun jenggot. Peci putih dan baju putih panjang (gamis) dengan sentuhan bordir jadi kostum kesukaannya saat berceramah. Berdakwah di semua kalangan, Ustadz Das’ad menerima undangan berceramah dari rakyat biasa hingga para pejabat, baik di daerah maupun di istana negara. Ada yang menggambarkannya sebagai da’i yang ceplas-ceplos, bicara tanpa tedeng aling-aling. Tidak banyak penceramah yang bisa bicara serius dengan wajah seperti marah dan mengumpat, namun pendengarnya merasa terhibur dan tertawa. Ceramahnya jauh dari kaku dan formal seperti pidato kenegaraan. Seringkali bahkan dia mengolok-olok suatu perbuatan dengan diiringi gerak tubuh. Tidak jarang juga dia menertawakan suatu karakter yang menurutnya konyol dan tidak perlu dianut. Jamaah pun terpingkal-pingkal dibuatnya.
Ustadz Das’ad memiliki channel YouTube sendiri sejak Oktober 2017 (www.youtube.com/c/DasadLatif). Saat saya menulis artikel ini, sekitar 550-an video tersedia di channel tersebut. Secara akumulatif, semua video itu ditonton 157 juta kali lebih, suatu statistik yang mengesankan dan menyiratkan popularitasnya.
Selain di media sosial, saluran-saluran televisi juga mengontrak Ustadz Das’ad untuk menyampaikan nasehat keagamaan. Dia pun menyambut undangan ceramah ke luar negeri, di wilayah-wilayah yang memiliki diaspora Indonesia.
Secara pribadi, saya tertarik dengan ulasannya tentang politik uang. Ini berkaitan dengan proyek akademik saya di program doktoral. Di antara penceramah populer yang saya pelajari fatwa-fatwanya tentang politik uang, hanya Ustadz Das’ad yang pernah maju sebagai calon pejabat. Tepatnya, dia maju sebagai calon wakil walikota di Makassar berpasangan dengan calon walikota Tamsil Linrung pada tahun 2013. Hal ini tampaknya memberikan warna tersendiri dalam isi petuahnya tentang politik uang. Namun yang paling penting dari temuan saya, Ustadz Das’ad memberi peringatan keras dan sangat menakutkan secara spiritual terhadap pemilih yang menikmati politik uang, yakni mati kafir.
Peringatan sekeras itu khas, tidak ada di dalam fatwa-fatwa dari ulama atau da’i lainnya yang saya teliti. Menurut saya, aktifis anti-politik uang akan menyukai fatwa Ustadz Das’ad. Namun demikian, begitu kerasnya ancamannya memantik rasa penarasan teologis saya sebagai santri dan peneliti. Kesannya, seperti tidak ada keselamatan spiritual di akhirat kelak bagi penerima politik uang.
Isi fatwa
Analisis saya terhadap fatwa Ustadz Das’ad tentang politik uang didasarkan pada tiga buah video. Video pertama bersifat himbauan kepada pihak calon politik dan pemilih. Video kedua berisi ancaman spiritual bagi penikmat politik uang. Sementara video ketiga memuat ancaman yang sama sekaligus alur berpikir beliau sehingga sampai pada kesimpulan itu. Ketiga sumber audio visual ini dapat ditemukan di channel YouTube Ustadz Das’ad Latif. Kelihatannya Ustadz Das’ad juga menyebut-nyebut soal politik uang di kesempatan lain. Namun dari yang saya amati, substansi petuahnya sama dengan tiga video yang saya periksa secara seksama di sini.
Pada video pertama, Ustadz Das’ad menghimbau kepada semua pihak, terutama para pemilih, untuk menjauhkan diri dari politik uang. Video ini diberi judul “Rakyat Jangan Memeras Caleg, Caleg Jangan Membodohi Rakyat” yang ditayangkan pada 7 Februari 2019, atau 2 bulan 10 hari sebelum pelaksanaan pemilu 2019. Dalam video pendek ini, Ustadz Das’ad baru menyebut ancaman neraka bagi para pelaku suap-menyuap yang terbilang “standar” dalam diskursus keagamaan tentang politik uang. Namun video ini pas sebagai permulaan untuk menunjukkan kelugasan dan kemampuan artikulasinya. Pada satu titik, Ustadz Das’ad bahkan mengeluarkan penilaian keras terhadap pemilih. Berikut nukilannya:
“Bapak, jangan memeras caleg. Caleg jangan bodoh-bodohi rakyat. Sudahlah. Kenapa negara kita hancur begini? Jangan salahkan anggota DPR saja. Jangan salahkan penegak hukum saja. Jangan salahkan eksekutif saja. Kita ikut salah. Bapak diajak sosialisasi, ayo kami akan menyampaikan visi-misi kenapa kami maju anggota DPR. Tetapi apa yang bapak langsung bilang? Ada gitu ongkosnya? Ada uang rokoknya? Bapak juga rusak otaknya.”
Dia melanjutkan:
“Kalau mau negara baik, ayo hilangkan money politics. Anggota DPR jangan sogok rakyat. Rakyat jangan mau disogok. Angkat negara kita, Pak. Ndak usah demo kiri-kanan. Ndak usah protes kiri—kanan. Mulailah dari diri sendiri.
Kita marah kalau lihat pejabat korup. Bagaimana mereka tidak korup?! Mau jadi pejabat saja beli partai berapa milyar?! Dan untuk apa itu? Bapak sendiri yang minta disogok. Sogok 300 ribu untuk nyoblos. Bapak masuk neraka. Yang disogok dan yang menyogok masuk neraka.”
Demikianlah bagaimana Ustadz Das’ad menyampaikan kritik sekaligus himbauannya kepada jamaah. Wajahnya terlihat sangat serius dan suaranya lantang saat menyampaikan poin-poin ini. Menariknya, terdengar suara tawa dari audiens saat dirinya menyebut bahwa “otak mereka rusak”. Tampaknya mereka yang tertawa tidak tersinggung dengan ucapan beliau. Saat saya menulis artikel ini, video sudah ditonton 43 ribu kali lebih.
Ulasan Ustadz Das’ad yang khas baru telihat di video kedua, saat beliau berceramah di Balikpapan, Kalimantan Timur, di hadapan jamaah ibu-ibu. Di sini beliau menyinggung resiko spiritual bagi penikmat politik uang. Kalau kita perhatikan bagian ini, nyaris tidak ada pilihan bagi pendengar selain menolak pemberian dari calon politik. Kelihatannya pesan inilah yang ditanamkan sang ustadz di benak pemilih. Petuah ini merupakan bagian dari ceramah panjang yang diberi judul “Nasehat untuk Para Wanita”. Channel YouTube Ustadz Das’ad menayangkan video ini pada 16 Desember 2018 dan telah ditonton sebanyak 5,2 juta kali sejak itu. Luar biasa!
Ustadz Das’ad mengatakan:
“Ibu, saya serius. Ibu ngambil uang sogok, misal 300 ribu. Lalu ibu makan, 40 hari ke depan setelah makan uang haram itu, ibu jangan mati. Kalau ibu mati, maka ibu mati dalam keadaan kafir. Kenapa? Ada barang sogok dalam perutnya. Sia-sia bermajlis ta’lim 30 tahun, sia-sia mengaji selama 10 tahun kalau ibu mau disogok. Mari ciptakan di Balikpapan pileg bersih dari sogok.”
Jadi Ustadz Das’ad memberikan ancaman “mati kafir” bagi penerima politik uang. Catatannya, mereka meninggal dunia sebelum 40 hari sejak menggunakan uang ini untuk makan dan minum. Tentu saja jika seseorang meninggal dalam kekafiran, semua amal baiknya semasa hidup dalam Iman dan Islam terhapus begitu saja. Setidaknya hal ini benar untuk kasus syirik besar atau murtad. Di ujung Surah Al-An’am ayat 88, Allah berfirman:
… وَلَوْ اَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
“…Seandainya mereka mempersekutukan Allah, pasti sia-sialah amal yang telah mereka kerjakan.”
Melengkapi ayat ini, potongan surah Al-Baqarah ayat 217 menyatakan bahwa
.. وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”
Berdasarkan kedua ayat ini, kita bisa memahami mengapa Ustadz Das’ad mengiringi komentarnya soal mati kafir dengan pernyataan “sia-sia” pergi ke majlis ta’lim selama puluhan tahun.
Dari mana datangnya vonis mati kafir bagi penikmat politik uang ini? Kita tahu bahwa praktik politik uang yang kita bahas ini tidak ada di zaman Nabi dan generasi-generasi awal muslim. Jangankan praktiknya, pemilu yang menjadi ajang terjadinya politik uang saja belum ada zaman itu. Sehingga akan susah, bahkan mungkin mustahil, untuk menemukan hadith atau ayat Al-Qur’an yang secara terang-benderang menyebutkan vonis “mati kafir” bagi pelaku politik uang. Karena itu, saya memperkirakan adanya analisa yang dilakukan Ustadz Das’ad. Barangkali dia menemukan suatu ayat atau hadis yang bersifat umum, kemudian memberlakukan keumuman tersebut kepada kasus politik uang. Perkiraan saya terbukti di dalam video ketiga.
Saat itu, Ustadz Das’ad memberi nasehat keagamaan di acara takziyah (mengunjungi keluarga yang baru ditinggal mati salah satu anggotanya). Dalam hal ini, yang meninggal adalah seorang jendral purnawirawan TNI bernama Goerge Toisutta. Ustadz Das’ad memulai ceramahnya dengan mengutip Surah Ali Imran ayat 102.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.”
Kemudian, ustadz Das’ad melanjutkan:
“Ayat ini tiap Jum’at dibacakan khatib. Tidak sah khutbah Jum’at jika khatib tidak membaca ayat ini. Karena pentingnya sehingga diulang-ulang tiap pekan… ‘dan dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam’. Berarti (melalui) ayat ini, Allah ingin menginformasikan kepada kita, ‘Wahai Das’ad, hati-hati kau. Agamamu Islam. KTP-mu Islam. Nikah kau (sesuai) Syariat Islam. Tapi belum tentu kau mati dalam keadaan Islam.
Pembukaan ini memberi kita ide bahwa nikmat ke-Islaman seseorang belum tentu melekat hingga akhir hayat. Nikmat tersebut bisa tercabut jika seseorang tidak hati-hati dalam menjalani hidup. Sebagai pendengar, saya mengantisipasi bahwa Ustadz Das’ad akan menerangkan penyebab mati kafir dalam lanjutan pembicaraannya. Seperti yang diharapkan, beliau mengatakan insya Allah, kita tidak akan mati dalam keadaan berzina. Insya Allah, kita tidak akan mati dalam keadaan merampok. Insya Allah, kita tidak akan mati dalam keadaan nyabu. Tapi yang bisa membuat kita mati dalam keadaan kafir, kata Nabi Muhammad SAW,
حُبِّ اَكْلِ الْحَرَام (Suka memakan makanan haram). Siapa gerangan yang masuk dalam kategori ini, mereka pada 17 April yang lalu (yakni pada hari pemilu) menerima serangan fajar. Terima uang-uang politik. Itu matinya (nanti) mati kafir. Menyogok-disogok. Na’udzu billah min dzalik.”
Kutipan ini berasal dari 2 menit pertama ceramah Ustadz Das’ad. Video lengkap dari ceramah ini sendiri ditayangkan Channel YouTube-nya pada 6 Agutus 2019 dan telah ditonton hampir 1,2 juta kali hingga saya menulis artikel ini.
Ceramah ketiga ini menjelaskan alur berpikir Ustadz Das’ad hingga memberi fatwa “mati kafir” bagi penerima uang sogokan dari calon politik. Potongan sabda Nabi Muhammad yang Ustadz Das’ad kutip menyinggung “kebiasaan makan harta atau barang haram”.
Katanya, Nabi membicarakan kebiasaan ini dalam kaitannya dengan penyebab mati kafir. Selanjutnya, karena politik uang itu dianggap sama dengan risywah (sogokan), maka uang tersebut termasuk harta haram. Jika seorang pemilih terus-menerus membeli makan dan minum dari uang politik semacam ini yang didapatnya dari pemilu, pilkada maupun pilkades, maka dia termasuk kategori orang yang “suka makan harta haram”. Karena itulah kita dapat mengikuti logika Ustadz Das’ad bahwa penikmat politik uang bakal mati kafir.
Sayangnya, Ustadz Das’ad tidak membacakan hadisnya secara lengkap dalam bahasa Arab maupun menyebutkan perawinya. Seandainya ada, mungkin akan membantu peneliti seperti saya melacak keberadaan sabda Nabi ini di dalam kitab-kitab hadits. Saya melakukan pelacakan lanjutan menggunakan informasi yang terbatas ini. Namun, pencarian berdasarkan kata kunci di mesin pencari tidak membuahkan hasil yang berarti dan bisa ditindak-lanjuti. Begitu juga, konsultasi saya dengan kolega yang juga seorang da’i tidak memberikan petunjuk yang bermanfaat. Singkatnya, saya belum berhasil menemukan hadis nabi yang dikutip oleh Ustadz Das’ad Latif di video ketiga ini. Saya juga belum menemukan ayat ataupun hadits yang mendukung pernyataan bahwa resiko mati kafir begitu tinggi di 40 hari pertama bagi seseorang yang mengonsumsi uang sogok, sebagaimana disampaikan oleh Ustadz Das’ad di Balikpapan. Saya menganggap ini sebagai kelemahan saya sebagai peneliti, dan termasuk hal yang mendorong saya menulis artikel ini. Barangkali ada di antara pembaca yang mengetahui sesuatu dan memberi merespons.
Mati kafir atau suul khatimah?
Hal relevan yang saya temukan sejauh ini adalah kutipan dari pengarang kitab Nashaihud Diniyyah, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Dia menyebutkan lima hal yang sering menjadi penyebab seseorang suul khatimah (akhir kehidupan dunianya buruk dalam pandangan agama). Kutipan ini diulas oleh seorang dosen Universitas Nahdlatul Ulama Surakarta bernama Jaenuri dan diterbitkan oleh situs NU Online pada 27 Juli 2019. Yang terkait dengan diskusi kita di sini adalah hal ketiga yang disebutkan oleh Habib Abdullah Al-Haddad. Dia menyatakan bahwa mengurangi takaran dan timbangan merupakan suatu penyebab mati suul khatimah. Jaenuri mengalisis, setelah mengutip surah al-Muthaffifin ayat 1-3, bahwa
Jika kecurangan terus-menerus dilakukan, maka selama hidupnya pula ia (yang mengurangi takaran dan timbangan) makan dari hasil yang tidak halal. Dengan demikian ia akan mati dalam keadaan membawa harta benda yang haram dan beban dosa terhadap saudaranya.
Artinya, menurut Jaenuri, penyebab penjual yang curang itu berpotensi besar mengalami suul khatimah adalah karena makan dan menyimpan harta yang diperoleh dengan cara yang dilarang agama.
Ada beberapa tulisan lain yang membahas penyebab suul khatimah, misalnya oleh Muhammad Abduh Tuasikal dan Ahmad Agus Fitriawan dengan mengutip berbagai keterangan para ulama besar. Kedua penulis ini mencantumkan “terus-menerus melakukan dosa besar” sebagai salah satu penyebab suul khatimah. Walaupun kedua penulis ini tidak menyebutkan, bisa saja kita berpikir bahwa sogok-menyogok barangkali masuk di kategori ini.
Yang penting untuk analisis di sini, kata kunci dari para penulis di atas adalah suul khatimah, bukan mati kafir sebagaimana dalam fatwa Ustadz Das’ad. Tentu saja kita sepakat bahwa mati kafir adalah salah satu cara terburuk bagi seorang muslim untuk mengakhiri hidupnya. Tapi pertanyaan retorisnya: apakah semua yang mati suul khatimah pasti mati kafir? Ataukah sebagian dari mereka yang suul khatimah masih terhitung sebagai Muslim yang tidak tercerabut sepenuhnya dari ke-Islamannya?
Pertanyaan teologis ini penting karena terkait dengan nasib seseorang di akhirat. Orang yang mati kafir diyakini akan tinggal selama-lamanya di dalam neraka. Adapun seseorang yang mati dalam keadaan Islam namun banyak membawa dosa besar masih berpeluang mendapatkan rahmat Allah dengan dimasukkan ke surga setelah menjalani hukuman di neraka. Dalam agama, orang yang kedua ini disebut sebagai fasiq. Jadi ada perbedaan yang sangat besar antara orang kafir dan orang fasiq, sebesar perbedaan antara disiksa selamanya di neraka dan diangkat dari neraka ke surga setelah beberapa waktu.
Jika penerima politik uang itu akan mati kafir seperti kata Ustadz Das’ad, maka itu artinya peluang mereka masuk surga sudah tertutup. Inilah yang membedakan beliau dari sebagian besar ulama lain yang mengancam caleg dan pemilih yang terlibat politik uang “hanya” dengan hukuman neraka tanpa embel-embel “selamanya”. Artinya, para ulama lain tidak mengisyaratkan bahwa pelaku politik uang akan menjadi penghuni abadi di neraka.
Sebagai sebuah pesan dakwah, vonis “mati kafir” bagi penikmat politik uang sangat cocok dengan semangat kampanye anti-politik uang. Aktifis yang mengingingkan pemilu yang bersih pasti akan menyukai pesan seperti ini. Sebagian peneliti sosial mungkin akan setuju dengan fungsi agama sebagai inspirasi untuk peningkatan kualitas pemilu. Namun dianalisis dari kacamata teologis, khususnya, keselamatan di akhirat, ada tanda tanya besar yang menggantung di vonis “mati kafir” dari Ustadz Das’ad ini. Benarkah sekeras itu agama Islam mengancam politik uang? Dan jika benar, mengapa hanya Ustadz Das’ad saja, sejauh yang saya teliti, yang bilang begitu? Di sinilah ironi dari suatu kekhasan. Ia bisa menjadi kelebihan, sekaligus bisa menjadi petanda kekurangan. Wallahu A’lam