Dalam suasana tegang dan serius pun Gus Dur tak kehilangan seleranya untuk bercanda. Kali ini berkaitan dengan isu yang pernah ia lontarkan pada akhir 1997 tentang adanya “Operasi Naga Hijau”.
Waktu itu Situbondo dan Tasikmalaya baru saja dilanda kerusuhan, yang sebagian juga bernuansa rasial. Siapa pun tahu, kedua daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat itu merupakan kantong NU. Maka, dia sebagai Ketua Umum PBNU “melempar” bahwa kerusuhan-kerusuhan itu memang sengaja diciptakan untuk merusak citra NU dan dirinya.
Menurut Gus Dur, operasi-operasi yang dilancarkan guna menyulut kerusuhan-kerusuhan itu dinamakan “Operasi Naga Hijau”. Dalam konteks percaturan politik Indonesia, “hijau” bisa bermakna dua: ABRI (TNI) dan Islam. Bahkan dalam konteks “Operasi Naga Hijau”, istilah itu mungkin juga menunjuk pandangan pihak militer terhadap apa yang mereka anggap sebagai golongan ekstrem Islam (hijau).
Jadi logikanya, NU dipandang sebagai bagian dari “Islam ekstrem”, dan karena itu perlu dikikis, antara lain dengan “Operasi Naga Hijau”. Tapi, siapakah yang dimaksud Gus Dur sendiri dengan hijau dalam “Operasi Naga Hijau” itu?
Seperti biasa, tidak ia jelaskan –untuk alasan yang bisa dimengerti, mengingat sensitifnya tuduhan itu, apalagi Orde Baru masih sangat kokoh.
Pihak militer merasa tersindir. Organisasi Islam seperti ICMI dan sejumlah tokohnya, seperti Adi Sasono, pun merasa tak enak hati. Apalagi, menurut berita pers, di sejumlah daerah Gus Dur sampai menyebut ES. Siapakah ES itu?
Orang menduga-duga, boleh jadi ES itu adalah (Jenderal) Edi Sudrajat. Bukan mustahil pula, kata sebagian wartawan, ES adalah Eggi Sudjana, yang kemudian merasa perlu minta klarifikasi dari Gus Dur.
Gus Dur sendiri kemudian memberikan jawaban yang benar-benar tak terduga. ES itu, katanya, adalah “Eyang Soeharto”.
Nah, dalam suasana seperti itu, Gus Dur menghadiri pertemuan yang diadakan GMNI di hotel Sahid Jakarta. Di antara yang hadir tampak Megawati Soekarnoputri, Siswono Yudohusodo, dan Sukamdani Sahid Gitosarjono. Pertemuan itu sendiri sama sekali tidak ada hubungannya dengan soal kerusuhan maupun dengan tudingan-tudingannya. Kebetulan lengan kanannya mengalami cidera, sehingga harus disangga oleh penyangga kain putih yang disangkutkan ke leher dan pundaknya.
Tiba giliran Gus Dur menyampaikan sambutan, dia maju dan menyatakan pentingnya pertemuan itu. “Makanya saya memerlukan hadir di forum ini, meskipun kesehatan saya kurang mengizinkan,” kata Gus Dur mengawali pidato.
“Sekaligus saya minta maaf karena harus hadir dalam keadaan cidera begini… Ini akibat digigit naga hijau… Kalau Mba Mega, dia sudah sembut setelah digigit naga merah.. (peristiwa 27 Juli 1996),” lanjut Gus Dur. Semua hadirin tertawa penuh makna.
(Sumber: Ger-Geran Bersama Gus Dur, Penyunting Hamid Basyaib dan Fajar W. Hermawan, Pustaka Alvabet, 2010)