Sedang Membaca
Membongkar Misteri “Al-Ummi” Kanjeng Nabi
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Membongkar Misteri “Al-Ummi” Kanjeng Nabi

Apa saja terkait Kanjeng Nabi Muhammad Saw tidak akan pernah tuntas untuk dituliskan. Salah satunya, sebutan al-ummi, ummi atau umi yang melekat pada Nabi Muhammad yang selama ini masih salah kaprah dipahami umat Islam, terutama bagi mereka para pembenci Kanjeng Nabi justru menjadikan itu sebagai alat “olok-olok” bahwa Nabi itu bodoh, terbelakang lantaran buta aksara dan tidak bisa baca tulis.

Di dalam Alquran, ada beberapa surat yang menyebutkan al-ummi. Salah satunya Surat Al-A’raf ayat 157 yang artinya “Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab pun sebelum adanya Alquran, dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (Engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.”

Akan tetapi, selama ini masih banyak para penafsir Alquran yang menurut saya kurang objektif dan memaknai secara harfiah saja. Padahal, makna al-ummi sangat luas, dalam, dan tidak dapat dimaknai secara bahasa, nahwu, saraf, balaghah, namun juga perlu kontekstualisasi makna. Apalagi, pemaknaan Alquran dimaknai secara “hadis” (baru), bukan “qadim” atau lama.

Perlu diingat, Nabi Muhammad memiliki banyak posisi dan fungsi. Ada kalanya sebagai manusia biasa, nabi, rasul, ada kalanya sebagai “Nur Muhammad” (cahaya yang terpuji) yang menjadikan Allah menciptakan dunia seisinya ini, termasuk semua nabi dan rasul dari Adam hingga Muhammad itu sendiri. Maka misteri al-ummi harus dibongkar dengan objektif, ilmiah, dan berdasarkan kebenaran ilmiah, agama, filsafat, bukan sekadar kebenaran biasa atau berdasarkan common sense.

Misteri Makna Al-ummi

Secara historis, ada yang berpendapat, annabil ummi ini melekat pada Rasulullah karena saat beliau lahir sudah dalam kondisi yatim. Maka sosok umi (ibu) dibutuhkan beliau dan melekat langsung kepada beliau karena “ibunya” (pengasuh) Kanjeng Nabi langsung dari Allah SWT melalui malaikat Jibril. Akan tetapi, pendapat ini dibantah sebagian mufasir karena hanya memaknai “umi” dari arti fisik ibu saja.

Sementara secara bahasa, kata al-ummi berasal dari Bahasa Arab, al-umm yang berarti “ibu”. Akan tetapi, kata al-ummi maknanya luas, beragam, unik, debatebel, bahkan menjadi enigma dalam sejarah peradaban manusia.

Ummi dalam Lisanul Arab sering disebut seorang yang diasuh sendiri oleh ibunya di rumah, atau ibu, induk, bahkan juga embrio manusia.

Berbagai pakar tafsir, secara bahasa memang menyepakati ummi itu tidak dapat membaca dan menulis. Akan tetapi, makna al-ummi tidak boleh dimaknai secara bahasa saja, melainkan lebih pada sejarah dan makna tersiratnya. Mengapa? Sebab, Alquran surat Al-’Ankabut mengaskan Nabi Muhammad Saw tidak pernah membaca kitab apa pun atau menulisnya sebelum Alquran diturunkan.

Baca juga:  Abu Hurairah Pernah Berburuk Sangka pada Rasulullah Saw

Atas dasar ini, para mufasir kebanyakan dalam kitab-kitabnya masih memaknai al-ummi hanya sekadar secara harfiah/leksikal, yaitu “tidak dapat membaca dan menulis”. Titik. Hanya itu. Masih sedikit para mufasir yang menggali al-ummi ini dengan perluasan makna yang objektif dan substansial.

Tidak heran jika kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (1997:40), misalnya, mendefinisikan kata al-ummi sebagai yang tidak dapat membaca dan menulis. Ingat, tidak dapat membaca dan menulis bukan berarti “buta huruf” atau “buta aksara”.

Pemaknaan lebih “konyol” lagi tertuang dalam KBBI daring versi V yang mendefinisikan “umi” sebagai tidak bisa baca tulis atau buta aksara. Apakah benar demikian? Lalu, mengapa Nabi Muhammad sangat cerdas, revolusioner, menjadi nabi akhir zaman dan menjadi tokoh dunia terhebat?

Membongkar

Perlu diingat, turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad ada dua makna, pertama “qadim” (lama) dan “hadis” (baru). Jika Rasulullah dimaknai hadis sebagaimana Alquran atau kalamullah yang belum dibukukan, maka sah-sah saja beliau disebut al-ummi.

Ketika dimaknai “qadim” maka sangat tidak ilmiah jika Kanjeng Nabi disebut al-ummi secara keseluruhan. Mari kita urai agar enigma al-ummi ini tidak menjadi perdebatan yang melelahkan.

Pertama, Allah menurunkan Alquran tidak langsung kepada Rasulullah, melainkan melalui proses dari Allah, lauhil mahfud/malaikat Jibril, baru ke Nabi Muhammad. Maka definisi al-ummi tidak dapat membaca dan menulis itu tidak secara fisik, melainkan membaca dan menulis dalam makna “di hati” nabi sendiri, bukan di mulutnya.

Kedua, Alquran sebagai kalamullah ketika disampaikan kepada Rasulullah lewat malaikat Jibril tidak dalam bentuk tulisan, melainkan kata-kata/kalimat yang itu hanya diketahui Jibril, Nabi Muhammad dan beberapa makhluk Allah yang diizinkan. Kita tahu Alquran hanya dari mushaf saja, tidak dari Alquran yang melalui proses Jibri (lauhil mahfud) kepada Nabi Muhammad.

Pemaknaan penyampaian Alquran itu tidak seperti dosen mengajar mahasiswa, namun langsung di dalam hati Nabi Muhammad. Maka perintah Allah pertama kali kepada Nabi Muhammad adalah iqra’ (bacalah).

Dalam surat al-Alaq ayat 1-5 artinya, “Bacalah! Dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah! Dan Tuhanmu lah yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan (perantaraan) qalam (pena), Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya”. Saat penyampaian surat ini, Allah lewat Jibril langsung menancapkan ayat itu ke dalam hati Nabi Muhammad, tidak menyuruh Nabi membaca secara lisan.

Baca juga:  Beberapa Kelebihan Perempuan

Setelah diturunkan, apakah Rasulullah langsung menulis Alquran itu? Jelas tidak. Kalamullah di sinilah yang masih misterius, sebab Nabi Muhammad tidak pernah menuliskannya karena sudah tertancap di dalam hatinya. Baru ketika zaman Khalifah Usman bin Affan, Alquran ditulis dalam satu mushaf di masa Usman tersebut. Pembukuan itu disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafsah binti Umar. Alasannya, karena usai perang Yamamah tahun 12 H melibatkan sahabat-sahabat penghafal Alquran dan 70 penghafal Alquran gugur dalam perang itu.

Pemaknaan Alquran sebagai “kalamullah” itulah yang disebut qadim, sementara Alquran yang berbentuk mushaf itulah yang disebut hadis. Artinya, makna al-ummi itu harusnya disandarkan pada misteri mengapa Nabi Muhammad tidak membukukan/ mengarsipkan Alquran dalam bentuk kitab/buku, dan kalamullah berupa Alquran itu yang diturunkan dari Allah, Jibril, Muhammad yang sampai detik ini belum ada pakar yang dapat menjelaskannya.

Artinya, Rasulullah sendiri menghindarkan diri sebagai nabi yang tidak berpatron pada tulisan, melainkan ilmu itu sudah tertancap di dalam hati dan pikiran. Tanpa membaca dan menulis pun, Kanjeng Nabi itu sudah cerdas dan bernas. Apakah Nabi Muhammad tidak dapat membaca dan menulis? Tentu sangat konyol jika kita menyepakati jika nabi itu ummi.

Ketiga, Nabi Muhammad adalah manusia istimewa dan dibebaskan Allah mendapatkan pengetahuan dari keterampilan berbahasa, baik itu menyimak/mendengarkan, membaca, menulis, atau berbicara seperti manusia biasa. Sebab, pengetahuan yang didapat Nabi Muhammad langsung ditancapkan Allah ke dalam hatinya. Maka sangat wajar dalam definisi manusia, Nabi Muhammad itu ummi.

Inilah keterbatasan manusia yang aneh karena menyamakan posisi Nabi Muhammad laiknya manusia biasa. Padahal dalam konteks ini, Nabi Muhammad harus diposisikan sebagai rasul, nabi, revolusioner sejati, manusia hebat, dan wakil Allah untuk memberi petunjuk dan syafaat pada manusia.

Sangat logis ketika ada syair Arab berbunyi al-‘ilmu fissudur walaisa fissutur (ilmu itu di dada (dihafalkan) bukan tertulis di kertas). Akan tetapi, diktum ini hanya berlaku untuk “Kanjeng Nabi Muhammad” saja karena tanpa baca-tulis, Rasulullah otomatis pandai karena Allah langsung menancapkan ilmu di dadanya.

Dari hal ini, makna al-ummi jelas tidak berlaku pada Muhammad dan harusnya, kata ummi di sini dimaknai tidak bisa membaca-menulis secara fisik, bukan secara metafisik.

Lalu bagaimana dengan manusia? Karena manusia bukan nabi yang mendapat sertifikat nubuwwah, pasti masih tetap wajib membaca, menulis, berhitung, dan melek aksara, kecuali Nabi Muhammad yang dibebaskan Allah dari keterampilan berbahasa. Sebab, Allah menjaga Nabi secara langsung agar terhindar dari apapun termasuk pengetahuan melalui kemampuan panca inderanya.

Baca juga:  Empat Macam Ujian yang Akan Dihadapi oleh Orang yang Berilmu

Mukmin (2017: 551) dalam risetnya menyebut, kata ummi yang disematkan pada Nabi Muhammad dalam surat Al-‘Ankabut diungkapkan dengan penggunanan kata kerja atau verbal (fi’li) yang dinafikan dengan huruf ma yang arah maknanya adalah tidak ada dinamika dalam kehidupan beliau mengenai kegiatan baca tulis dan yang kedua dalam suart al-a’raf diungkap dengan kata berbentuk isim atau kata benda yang arah maknanya adalah tetap dan berkelanjutan.

Adapun empat ayat (al-A’laq:1-5, al-Qalam 1-6, al-Ala 6-8, al-Bayyinah: 1-2) yang dipergunakan untuk membuktikan Nabi Muhammad menjadi seorang yang pandai baca tulis terbantahkan dengan analisis balaghah secara tekstual dan kontekstual. Keempat ayat itu tidak tepat untuk dikatakan bukti ke-ummi-an Nabi Muhammad bersifat temporer (sementara) saja.

Maka sudah jelas, meskipun Nabi Muhammad itu ummi secara fisik, namun hanya bersifat sementara dan memang Allah menyimpan misteri mengapa Nabi Muhammad dibebaskan dari kata-kata, huruf, baca, tulis dalam menerima Alquran atau pengetahuan. Tapi, itu hak veto langsung dari Allah, dan hanya Allah yang Maha Tahu dengan segala enigmanya, termasuk teka-teki ummi itu sendiri.

Dari sini sudah gamblang, bahwa misteri ummi sudah dapat diilmiahkan karena hanya Nabi Muhammad yang memiliki kecerdasan dari pakar mana pun. Tak heran jika Michael H. Hart (1978) dalam buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia nomor wahid yang berpengaruh di dunia. Dus, apakah Anda masih percaya jika Kanjeng Nabi Muhammad itu ummi?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
5
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (1)
  • Yang jadi inti perdebatan kan apakah nabi Ummy secara fisik bukan metafisik. Karena dari kedua kubu argumennya tidak ada satupun yang benar-benar kokoh. Masih saja menyisakan tanda tanya.

    Tulisannya kurang mendalam, tidak disertai argumen masing-masing kubu dan sanggahannya.

Komentari

Scroll To Top