Pada abad XXI, orang-orang memilih mencipta zaman gamblang. Segala hal gampang diucapkan atau dituliskan dengan kata-kata gamblang makna. Tugas bahasa memang lekas ingin sampai ke mengerti dimufakati bersama.
Bahasa bergerak lamban tak pantas di tata cara keterhubungan teknologis. Di depan mata, kata-kata itu menderas dan membadai. Sekian kata dijauhkan dari kamus-kamus. Pengertian telah ada di hitungan detik, bukan menunggu gerak tangan membuka lembaran-lembaran kamus atau mata terpejam sejenak untuk menempatkan kata di pikiran dan perasaan.
Pada 1938, terbit Baoesastra Djawa-Arab susunan M Amirchamzah Azzadi. Kamus itu terbitan Toko Kitab Al Wathonijah, Solo. Di halaman pengantar, Amirchamzah menulis:
“Boten sanes moegi-moegi qomoes poenika migoenani dateng para kawoelanipoen Goesti Allah, lan moegi angsala piwales ingkang tikel-tikel sahenipoen saking Goesti Allah wiwit ing donja doemoegi ning acherat. Amin.”
Faedah kamus diinginkan bertaut dengan kemauan manusia berbahasa dan beragama. Tata cara beragama Islam di Jawa memerlukan kata-kata memiliki sekian pengertian. Kata-kata demi iman dan pendakwahan.
Amirchamzah berharap kamus itu memberi petunjuk dalam penggunaan kata dan pengertian. Persembahan kamus ke pembaca di Jawa mengandung misi mendapat pahalan dari Allah. Kata-kata pun menjadi penentu beragama.
Di Jawa, kata-kata lazim digunakan dalam gubahan puisi atau tembang. Para pujangga menjadikan sastra bermisi piwulang atau menaburkan nasihat-ajaran. Kata-kata tak terbiarkan tersaji gamblang. Kesanggupan menata kata dan merekahkan makna menjadikan puisi atau tembang berterima ke publik.
Sekian orang menerima sebagai dakwah. Sekian menginginkan itu pengungkapan batin sampai ke menguak makna hidup bersandarkan religiositas dan estetika. Warisan-warisan sastra gubahan Paku Buwono IX, Mangkunagoro IV, Yasadipura I, dan Yasadipura II masih bisa terbaca sampai sekarang. Gubahan sastra mendakwahkan Islam dalam latar zaman terus berubah.
Kata-kata di gubahan sastra jarang mengajarkan sikap kolot, keras, dan kasar. Kelembutan, keindahan, dan keluwesan tata kata memungkinkan pembaca mengerti rekah tafsir. Sastra itu referensi untuk bersikap dan mendakwahkan kebenaran dengan tenggang rasa, keterbukaan, dan kesantunan.
Peka kata milik orang-orang tekun menempuhi jalan panjang pemaknaan. Mahir di permainan makna itu konsekuensi pilihan kata menembus atau melampaui kegamblangan. Kata dituliskan tanpa sembrono atau ceroboh. Kata tak diliarkan membuat gemuruh perseteruan atau kemarahan parah.
Sejak ratusan tahun silam, pendakwahan Islam di Nusantara memerlukan penggerakan kata-kata. Di teks-teks sastra dalam pelbagai bahasa etnis, Islam dituliskan dengan kata-kata menuntun ke cerita-cerita dan pengajaran berlimpahan renungan. Kata-kata jarang dikencangkan menjadi sejenis hasutan, fitnah, atau pembakaran amarah. Kehadiran gubahan-gubahan sastra berbarengan pembuatan kamus-kamus “merumahkan” keberlimpahan pengertian. Di kamus-kamus, keinginan orang mendalami agama berpatokan keinsafan, ketakjuban, dan kepasrahan. Di hadapan kamus-kamus, sanggahan mungkin berlaku tapi kemauan memaknai diri dan agama berlangsung dengan permenungan.
Teks-teks atau bacaan tasawuf pun menginginkan orang berbudi bahasa ketimbang mengumbar kata-kata berisiko ribut, kisruh, bentrok, benci, dan dendam. Kita membuka lagi buku lawas, berusia melebihi seabad. Buku pernah menjadi bacaan umat Islam di tanah jajahan. Buku itu berjudul Tasaoef Dalam Agama Islam: Soerat-Soerat Seorang Goeroe Soefi Jaitoe Sjeich Sjarafoeddin Maneri.
Buku itu tersalin dalam bahasa Indonesia oleh Agoes Salim. Penerbit buku adalah Perhimpoenan Widya Poestaka, Buitenzorg-Java, 1916.
Budi bahasa diterangkan menjadi perkaran besar bagi umat Islam agar terhindar dari “kebinasaan iman” dan “djamn hoekoeman”. Boedi bahasa mengarah ke penggunaan segala kata berpijak ke batin.
Dua buku pernah terbit di masa lalu itu ingatan pada kesadaran bahasa. Urusan percakapan, orasi politik, wejangan, dan khotbah memerlukan kemahiran kata menguak makna. Kata-kata terpelajari dengan keseriusan dan ketekunan. Dakwah ibarat semaian kata-kata menggerakkan makna-makna termiliki bersama.
Segala kata diperoleh dari bahasa Sanskerta, Jawa, Arab, Belanda, Inggris, Prancis, atau Jerman memberi pilihan-pilihan memberi ucapan dan tulisan dalam situasi hidup beragam di Indonesia. Bahasa bergerak bersama keinginan beragama dan mengisahkan hidup bersama di negeri mengalami kolonial dan turut di zaman “kemadjoean.”
Berpisah jauh dari masa lalu memiliki kerja kata dengan dakwah dan buku-buku, kita berada dalam badai kata. Orang-orang melakukan produksi kata di kegamanan ucapan dan tulisan tapi berpamrih meminta perhatian atau mengobarkan seribu tanggapan. Kata-kata tergunakan jarang memiliki acuan ke kamus-kamus atau bacaan mengajak ke renungan pengertian dan pengaruh sampingan ke politik, sosial, pendidikan, keluarga, dan kultural.
Kini, beragama dengan penggunaan bahasa Indonesia justru menggampangkan peluapan curiga dan permusuhan saat ada kesengajaan menata kata secara sembrono. Kata-kata itu biasa ditampilkan di saluran-saluran komunikasi kolosal.
Serbuan kata berdalih agama lekas beredar atau mengalami penggandaan tanpa sempat terbaca di keheningan dan kebeningan pikiran-perasaan. Sekian produksi kata sering pertalian agama dan politik.
Dampak perdebatan besar dan menghebohkan terlalu diharapkan menjadi menu keseharian. Budi bahasa tertinggal di buku-buku lawas dan kamu tak lagi terbuka. Bahasa diperangkap di kepengapan dan gemuruh rebutan pengaruh di media sosial.
Orang-orang mungkin sudah lama bercerai dari puisi. Dulu, berpuisi mengartikan kemahiran kata menghasilkan segala maksud: dari nasihat bijak sampai kejenakaan.
Kini, puisi tak terlalu diinginkan jika gamblang adalah “keharusan”. Kita mending berhenti sejenak ke puisi saat bada kata melulu menghasilkan perseteruan.
Pada 2015, terbit buku berjudul Melipat Jarak, berisi puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono. Di puisi berjudul “Kata, 2”, kita berhak merenung tentang kata selama 30 menit saat peredaran segala kata tak pernah berhenti di media sosial.
Sapardi Djoko Damoni menulis:
“Ada sepatah kata bergerak ke sana ke mari jauh dalam/ dirimu; biarkan saja, ia tak punya bahasa.”/ Tapi ia suka membangunkanku./ “Biarkan saja. Ia toh akhirnya akan menyadari bahwa bukan/ yang kaucari, dan akan mengembara lagi jauh dalam/ dirimu jika kau terjaga dan tenang kembali.”/ Tapi aku tak bisa lagi terjaga.
Puisi terlambat kita baca di zaman kegamblangan. Begitu.