Beberapa hari lalu beredar video Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar yang menyatakan bahwa 18 orang di negeri ini menguasai 82 % aset bangsa Indonesia. Video yang berasal dari acara Halaqah dan Muskerwil PWNU Sumatera Utara di Medan, 29-31 Agustus 2023, itu menarik. Mengapa?
Sebab, kiranya baru sekarang pemimpin puncak NU, berbicara tema tersebut. Jika dimaknai secara komprehensif, maka itu seharusnya bisa menjadi momentum untuk memahami posisi tidak hanya NU, tetapi juga bahkan agama-agama, dalam konstelasi ekonomi-politik.
Selama ini, terutama dalam tiga dekade terakhir, posisi NU dan agama-agama selalu ditempatkan dalam perbincangan tentang ancaman disintegrasi kultural masyarakat kontemporer. Selepas era Perang Dingin di tingkat global dan khususnya lagi setelah berakhirnya era kekuasaan Soeharto di Indonesia, perbedaan kultural muncul sebagai problematik utama. Berbagai konflik dan bahkan peperangan berdarah selalu dicari penyebabnya dalam kubangan problematik itu. Karenanya, para tokoh agama diminta untuk berperan sebagai juru damai. Terlebih lagi NU, entah sudah berapa banyak agenda yang dijalankan oleh beragam pihak dengan menyertakan keterlibatan organisasi Muslim terbesar di dunia ini untuk mengatasi ancaman disintegrasi tersebut.
Tidak heran, akibatnya, NU dan agama-agama ditempatkan hanya di pojok untuk mengurusi toleransi antar dan interkultural. Kalau ada kerusuhan, para tokoh-tokoh Islam dan agama lainnya dipanggil untuk meredam ketegangan. Entah sudah berapa banyak anggaran dikeluarkan untuk membiayai agenda seperti ini.
Akan tetapi, para tokoh agama terlihat menikmati peran-peran barunya. Selain diundang sana sini, mendapatkan panggung sana sini, mereka semakin menemukan signifikansi dari identitasnya melebihi dari apa yang mungkin bisa dibayangkan di masa lalu. Lebih dari sekadar menyelenggarakan pengajian keagamaan, sekarang mereka merasa telah masuk lebih ke tengah gelanggang. Dalam kontestasi elektoral hari ini, misalnya, kekuatan politik mana yang bisa meninggalkan NU di belakang?
Kembali ke video Rais Aam PBNU di Medan. Pertanyaannya, “Apa yang telah dilakukan oleh NU sendiri untuk menjawab kondisi ketika 18 orang di negeri ini menguasai 82 % aset bangsa Indonesia? Sudah adakah semacam kerangka kerja untuk mengatasi itu? Apakah, misalnya, pemahaman mengenai Aswaja yang selama ini disuarakan oleh NU menyentuh problematik tersebut?”
Kenyataannya, isu ketimpangan sosial hanya dibicarakan secara lamat-lamat seolah hal itu merupakan keniscayaan. Ketika Kiai Miftachul Akhyar mengatakan bahwa umat Islam dan khususnya lagi NU adalah “mustadh’afin” dalam praktik ekonomi-politik, belum ada analisis memadai yang tersebar di tengah umat untuk menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Dalam kegiatan pengkaderan NU, sebagai contoh, tidak ada meteri tentang kapitalisme neoliberal atau oligarki dan dampaknya terhadap pesantren. Kegelisahan mengenai 9 Naga yang berkembang menjadi 18 Naga, akibatnya, menjadi sekadar alasan untuk meyakini adakanya suatu konspirasi yang membahayakan.
Oleh karena itu, kenyataan bahwa warga NU adalah “mustadh’afin” tidak berbuah langkah-langkah strategis kecuali menghasilkan logika jatah belaka: karena NU besar, maka seharusnya mendapatkan “kue” yang juga besar. Logika jatah seperti ini tidak akan menyelesaikan permasalahan, tetapi malah sering digunakan oleh segelintir orang untuk mengadakan transaksi pribadi. Populasi warga NU yang sangat besar akhirnya menjadi sekadar “aset” seperti 18 orang di negeri ini menguasasi 82 % “aset”. Karena sama-sama dianggap aset, ujung-ujungnya adalah kegiatan barter dan tukar-guling di antara segelintir orang tersebut.
Kalau kita menengok sejarah, apa yang diperankan oleh Gus Dur di akhir masa Orde Baru seharusnya bisa dihidupkan. Lebih dari sekadar bapak toleransi, saat itu Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU adalah oposan terbesar Soeharto yang kritis terhadap otoritarianisme dan sektarianisme. Sayang sekali episode ini kurang dielaborasi dan dikontekstualisasi. Sikap keras Gus Dur terhadap kelompok Islam politik saat itu bukan karena mereka mempunyai ideologi keagamaan yang berbeda, yang sekarang dibingkai dengan “konservatisme” dan “radikalisme”, melainkan karena mereka mau dijadikan instrumen kekuasaan yang otoriter. Dengan kata lain, bagi Gus Dur, persoalan toleransi tidak terpisah dari problematik ekonomi-politik.
Tafsir yang berkembang saat ini mereduksi seakan-akan Gus Dur membenci kelompok Islam politik karena identitasnya. Konteks yang melatarbelakangi sikap Gus Dur jarang diungkap dan direproduksi. Yang dikritik oleh Gus Dur adalah politisasi agama oleh Soeharto yang melibatkan eksponen Islam politik, bukan Islam politiknya. Gus Dur paham kelompok Islam politik di Indonesia adalah kekuatan yang di masa sebelumnya dilemahkan—mustadh’afin—tetapi lalu dikuatkan oleh Soeharto demi melanggengkan kekuasaannya.
Dalam hal ini, sebagai penutup, penting kiranya membedakan antara negara dan pemerintah. Sekali lagi balik ke video Kiai Miftachul Akhyar yang menyebut bahwa “NU tidak pernah berontak, NU tidak pernah menurunkan pemimpin di tengah jalan”, kiranya produktif jika itu dimakna dalam konteks kenegaraan, bukan pemerintahan. Negara adalah normativitas yang mesti dijaga, sementara pemerintah adalah aktualitas kekuasaan yang sangat dinamis. Kalau dua entitas ini tidak dibedakan, meski sulit dipisahkan, maka NU akan kesulitan merespons masalah 18 orang yang menguasai 82 % aset bangsa Indonesia. Jika komitmen kenegaraan NU diterjemahkan hanya menjadi “NU tidak akan jauh-jauh dari Jokowi”, maka NU sekadar memberikan–istilah Kiai Miftachul Akhyar–”barokah yang belum menetes” bagi sebagian besar warga bangsa ini.