Dalam Islam, termasuk pelanggaran syariat yang mendapat hukuman rajam adalah orang yang berzina sedangkan statusnya muhsan (telah menikah dengan akad sah). Memang aturan ini tidak disebutkan dalam Alquran, namun ada beberapa hadis, baik qauli (ucapan) maupun fi’li (tindakan) yang menyatakan adanya hukum di atas.
Kanjeng Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Utusan Allah, kecuali salah satu dari tiga orang: janda yang berzina, pembunuh orang dan orang yang meninggalkan agamanya berpisah dari jama’ah.” HR. Bukhari-Muslim
Sedangkan hadis fi’li maka, pada zaman Nabi terdapat beberapa orang yang mendapatkan hukuman rajam. Kebanyakan mereka datang kepada beliau dan meminta ditegakkan hukum Allah atas kesalahan yang mereka terjang. Memang, dalam undang-undang Islam, seseorang yang melapor atas perbuatan zina orang lain dibutuhkan syarat yang sangat berat, di antaranya dibutuhkan empat saksi, melihat mata kepala sendiri seperti melihat timba masuk ke sumur, dan saat melihat hanya untuk menjadi saksi. Dengan syarat-syarat ini, maka kebanyakan had zina muhsan diterapkan atas dasar iqrar atau pengakuan dari sang pelaku.
Orang yang pertama mendapat rajam adalah Ma’iz bin Malik. Kisah Ma’iz dimuat dalam beberapa kitab hadis dalam bab hudud, di antaranya hadis (3561) dalam kitab Mirqah al-Mafatih. Diceritakan, Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Ma’iz datang kepada Rasulullah (mengaku zina).
Rasulullah berkata padanya, “Barang kali kamu hanya menciumnya, atau hanya menyentuhnya, atau hanya melihatnya?”
Ma’iz berkata, “Tidak,”
Rasul berkata, “Kamu telah menjimaknya?”
Ma’iz berkata, “Iya, wahai Rasul.”
Syekh Ali bin Muhammad Sultan al-Qari meneruskan (dalam syarahnya) hadis di atas dengan menukil perkataan Imam Himam, bahwa Abu Daud, Al-Nasai dan Abdur Razaq meriwayatkan:
Nabi sampai empat kali berusaha menolak pengakuan Ma’iz. Baru kedatangan yang kelima beliau menerimanya.
“Kamu telah menyetubuhinya?” Tanya rasul.
“Iya.”
“Sampai sesuatu (kemaluan) darimu masuk ke sesuatu (kemaluan) miliknya?”
“Iya.”
“Seperti masuknya jarum ke tempat celak, atau timba ke sumur?”
“Iya.”
“Apakah kamu tahu apa itu zina?”
“Iya. Yakni aku bersetubuh dengannya (perempuan) yang haram seperti bersetubuh dengan perempuan halal.”
“Lantas apakah yang kamu inginkan dari ucapanmu ini?”
“Aku ingin Engkau membersihkanku (menerapkan hukum Allah).”
Maka Rasul memerintahkan dia dirajam. Setelah itu, beliau mendengar dua orang sedang bercakap. “Lihatlah orang yang aibnya telah ditutup Allah, namun dia tidak membiarkan dirinya kecuali dirajam layaknya anjing.”
Sementara waktu, Kanjeng Nabi hanya diam. Namun, beberapa saat setelah melewati bangkai khimar, beliau berkata, “Di mana fulan dan fulan?”
Mereka berkata, “Kami di sini, wahai Rasul.”
Beliau berkata, “Turunlah, makanlah bangkai khimar ini.”
Mereka berkata, “Siapakah yang bisa memakan bangkai ini, wahai Rasul?”
Beliau berkata, “Apa yang kalian peroleh karena (merusak) kehormatan teman kalian itu lebih busuk dari pada khimar ini. Demi Dzat yang nyawaku ada di genggaman-Nya, bahwa sesungguhnya dia (Ma’iz) sekarang sedang di sungai-sungai surga, menyelam di dalamnya.”
Dalam hadis setelahnya (3562) terdapat riwayat lain yang diceritakan Buraidah:
Ma’iz datang kepada Baginda Nabi. Dia berkata, “Wahai Rasul, bersihkanlah diriku.” Nabi berkata, “Celaka kamu, kembalilah, beristighfarlah dan bertaubat kepada Allah!”
Tidak lama kemudian Ma’iz kembali, dia mendatangi Rasul, “Wahai Rasulullah, bersihkanlah diriku!”. Nabi pun menjawab dengan ucapan yang sama.
Sampai empat kali kejadian itu terulang. Untuk ke lima kali kedatangan hamba sahaya ini, Nabi berkata, “Dalam masalah apa aku menegakkan had kepadamu?”
Ma’iz berkata, “Dari zina.”
Rasululah bertanya, “Apakah dia gila?”
Ada yang berkata kepada beliau bahwa dia tidak sedang gila. Rasul berkata, “Apakah dia meminum khamr?”
Sahabat mencium mulutnya dan tidak mendapati bau khamr. Beliau pun bertanya kepada Ma’iz, “Apakah kamu telah berzina?”
Ma’iz menjawab, “Iya.”
Maka, Rasulullah memerintahkan agar Ma’iz dirajam. Setelah dua atau tiga hari, beliau berkata, “Bacakanlah istighfar untuk Ma’iz bin Malik, sungguh dia benar-benar bertaubat dengan taubat yang seandainya dibagi pada umat ini maka masih mencukupinya.” Dalam kelanjutan hadis ini diceritakan kemudian ada perempuan dari Ghamid juga meminta dihad atas perbuatan zinanya.
Demikian kisah sahabat terdahulu yang mengakui kesalahannya. Dia ngotot ingin Kanjeng Nabi menindak kesalahan yang diperbuatnya, meskipun Kanjeng Nabi Muhammad berulang kali berusaha menolak atau menyakinkannya. Padahal sebagai Nabi, beliau pasti sudah tahu perbuatan dosa yang dilakukan oleh sahabat. Namun Rasulullah tidak gegabah menghukum seseorang. Kanjeng Nabi ingin Ma’iz banyak beristighfar dan bertaubat kepada Allah. (RM)