Sedang Membaca
Rasulullah Saw Melarang Kita Melaknat Orang yang Maksiat
Ulin Nuha
Penulis Kolom

Santri Pesantren Durotu Aswaja, Sekaran, Gungungpati, Kota Semarang. instagram: @ulinnuha_1

Rasulullah Saw Melarang Kita Melaknat Orang yang Maksiat

Bagi setiap orang muslim khususnya laki-laki, setiap minggunya yaitu pada hari Jumat mereka akan mendapat ajakan dari khatib untuk bertakwa. Karena memerintahkan takwa merupakan salah satu rukun khatbah Jumat. Allah Swt sendiri memerintahkan setiap orang beriman untuk bertakwa sebagaimana dalam surat al-Ahzab ayat 7:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.”

Kemudian, apa maksud dari makna takwa itu sendiri?  Menurut Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam kitab Rawa’iut Tafsir karangan Ibnu Rajal al-Hambali, beliau mengatakan:

ليس تقوى الله بصيام النهار، ولا بقيام الليل، والتخليط فيما بين ذلك، ولكن تقوى الله ترك ما حرم الله، وأداء ما افترض الله، فمن رزق بعد ذلك خيرا، فهو خير إلى خير

“Takwa kepada Allah itu bukan lah puasa di siang hari dan qiyamul lail dan hal-hal yang seperti  itu. Akan tetapi takwa kepada Allah adalah meninggalkan perkara yang diharamkan oleh Allah dan melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Allah. Maka barang siapa yang mendapatkan rezeki setelah melakukan hal tersebut, maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan yang lain”. 

Dalam redaksi penjelasan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, beliau lebih mendahulukan meninggalkan apa yang dilarang daripada apa yang diperintahkan. Karena menjauhi larangan Allah Swt itu lebih berat daripada menjalankan perintahnya, meskipun pada hakikatnya keduanya sama-sama melaksanakan apa yang difirmankan oleh Allah Swt.

Baca juga:  Abu Hurairah: Menjomblo karena Fokus Menemani Nabi

Sedangkan keimanan seseorang itu tidak lah bisa selalu stabil, pasti adakalanya pasang surut dalam menjalankan ketakwaan. Seperti apa yang dikatakan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dalam kitab al-Ibanah bahwa iman (ketakwaan seseorang) itu berupa ucapan dan tindakan,  (adakalanya) bisa bertambah dan berkurang.

Untuk itu, tidak sepatutnya bagi seseorang untuk menjelek-jelekan muslim ketika telah melakukan maksiat. Perbuatan maksiat atau kesalahan itu memang wajib dihindari dan dibenci, tetapi tidak dengan orangnya. Karena hanya para nabi dan rasul Allah Swt-lah yang maksum atau terbebas dari maksiat.

Rasulullah saw pun melarang seorang muslim melaknat muslim yang lain karena berbuat maksiat. Dikisahkan dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin bahwa terdapat seorang sahabat yang bernama Nu’aiman, sahabat ini terkadang datang kepada Rasulullah saw dan beliau langsung menghukum perbuatan maskiat yang telah dilakukan Nu’aiman tadi.

Nu’aiman ini merupakan seorang sahabat yang unik, bisa dikatakan bahwa dia merupakan sahabat yang paling konyol. Diceritakan dalam kitab Tarikh Madinah Dimasyq karangan Imam Abul Qasim Ali asy-Syafi’i, suatu waktu Nu’aiman memberikan hadiah berupa minuman kepada Rasulullah saw yang dia beli sebelumnya. Rasulullah saw dan sahabat yang lain pun menikmati pemberian hadiah tersebut.

Setelah minumannya habis, datanglah penjual minuman tersebut untuk menagih uangnya karena belum dibayar. Rasulullah pun kaget, karena tiba-tiba ditagih oleh penjual tadi.

Baca juga:  Metafora Ramadan dalam Surat Yusuf

“Bukankah engkau memberikan hadiah ini kepada aku?” tanya Rasulullah saw kepada Nu’aiman.

“Wahai Rasulullah, sungguh tidak ada uang yang aku miliki, dan sungguh aku sangat ingin engkau menikmati hadiah dariku?”, jawab Nu’aiman.

Mendengar jawaban dari Nu’aiman, Rasulullah saw tidak marah. Akan tetapi malah tertawa. Kemudain beliau meminta kepada sahabat lain untuk iuran membayar kepada penjual tadi.

Kemudian di lain waktu, dia datang kepada Rasulullah saw dan dia dihukum lagi dengan cambukan karena melakukan perbuatan maksiat. Kemudian ada sahabat lain yang terheran dengan Nu’aiman, karena sering melihat kejadian Nu’aiman datang kepada Rasulullah saw, lalu dia dihukum karena telah berbuat maksiat. Karena sahabat tadi merasa kesal kepada Nu’aiman, kemudian dia melaknat Nu’aiman.

Mendengar perkataan orang tersebut, Rasulullah saw malah marah,

لا تلعنه فإنه يحب الله ورسوله

“Janganlah kau melaknat dia, karena sesungguhnya dia mencitai Allah dan utusan-Nya”.

Ada komentar menarik dari Imam al-Ghazali dari kejadian diatas. Beliau mengatakan bahwa meskipun Nu’aiman melakukan maksiat, tapi bukan berarti cintanya dia kepada Allah dan utusan-Nya akan hilang. Memang betul cinta dia belum mencapai level sempurna, akan tetapi tidak akan sampai menghilangkan cintanya Nu’aiman.

وقد قال بعض العارفين : إذا كان الإيمان في ظاهر القلب أحب الله تعالى حباً متوسطاً، فإذا دخل سويداء القلب أحبه الحب البالغ

Baca juga:  Sabilus Salikin (102): Tata Cara Zikir Tarekat Histiyah (4)

“Sebagian orang ahli ma’rifat berkata: ketika iman masih berada di luar hati, maka Allah mencintainya dalam kadar yang sedang. Maka ketika imannya sudah masuk ke dalam relung hati, Allah akan mencintainya dengan cinta yang lebih”.

Selain itu, Imam al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah juga berkata bahwa seseorang tidak boleh merasa lebih baik dari orang lain.

 فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك

“Keyakinanmu bahwa engkau lebih baik dari yang lain merupkan murni kebodohan. Sudah sepatutnya engkau tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik dari engkau dan memiliki keutamaan di atas engkau.”

Dari pelajaran kisah diatas, seorang muslim harus menghindari untuk mengolok-olok muslim lain yang bermaksiat. Perbuatannya harus dibenci, akan tetapi orangnya tidak boleh dibenci apalagi dilaknat. Karena hanya Allah Swt lah yang tahu kapan hidayah akan datang kepada seseorang. Bahkan bisa saja ketika orang tersebut sudah murni bertaubat, dia bisa lebih baik daripada orang lain yang mengolok-oloknya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top