Peninggalan peradaban islam di sepanjang tempat peradabannya memiliki daya tarik tersendiri. Di antaranya ciri khas bangunan yang megah, yang mempunyai seni arsitektur yang luar biasa. Keindahan setiap ukirannya serasa mengajak untuk mengunjungi dan mengabadikan momen bersama.
Di beberapa Negara Eropa yang mayoritas penduduknya bukan pemeluk agama islam, nyatanya memiliki segudang sejarah peradaban islam setiap zamannya. Negara Spanyol yang dikenal dalam sejarah dengan nama Andalusia menjadi pijakan awal islam berkembang di Eropa. Kota Cordoba dan Granada menjadi pusat-pusat peradaban islam yang sangat penting. Peradaban Islam di Spanyol memainkan banyak peran yang tak hanya terfokus pada perluasan dan penaklukan wilayah, islam memberikan sumbangsih dalam bidang intelektual dan infrastruktur berupa bangunan megah yang terpusat pada kota Cordoba dan Granada.
Awal Masa Islam di Andalusia
Perluasan wilayah islam di Andalusia pada tahun 711 M. Dimulai sejak zaman Bani Umayyah tepatnya pada pertengahan kekhalifahan Al Walid bin Abd Malik (705-715 M). Pada masa pemerintahannya, khalifah Al Walid mencapai masa kemenangan, kemakmuran, dan kejayaan. Beliau meluaskan wilayah kekuasaan Islam ke daerah Timur dan Barat. Dari perluasan daerah kekuasaan tersebut, menjadikan dinasti umayyah mendapatkan banyak harta rampasan dari daerah bagian yang dikuasainya. Disamping itu, pembangunan dalam kota mendapatkan perhatian yang cukup serius seperti masjid, gedung-gedung umum, jalan raya, dan lainnya (Rahmani, Skripsi, 2019 : 31).
Kedatangan islam di Andalusia bermula sejak pasukan tentara Thariq bin Ziyyad menyeberangi lautan Gibralta menuju ke Semenanjung Ilberia, Pasukan Thariq yang hanya berjumlah 7000 orang itu berhadapan dengan tentara Visigoth Andalusia yang berkekuatan 100.000 tentara lengkap bersenjata (Nor, 2011:15). Sehingga ketimpangan atau ketidakseimbangan pasukan menjadi hambatan dalam penaklukan ini, namun hal itu tidak melunturkan semangat Thariq bin Ziyyad dan pasukannya dalam melawan tentara Visighot.
Penyerangan Thariq bin Ziyyad berujung kemenangan dan berhasil mengalahkan tentara Visighot, kemenangan mengambil celah permasalahan internal pemerintahan Rom Andalusia, yang mana saat itu tengah terjadi pertikaian agama Kristen dan Yahudi yang sama-sama berkeinginan untuk berkuasa di tahta. Hal ini mengakibatkan peluang kelemahan yang besar sehingga Islam telah membuka ruang keemasaan baru saat itu. Tidak puas sampai disitu, Thariq bin Ziyyad tetap memanfaatkan kesempatan untuk meneruskan penguasaan ke Cordoba dan Toledo. Ia mengambil banyak harta rampasan di perkemahan dan ia juga berhasil mengambil alih kerajaan di Andalusia (Nor, 2011:17). Kemudian berkuasalah umat Islam di Andalusia dan berhasil menyebarkan agama Islam di daratan Eropa.
Akulturasi Budaya dan Toleransi Beragama
Memasuki era setelah khalifah Al Walid tepatnya 750 M. Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan merebut kekuasaan daerah-daerah Arabia. Namun pada tahun 756 M, pangeran Umayyah Abdrurrahman Al-Dakhil yang berada di pengasingan masuk ke wilayah Spanyol dan berhasil merebut 8 kekuasaan di seluruh Andalusia. Dan ia memerintah sebagai Amir (pangeran) di Andalusia dari tahun 756 sampai 788. (Jong, Jurnal Gema Teologi, April 2010: 7-8) . Sebagai peguasa pemerintahan saat itu, Al-Dakhil telah memperlihatkan perkembangan ketamadunan, capaiannya terpusat pada Cordoba dan berbagai kota lainnya serta melakukan pembinaan yang massif, yang mana pemimpinnya berjaya membentuk satu masyarakat yang dinamis dan harmonis dalam keberagaman latarbelakang penduduknya.
Dalam sejarah Cordoba, dampak dari perluasan dan penaklukan wilayah menimbulkan korelasi antara agama dan budaya, menurut Robert Hillenbrand (dalam Jong, Jurnal Gema Teologi, April 2010: 15) bahwa “Peranan orang-orang bukan Muslim penting sekali dalam perkembangan kebudayaan Cordoba ini, khususnya karena orang Arab, orang Kristen dan orang Yahudi dapat berbicara dalam dua bahasa yang mereka menguasai penuh, yakni Bahasa Arab dan Bahasa Spanyol Latin setempat,”. Dari sini dapat didentifikasi bahwasanya peradaban Cordoba tidak terlepas dari hubungan antar agama dan budaya yang sangat erat. Dari agama-agama tersebut masing-masing membawa budaya yang terakulturasi membentuk peradaban-peradaban yang baru.
Pada masa Abdurrahman I (Al-Dakhil) telah memperlihatkan suatu ikatan sosial keagamaan yang berupa sikap toleransi yang besar, yang mana sikap itu merupakan bagian inti dari tradisi Daulah Umayyah. Al-Dakhil menggunakan separoh gereja St. Vinsensius sebagai masjid, dan separuh yang lain dipakai secara bebas oleh umat Kristiani. Hal itu sebagai lambang toleransi religius antar umat beragama (Jong, Jurnal Gema Teologi, April 2010: 17).
Dalam kebudayaannya, terjadi akulturasi yang mana budaya di luar Cordoba masuk dan berkembang untuk saling bertukar peran dan saling melengkapi dengan kebudayaan masing-masing agama tetap dijalankan. Dalam sejarah, Masjid-Katedral Cordoba merupakan bukti dua agama dan budaya yang membentuk Andalusia. Masjid-Katedral itu juga mempengaruhi kesenian islam dan barat, dari segi teknik pembangunannya, dan gaya arsitektur yang menggabungkan budaya timur dan barat.
Masyarakat Sipil Pluralistik yang Berperadaban
Masjid-Katedral awalnya adalah sebuah gereja St. Vinsensius yang kemudian digunakan sebagi tempat ibadah dua agama (islam dan Kristen), setelah itu dirubah lagi menjadi masjid pada tahun 784 M. Dan pada saat Cordoba diambil alih oleh orang-orang kristen, Raja ferdinan III mengubah menjadi gereja. Selanjutnya raja-raja kristen berikutnya mengubah dan menambahkan fitur masjid tanpa menghancurkan bangunan awal sedikitpun. Alhasil masjid Cordoba yang dibangun pada awal masa Abdurrahman I berubah menjadi Masjid-Katedral Cordoba (Republika, akses 25 Juli 2020). Inilah yang menjadi bukti toleransi yang besar antar umat bergama tanpa saling menjatuhkan agama satu dengan yang lainnya.
Kepluralitasan bangsa-bangsa saat itu menjadi bukti bahwasannya islam dan agama lainnya memiliki toleransi yang tinggi dan kebudayaan yang beradab. Hal itu menjadi karakteristik masyarakat al-Andalus di bawah pimpinan Daulah Umayyah yang benar-benar menjadi suatu masyarakat sipil pluralistik yang berperadaban (Jong, Jurnal Gema Teologi, April 2010: 21-22)
Saat ini, masyarakat yang pluralitas hampir di setiap negara memilikinya. Indonesia contohnya, di Indonesia memiliki keragaman budaya, ras, agama, etnis, dan suku. Tetapi saat ini kelompok-kelompok beragama kerap kali merasa diancam oleh kelompok agama yang lain. Bukan hanya berbeda agama, sesama agama pun masih saling menggolong-golongkan dan membeda-bedakan. Isu-isu tentang islamisasi atau kristenisasi masih terus bermunculan. Hal itu menandakan, bahwa belum adanya suasana aman dan toleran. Sejarah Al-Andalus ini memperlihatkan, bahwa manusia dengan latar belakang agama yang berbeda pun tetap bersama-sama dalam membangun suatu masyarakat yang pluralistik.