Amin Nurhakim
Penulis Kolom

Mahasantri di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Tangerang Selatan. Peserta program Micro Credential (2024) Chicago, Amerika Serikat, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Chicago selama dua bulan.

Kaidah Al-Itsar dan Nasihat Gus Dur

“Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang. Orang tidak akan pernah tanya apa agamamu,” (Gus Dur)

Ada sebuah kaidah fikih yang berbunyi, al-itsaru bil qurabi makruhun, mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah hukumnya makruh. Kaidah ini masuk ke dalam kaidah ‘aglabiyyah’ dalam kumpulan kaidah fikih. Sebagaimana masyhurnya, kaidah fikih terbagi kepada tiga golongan; kulliyyah, aghlabiyyah, dan mukhtalaf.

Kata itsar, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Yasin al-Fadaniulama asal Padang yang masyhur dengan sebutan “Musnid ad-Dunya”adalah mendahulukan orang lain daripada diri sendiri, dan kata qurab adalah jamak dari qurbah, yaitu segala sesuatu berupa kewajiban dan kesunnahan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Ada sebagian ulama yang berpendapat, makna qurab adalah ibadah secara umum. (Syaikh Yasin al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah Hasyiyah al-Mawahib as-Saniyyah, Dar el-Rasyid, juz 2, halaman 95)

Hukum mendahulukan orang lain dalam hal ibadah sendiri adalah makruh. Adapun dalam hal selain ibadah, maka hukumnya sunnah. Kaidah ini didasarkan pada ayat 9 surat al-Hasyr:

وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ

Baca juga:  Kisah Gus Dur Ajak Kiai Naik Pesawat

wa yu`ṡirụna ‘alā anfusihim walau kāna bihim khaāṣah, wa may yụqa syuḥḥa nafsihī fa ulā`ika humul-mufliḥụn

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.

Pada hal ibadah, contoh itsar yaitu apabila seseorang memiliki air wudu yang hanya cukup untuk dirinya saja, maka ia tidak diperkenankan memberikan air itu pada orang lain, agar orang lain bisa berwudu sementara dirinya tayamum.

Namun, kaidah al-itsar memiliki banyak furu’ atau cabang. Tidak hanya berimbas pada kemakruhan dan keharaman. Adakalanya kita wajib, mubah, ataupun sunnah dalam perihal mendahulukan kepentingan orang lain atas diri sendiri.

Contoh kecil al-itsar yang berimplementasi menjadi suatu hal yang wajib yaitu memberi minum orang haus, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abdullah bin Sulaiman al-Jarhazi dalam syarah Nadzam al-Faraidh al-Bahiyyah.

Ada hal penting yang kita temukan dalam penjelasan Syaikh Yasin al-Fadani terkait memberi minum orang lain yang kehausan.

Beliau berkata:

قوله (إيثار العطشان): أي بالماء وكان هذا العطشان مضطرا معصوما، سواء كان مسلما أو ذميا أو معاهدا، فإنّه يلزم على واجده غير المضطر له.

Baca juga:  Mencuri Buku Milik Gus Dur

Perkataan Mushannif, (Mendahulukan orang yang kehausan): Yaitu dengan air, dan orang yang kehausan ini adalah orang yang kesulitan dan dilindungi. Sama saja, entah ia Muslim, kafir dzimmi, atau kafir mu’ahad, wajib itsar atas orang yang menemukan air dan ia tidak sedang membutuhkannya.

Jika teringat nasihat Gus Dur, betapa pentingnya pertolongan dan perbuatan baik kita kepada orang lain dengan tanpa memandang apa status sosialnya, agamanya, sukunya dll. Pandangan yang universal ini perlu kita teladani, mengingat bahwasannya persaudaraan ada tiga macam. Saudara semuslim, sebangsa, dan semanusia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top