Yusuf bin Asbath merupakan salah satu ahli hadis dan sufi agung di masanya. Bernama lengkap Abu Muhammad Yusuf bin Asbath bin Washil As-Syaibani. Ia tinggal di Kufah. Dulunya ia bukanlah siapa-siapa. Ia bukan putra dari seorang ulama atau raja. Kehidupannya juga tidak ada yang istimewa. Namun, ia kemudian menemukan jalan hidupnya ketika bertemu penggali kubur, yang tak lain adalah tetangganya.
Dalam kitab At-Tawwabin karangan Ibnu Qudamah al-Maqdisi diceritakan Yusuf bin Asbath hidup bersebelahan dengan seorang pemuda yang tak dikenal. Walalupun hidup sebagai tetangga, namun mereka sama sekali tidak pernah berinteraksi. Kenal pun tidak. Jadi hubungan keduanya sangat dingin, sekalipun mereka hidup bersebelahan. Dan itu berjalan hingga sepuluh tahun lamanya.
Seiring berjalannya waktu Yusuf bin Asbath semakin penasaran dengan tetangga tersebut. Setiap malam, dari kamarnya terdengar rintihan yang tak pernah usai. Ia yakin bahwa sumber suara rintihan itu berasal dari rumah pemuda tersebut. Benar saja, tebakannya tidaklah salah. Setelah ia lihat dengan seksama, rintihan tersebut tidak lain adalah suara pemuda tetangganya itu yang sedang khusyuk beribadah.
Dalam hatinya ia bertanya-tanya, mengapa kok bisa seseorang bisa sangat khusyu’, bermunajat kepada Allah? Sedangkan dirinya hingga kini belum bisa merasakan itu. Shalat ya sholat saja tidak lebih. Puasa ya puasa saja. tidak ada yang istimewa dalam ibadah yang ia jalani selama ini.
Yusuf bin Asbath pun memberanikan diri menemui tetangganya itu. Ia penasaran.
“Apa sebenarnya pekerjaanmu, Mas?,”tanya Yusuf.
“Penggali kubur Mas,”jawab pemuda itu singkat.
“Loh, benarkah? tapi aku heran kamu kok bisa beribadah siang, malam tanpa henti. Bahkan sampai menangis di malam hari. Apa sebenarnya yang menyebabkan itu?,” tanya Yusuf bin Asbath.
Belum sempat ia menjawab, Yusuf bin Asbath sudah menimpali pertanyaan lagi. Saking penasarannya.
“Apa karena pekerjaanmu di dalam kubur itu? Apa yang kau lihat disana?”
Pemuda tersebut menghela nafas sebentar. Sambil mempersiapkan jawaban yang akan disampaikan.
“Begini mas, selama pengalaman saya menjadi penggali kubur, telah banyak sekali kuburan yang aku gali, dan saya menemukan fakta aneh.”
“Maksudnya bagaimana mas? saya kok gak paham maksudnya.”
“Dari sekian banyak mayit itu, mayoritas posisi tubuh mereka telah berpaling dari kiblat, kecuali hanya sedikit sekali. Oleh sebab itu aku tak henti-hentinya beribadah dan memohon kepada Allah agar ditetapkan imanku,” sambung pemuda tersebut.
Seketika Yusuf bin Asbath down. Ia pingsan tak sadarkan diri. Pemuda tersebut juga terkaget. Tak menyangka jika lawan bicaranya akan pingsan.
Ia pun bergegas memanggil dokter untuk mengobati Yusuf bin Asbath. Syukur, nyawanya masih tertolong, sang dokter berhasil memberikan pengobatan yang tepat. Namun ketika siuman, ternyata Yusuf bin Asbath masih teringat dengan apa yang diucapkan sang pemuda. Ingatan itu begitu membekas dalam otaknya. Ia takut menjadi bagian orang-orang yang berpaling dari kiblat. Saking takutnya ia kadang merapal kata-kata sang pemuda. “Kecuali hanya sedikit sekali”.
Ia kembali menemukan tujuan hidupnya, ia sangat bersyukur bisa bertemu dengan penggali kubur tersebut. Karena tanpanya ia mungkin akan begitu-begitu saja. Hidup mengalir, tanpa tahu tujuan yang sebenarnya. Ia sadar bahwa di dunia ini tugasnya hanyalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Tidak ada yang lain.
Akhirnya Yusuf bin Asbath pun menempuh laku sufi. Ia kemudian menemui para guru pembesar sufi. Seperti Sufyan Ats-tsauri, Zaidah bin Qudamah. Ia terus menekuni ilmu dan laku para sufi hingga ia dikenal sebagai seorang muhaddis (ahli hadis) dan Zahid. Akan tetapi karirnya di kalangan sufi lebih moncer, daripada karir intelektualnya sebagai seorang muhaddis.
Di antara kalam-kalam hikmah yang pernah diucapkannya adalah sebagaimana dikutip oleh Imam Ad-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala:
يجزئ قليل الورع والتواضع من كثير الاجتهاد في العمل.
“Seseorang dengan sedikit sifat wira’i dan tawadhu’ itu sudah cukup daripada banyaknya berusaha dalam amal.”
وسئل يوسف : ما غاية التواضع ؟ قال : أن لا تلقى أحدا إلا رأيت له الفضل عليك .
Suatu kali ia ditanya. Apa puncak dari sifat tawadhu’? Kemudian ia menjawab: “Ketika kamu melihat siapapun, engkau akan melihat bahwa dia lebih utama ketimbang dirimu.”
Yusuf bin Asbath wafat pada tahun 195 H/ 811 M di Kota Kufah. Ia meninggalkan begitu banyak warisan agung berupa teladan dan hikmah-hikmah yang tak ternilai. Wallahhu a’lam.