Edi AH Iyubenu
Penulis Kolom

Sastrawan, praktisi perbukuan. Tinggal di Jogjakarta

Gemuruh Hati Melepas Anak Berangkat ke Pesantren

Tahun 1992, Abah dan Ibu mengantar saya ke pesantren asuhan Abah KH Aziz Masyhuri di Denanyar Jombang. Saya menatapi ruangan besar beralas karpet coklat. Pada beberapa pojokan dan sisinya, telah menumpuk banyak tas, juga orang-orang asing yang bergerombol membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Di antara mereka, ada anak-anak sebaya saya.

Abah dan Ibu lalu memilih sisi yang kosong dan meletakkan tas dan kardus bawaan. Saya pun duduk di sebelah mereka. Banyak hal yang Abah tuturkan, sementara Ibu lebih banyak diam sembari menatap saya.

Jelang Asar, mereka pamit –sebagaimana para pengantar lainnya. Ruangan besar ini menjadi lebih sepi. Sejumlah anak sebaya saya berkutat dengan diri masing-masing. Ada yang memberesi barang-barangnya, ada yang geletakan, dan ada yang duduk menekuk lutut, dengan isi kepala entah apa saja. Termasuk saya.

Malam pun tandang. Keterasingan dan ketercekaman terasa makin gahar menikami sekujur tubuh saya. Usai salat Magrib yang dipimpin seorang ustaz pengasuh, saya mengisak. Lamat-lamat, terdengar sejumlah orang lainnya mengisak. Sesekali, mata saya berbenturan dengan mata mereka yang mengisak dan juga tak mengisak.

27 tahun kemudian, tepat 19 Juni 2019, saya mengisak sembari membuang muka dari tangkapan mata anak saya, Dik Gara, di beranda masjid Pesantren Pandanaran, Jogja. Waktu telah senja, sebentar lagi bakal Magrib.

Ia mengenakan sarung, baju koko hitam, dan pecis hitam. Wajahnya datar saja, sesekali melempar senyum, dan bercanda dengan adik bungsunya, Ozer.

“Kerasan ya, Le, di sini, moga kamu jadi orang yang alim, soleh, dan berguna bagi banyak orang kelak, amin….”

Ia mengangguk. Tepat pada anggukannya ini, mata saya berderai. Ia tidak. Wajahnya datar saja.

“Le, insya Allah, dua hari lagi, ayah sama mama ke sini lagi, menjengukmu, hari Jumat. Kudu kerasan, ya….”

“Iya, Yah,” kali ini terdegar sahutannya. “Aku udah kerasan kok, banyak temannya di sini, juga banyak yang jualan jajanan, ada minimarketnya juga, heee….”

Saya membuang muka, ke arah yang berbeda dengan tatapan matanya yang amat saya sayangi sepenuh jiwa. Saya memeluknya, erat-erat, sembari mengelus punggungnya dengan tangan kiri, dan mengelus leher hingga ke kepalanya dengan tangan kanan –dan di dalam hati membacakan shalawat. Semoga kamu kerasan, Nak….

Lalu bangkit dan pergilah saya ke parkiran. Meninggalkannya sendirian di beranda masjid.

Jalanan yang padat membutuhkan sejumlah waktu buat menjemput kerabat yang turut mengantar di jalan seberang masjid itu. Tepat saat melintas di depan masjid, Dik Gara memanggil saya: “Ayahhh…..” sembari melambaikan tangannya, dan tersenyum rekah, sangat rekah.

Saya tersenyum lebar, membalas lambaiannya, mengerem di tengan jalan, dan menatapinya dalam-dalam. Ia mengenakan sarung, baju koko hitam, dan peci hitam: air mata saya tumpah, kembali berderai.

Baca juga:  Evolusi Santri, Evolusi Abangan

Malamnya, pukul 23.30, saya membuat indomie goreng di dapur, sendirian. Biasanya, ada Dik Gara membersamai. Biasanya, ia juga minta dibuatkan indomie goreng setengah matang tanpa telor. Biasanya, ia makan tengah malam begini bersama saya. Saya dua bungkus, dia satu bungkus.

Semalam ia tak lagi di depan saya. Seperti malam ini, ya, malam ini, tepat saat menuliskan catatan hati ini –ia benar-benar tak ada di depan saya.

“Nak, kamu lagi apa, sudah bobokkah, sudah makankah, nyamankah sama teman-temanmu?” gumaman ini meletup begitu saja di hati, dan sejurus selang, derai lagi air mata.

Kang Zainal, pengasuh kamarnya, kemarin saya kirimi wasap, menitipkan Dik Gara sembari memohon doanya semoga Dik Gara kerasan dan baik-baik selalu selama di pesantren. Kang Zainal membalas wasap saya dengan sangat baik dan menyenangkan.

Ternyata, saya serapuh ini saat harus berpisah dengan anak yang sejak balita selalu ngintili saya ke mana-mana itu. Siang dan malam.

Bila ia libur sekolah, saya mengijinkannya begadang bersama saya hingga sekuatnya. Entah di rumah, entah di kafe Basabasi, atau mushalla.

Ia kerap bercerita dengan cerita-cerita yang acap membuat saya terkekeh. Umpamanya, tatkala ia saya minta adzan Jum’at di masjid dekat rumah.

Pulang Jumatan, ia berkisah betapa kedua kakinya menjadi kewer-kewer. Betul, istilah dia “kewer-kewer”.

Kewer-kewer itu gimana, Le?”

“Itu lho, Yah, kan aku sudah berdiri to di depan mik, tiba-tiba kedua kakiku gerak-gerak sendiri padahal aku sudah nahan untuk tak bergerak je. Terasa lemes banget kedua kakiku….”

Saya ngakak.

Pas Jumatan pertama selepas Idul Fitri kemarin, di Indramayu, kebetulan saya diminta berkhutbah, lalu saya minta Dik Gara yang adzan.

Dari balik mimbar yang tembus ke sisi ia mengumandangkan adzan, sesekali saya menatapnya tengah menutupkan kedua telapak tangan ke kedua telinganya. Ya Allah, Le, kamu beneran bisa adzan bagus begitu, ya, jangan sampai salah, Ya Allah, plis tolong lancarkanlah, Ya Allah….begitu betik hati saya.

Usai Jum’atan, saat disaji makan siang oleh tuan rumah, dengan bercanda, saya tanya ke Dik Gara. “Le, tadi masih kewer-kewer nggak?”

“Iya, dikit tapi….”

Saya terbahak lagi..

Bertahun silam, saat sudah jadi mahasiswa IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, saya terkekeh mendengar kisah ibu tentang abah.

Ibu berkata, “Abahmu itu tegaan. Dulu pas nganter kamu ke pondok, di perjalanan pulang aku nangis di bis. Abahmu bilang, ‘Kalau kamu nangis terus, nanti anakmu nggak kerasan di pondok, kamu loh yang tanggung jawab….’.”

Baca juga:  Khadam: Balada Sang Pengabdi Kiai

Saya sungguh lebar ngakak. Lucu sekali….

Kini, tatkala saya merasakan perasaan yang dulu pernah dirasakan ibu, saya tak lagi bisa tertawa. Apalagi terbahak-bahak.

Sungguh, hati saya pilu. Sangat parah!

Jika Anda pengin seturut merasakan perasaan saya tentang Dik Gara, bertahanlah membaca kisah ini, sebentar saja.

Dik Gara ini soulmate banget sama saya. Ke mana-mana, ia ngikuti saya. Jika saya hendak pergi sendirian, mungkin karena dia besok harus sekolah dan tak boleh begadang, ia mesti bertanya, “Ayah mau ke mana? Lama nggak? Pulang jam berapa?”

Kerap, ketika saya pulang tengah malam, dialah yang membukakan pintu untuk saya. Saya bertanya, “Kok kamu belum tidur, Le?”

“Nungguin Ayah….”

Dik Gara ini, syukur alhamdulillah, anak laki yang nurut banget sama saya. Begitu lekat dan lengketnya ia sama saya, beberapa kali saya terpancing emosi memarahinya. Dan itu semua tak pernah mengurangi kelengketannya sama saya.

Suatu hari, ia diminta tolong sama mamanya untuk menggendongkan Ozer sebentar di musala. Adiknya sedang rewel. Kemungkinan, Dik Gara hanya sedang asyik main sama temannya. Ia tak menjabani pinta mamanya.

Saya yang menyaksikan kejadian itu kesal. Lalu pulanglah kami. Setiba di garasi, di dalam rumah, saya pegang bagu kanan Dik Gara, lalu menatapnya dengan mendelik. “Kamu tadi dengar mamanya minta tolong apa?”

“Iii..yaa, iya….” suaranya gemetaran.

“Kenapa kamu cuek saja?”

Ia terdiam.

Refleks, saya mengibaskan tangan ke lengannya. Betul, saya menampar lengannya: sebuah peristiwa yang entah mengapa bisa terjadi dan saya sesali dengan penyesalan yang terus mendera hingga detik ini. Maafkan Ayah, Le….

“Kamu kalau dibilang A, bilang A, kalau dibilang B, bilang B, patuh….!”

Dik Gara spontan berkata, “A…. B….”

Saya segera menjauhinya. Ke belakang, ke dekat dapur, duduk menghadap dinding halaman belakang, dan meneteskan air mata.

Ya Allah, apa yang telah saya lakukan barusan? Saking gemetarnya, Dik Gara sampai refleks terbata menirukan apa yang saya katakan, padahal tentu saja bukan begitulah maksud saya.

Pas nisfu Sya’ban kemarin, usai shalat Maghrib jamaah, saya peluk anak-anak, satu demi satu. Paling akhir, mamanya.

Pelukan pertama saya jatuh pada Dik Gara. Lama saya memeluknya, menciumi kepalanya, keningnya, pipinya, kanan kiri, sembari membacakan shalawat berkali-kali, lalu berbisik padanya, “Le, maafkan Ayah, ya, Ayah banyak salahnya sama Dik Gara, Ayah pernah mukul lengan Dik Gara….” Air mata saya tumpah. Ya Allah, Le, sayang banget ayah sama kamu, Nak….

Dik Gara pula menangis. Menangis dengan tangisan yang sangat dalam. Suara kecilnya terdengar di telinga saya, “Iya, Yah, aku sudah maafkan Ayah dari lama, kok. Aku minta maaf ya, Yah, aku banyak salah sama Ayah….”

Baca juga:  Pesantren, Desa Perdikan, dan Masyarakat Petani di Abad 19

Begitu, ya begitu, Dik Gara….

Tuturan salah satu guru saya kemarin Subuh menderas di hati saya. Umpama seseorang memiliki lama anak, tidaklah berarti bahwa hati dan cinta seorang ayah kepada anak-anaknya dipecah-pecah menjadi sejumlah anaknya. Tidak ada hati dan cinta yang bisa dibagi-bagi.

Kepada setiap anaknya, ada satu hati, satu cinta, yang utuh. Hati dan cintanya tersematkan sempurna kepada semuanya. Maka perginya seorang anak tak pernah bisa tergantikan oleh hadirnya anak-anak yang lain. Setangkup cinta, sekuntum hati, tak pernah bisa tergantikan oleh masih adanya cinta yang lain, hati yang lain.

Bila seorangnya suatu hari pergi, cintanya, hatinya pun, ikut terbawa pergi. Bersamanya. Bagai dibetot dari rongganya dan menyisakan luka yang begitu perih.

Teriring perginya Dik Gara dari rumah, kini saya mengerti, karena telah mengalami, betapa hati dan cinta adalah sebenar-benar tatal-tatal perjalanan kehidupan yang merembes panjang dan lama hari demi hati ke sekujur napas, angan, ingatan, kenangan, impian, yang lalu membentuk Diri.

Cinta sungguh bukan kata-kata. Cinta sungguh bukan fatwa-fatwa. Cinta sungguh bukan rayuan-rayuan. Cinta sungguh adalah semata perihal hati, yang diperjalankanNya melalui apa-apa yang telah dialami, membentuk ingatan dan kenangan yang amat dalam, tak terbahasakan, namun semata utuh paripurna terasakan di relung jiwa yang terdalam.

Cinta, jikapun mesti dititipkan pada kata-kata yang memungkinkanmu seturut merasakan dengan keutuhan perasaan yang mustahil serupa, adalah: “Kau lihatlah air mata yang bertahta di sepasang kelopak mata yang hatinya telah dibawa pergi seorang anaknya….”

Saya, dini hari ini, teringat ibu, abah, juga Dik Gara. Dengan ingatan yang sangat bergelombang, begitu guruh gelegar, riuh bagai guruh dan gundah bagai bah, di dalam dada.

Semoga Allah Swt selalu menjagamu, Le, melindungimu, dan membimbingmu dalam melakoni peran muliamu di usia belum 13 tahun ini. Mari yakinlah bahwa inilah jalan terbaik yang dipilihkanNya bagimu, bagi keluarga, dan siapa pun yang kelak menjadi jodohmu, anak-anakmu, serta melingkar di antaramu.

Demi Allah, ayah sangat menyayangimu, Dik Gara, dengan gelora rasa sayang yang suatu hari kau akan merasakannya pula tatkala anak-anakmu bepergian satu demi satu dari pelukanmu. Jika kelak kau sedang mengalaminya, merasakan koyak-moyaknya sembilu hati tercerabut dari rongganya, dan kemungkinan di masa itu ayah telah tiada, ayah berharap kau membaca cerita ayah ini.

Miss you, Dik Gara….

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top