Tradisi tulis yang tumbuh kembang secara bersamaan dengan pengajian kitab kuning ialah aktifitas maknani dari kata Arab ke dalam bahasa lokal (Melayu, Jawa, Madura dan seterusnya). Tradisi ini menjadi suatu yang khas dan otentik di kalangan pesantren Nusantara yang sulit ditemukan di luar Indonesia. Dari tradisi ini kemudian lahir aksara Pegon.
Tradisi maknani “memberi arti perkata ke dalam bahasa lokal” merupakan aktivitas yang mudah dijumpai di pesantren-pesantren Indonesia hingga sekarang, khususnya yang salaf. Tidak hanya sekadar mengartikan per kata dari bahasa Arab ke bahasa lokal -Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya-, aktivitas ini juga memunculkan sebutan khusus di dalamnya, paling tidak ada beberapa istilah yang umum dikenal: kode gramatikal dan morfologi bahasa Arab “nahw dan sharf” seperti ketika suatu kata dalam kalimat berkedudukan sebagai mubtada’, maka diberikan kode aksara mim “م”, jika berkedudukan menjadi khabar diberikan kode “خ” dan seterusnya. Pada aspek lain tradisi maknani juga memunculkan suatu istilah yang disebut rujuk “kembali” biasanya kode ini digunakan untuk menandai bahwa suatu dlamir atau kata ganti merujuk ke kata atau kalimat sebelumnya.
Tidak ada sumber akademik yang menjelaskan kapan tradisi maknani di pesantren mulai dikenal. Tapi aksarapego/pegon sudah dikenal sejak abad 16 M. Sejarah perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa, hingga saat ini masih menyisakan beberapa keunikan yang menarik. Keunikan-keunikan tersebut terdapat dalam khazanah kearifan budaya dan sastra. Salah satu bentuknya yang masih terjaga dan langgeng hingga saat ini adalah aksara Pegon-Jawi. Secara sederhana Pegon adalah aksara atau tulisan berbahasa Jawa yang ditulis dalam teks Arab “hijaiyah” (Behrend, 1996: 162).
Awalnya, kemunculan aksara Pegon lebih disebabkan adanya penetrasi budaya Arab terhadap budaya nusantara sebelumnya. Ketika Islam mendominasi dan menjadi elemen vital pada masyarakat Jawa, santri tidak hanya menyerap pengetahuan Islam, tapi juga bahasa Arab, termasuk aksara hijaiyah. Ketika Islam sebagai agama telah menjadi elemen penting dalam peradaban Jawa, santri di pesantren tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang Islam tapi juga naskah bahasa Arab.
Pada mulanya naskah bahasa Arab menurut Kromoprawirto (1876) hanya diajarkan sebagai sumber pengajaran dan pemahaman keagamaan, kemudian kebiasaan menggunakan naskah ini sudah menjadi akal sehat di kalangan santri dalam penulisan teks-teks keislaman. Santri memodifikasi naskah Arab yang sudah diperoleh dan disesuaikan dengan bahasa Jawa sebagai sarana untuk menulis sastra Jawa bahkan bahasa birokrasi di kerajaan-kerajaan kala itu. Aksara Arab-Jawa yang dimodifikasi ini dikenal sebagai Pegon.
Pegon berasal dari kata jawa pego yang berarti ora lumrah anggone ngucapake“ yang tidak biasa diucapkan”. Ini karena naskah Pegon secara fisik adalah bahasa Arab tapi pengucapannya memang mengikuti sistem aksara Jawa, hanacaraka. Alfabet aksara Pegon tidak berjumlah 28 seperti pada aksara Arab, tapi totalnya hanya 20. Ini mirip abjad Pallawa hanacaraka. Oleh karena itu urutannya mirip dengan bahasa Jawa dari pada bahasa Arab. Hanya tujuh dari dua puluh aksara Pegon yang tidak dapat dikenali dalam aksara Arab yaituca, pa, dha, nya, ga, tha dan nga. Namun lima dari tujuh (ca, pa, nya, ga, nga) hadir dalam naskah Jawi (naskah Arab untuk teks Melayu). Maka, hanya dua yang tersisa yang termasuk aksara asli Pegon: dha dan tha Pigeaud (1967: 26).
Dari pelacakan van Bruienessen seperti dikutip artikel “Pegon Script, Identity and the Change of Santri Society” dalam Archaeology, Indonesian Perspective: R.P. Soejono Festschrift (2006), pada abad 19 Kiai Soleh Darat (w. 1903) merupakan penulis paling produktif dari pesantren yang banyak menggunakan bahasa Jawa dan aksara Pegon dalam karya-karyanya, seperti Kitab Majmu’ yang mengupas masalah fikih dan Jauhar al-Tauhid dalam bidang akidah. Karya-karya Mbah Soleh terkenal di kalangan santri Melayu dan kebanyakan karyanya konon diterbitkan di Mumbai, India. Setelah Mbah Soleh, tradisi literasi Jawa diteruskan oleh Mbah Bisri Rembang dengan karya populernya dalam bahasa Jawa dan Pegon, Tafsir Ibriz, Mbah Misbah Bangilan, Mbah Muslih Mranggen, Mbah Hamid Kendal dan lainnya.
Dalam artikel Pegon Scripts: Tangible Identity of Islamic-Javanese, Titik Pujiastuti pakar filologi di Universitas Indonesia menemukan bahwa Pegon digunakan sebagai medium literasi bagi kalangan santri dalam penulisan teks keagamaan, karya sastra(serat, babad dan singir “syiir yang dibaca di langgar/musala sebelum menunaikan salat”) dan korespondensi (seperti surat yang ditulis Bagus Ngarpatem yang ditulis pada 23 Ramadlan 1770 M).
Seiring perkembangan teknologi global, ada geliat literasi yang menggembirakan di kalangan pesantren dengan memanfaatkan media kontemporer. Pola lama dalam literasi pesantren, maknani dalam aksara Pegon kini bermetamorfosa dalam bentuk yang kaya dan beragam. Mayoritas pesantren kini sudah memiliki website “laman” resmi. Selain itu sebagian santri juga sudah akrab dengan penggunaan media daring, mulai pemanfaatan search engine untuk mendapatkan informasi, blogging, visual editing dan sinematogafi sampai yang terbaru menghasilkan karya kreatif seperti vlog dan meme ala santri.
Perkembangan teknologi tentu berdampak positif bagi kemajuan literasi pesantren kekinian. Karena teknologi memunculkan platform baru dalam dunia kreatif santri yang memberi akses kemudahan dan ruang tanpa batas. Media publikasinya pun sudah beragam, tidak lagi hanya cetak, tapi juga berbasis digital. Sebagian pesantren sampai mempunyai penerbitan dan percetakan sendiri atau mengembangkan portal web khusus tentang pesantren dan santri. Seperti di Kediri, pesantren Hidayatut Thullab Petuk dan Fathul Ulum Kwagean mengembangkan bisnis percetakan dari budaya maknani dengan menerbitkan kitab-kitab gandhul atau jenggot “sudah diberi arti Jawa ditulis dengan aksara Pegon berada menggantung di bawah teks Arab”. Ini merupakan bentuk dunia baru bagi pesantren yang bisa bernilai ekonomis selain berdampak pada akselerasi produk intelektualisme di kalangan santri.
Era baru budaya literasi yang sedang berlangsung sekarang ini harus mendapatkan ruang yang luas oleh subjek pesantren dan negara. Jika dulu pesantren menelurkan penulis prolific seperti Mbah Soleh Darat, Mbah Rifai Kalisasak dan banyak lainnya yang menggunakan Pegon-Jawi sebagai medium memproduksi ilmu dan pengetahuan yang sarat manfaat bagi manusia yang mau mengaji. Kini, saatnya santri mengeksplorasi semua medium yang diberikan oleh kemajuan teknologi untuk menulis dan menyebarkan ide atau gagasan. (RM)