Tragedi menggemparkan sejarah terjadi. Terdengar kabar, Sayyidina Ali karrama Allah wajhah, sepupu sekaligus menantu Kanjeng Nabi ditebas hingga tewas. Pelakunya adalah Abdur Rahman bin Muljam. Sebagian sumber menyebut, pembunuhan sadis itu dilatarbelakangi motif keagamaan. Sebagian lain mengatakan, perbuatan laknat itu adalah puncak konflik kekuasan. Sementara menurut versi lain, terbunuhnya sang “Gerbang Pengetahuan” itu justru sarat motif asmara.
Untuk peristiwa berdarah itu, sebuah syair digubah:
“Tak pernah kutahu ada mahar yang diserahkan oleh orang yang mulia, seperti maharnya Qatham yang begitu mencolok.
Tiga ribu dinar, sepasang budak laki-laki-perempuan, dan terbunuhnya Sayyidina Ali oleh pedang yang teramat tajam.
Maka semahal-mahalnya mahar tiada yang lebih mahal dari pada Ali, tiada penghabisan yang lebih sadis ketimbang yang dilakukan oleh Ibn Muljam.”
Mula-mula, Abdur Rahman bin Muljam, tersangka pembunuhan itu, bertemu pandang dengan seorang perempuan. Qatham namanya. Parasnya sangat cantik jelita. Tak pelak, Ibn Muljam dibuat gandrung seketika, terpikat oleh kecantikannya.
Secara pandangan keagamaan, Qatham adalah bagian dari kelompok Khawarij. Sejarah mencatat, pada masa itu, tepatnya pada hari yang dikenal dengan Hari Nahrawan, sejumlah kaumnya dibantai gara-gara mereka berpandangan demikian. Qatham yang jelita terbilang perempuan yang selamat dari pembantaian itu.
Ibn Muljam tergila-gila pada perempuan ini sejak pandangan pertama. Maka demi menggenapkan perasaannya, Ibn Muljam pun melamar perempuan Khawarij itu. Dan tepat ketika ia mengutarakan maksudnya di hadapan Qatham, perempuan itu mengajukan mahar di luar nalar. Tak tanggung-tanggung, ia mensyaratkan nyawa Sayyidina Ali sebagai salah satu mahar.
“Aku tak akan menikah denganmu kecuali engkau menyerahkan tiga ribu dinar dan terbunuhnya Ali putra Abu Thalib sebagai mahar.” Demikian syarat yang diminta Qatham kepada Ibn Muljam. Ibn Muljam yang sangat berhasarat menikahi perempuan itu segera mengangguk. Tak berselang lama, keduanya pun menikah, dengan mahar berdarah.
Malam pertama sepasang pengantin baru berlalu. Qatham menagih mahar pernikahan kepada suaminya. “Hajatmu sudah kelar, maka lekaslah kaulunasi maharmu.” Begitulah Qatham mendesak Ibn Muljam. Maka atas nama mahar cintanya kepada Qatham, Ibn Muljam segera keluar berselempang pedang.
Kala itu Sayyidina Ali tengah menyeru orang-orang untuk salat. Ibn Muljam membuntuti putra Abu Thalib. Dalam satu tarikan nafas, Ibn Muljam suami Qatham menebas kepala khalifah keempat itu dari belakang. Darah mengucur seiring nyawa Sayyidina Ali melayang, dihabisi dengan kejam oleh seorang Ibn Muljam, budak cinta Qatham.
Mahal sekali Ibn Muljam membayar mahar untuk Qatham, perempuan yang dicintanya. Tapi barangkali itu hanya bagi kita. Tetapi tidak bagi Ibn Muljam sendiri. Baginya yang sedang kasmaran, cintanya kepada perempuan itu masih lebih berharga dari pada nyawa Ali. Dan titah pembunuhan itu bukan lagi sebuah perintah yang keji. Di sinilah pandangan Aristoteles bahwa “cinta adalah butanya indra sehingga seseorang tak dapat lagi melihat aib pada kekasihnya” dapat dibenarkan. Maka enteng saja ia mempersembahkan kematian sang khalifah sebagai mahar. Betapa karib cinta dan maut!
Di belahan bumi lain, seorang anak gadis tega membunuh ayah kandungnya sendiri, juga gara-gara cinta. Muhammad bin Harb menuturkan kisah tentang seorang gadis bernama Raqasy. Bersamanya, seorang ayah begitu sayang padanya.
Syahdan, tibalah saat di mana seorang lelaki datang untuk mempersuntingnya. Hendak ulam, pucuk menjulai. Niat lelaki itu untuk melamar bersambut baik. Nampaknya, Raqasy juga merasa terpukau oleh pemuda tersebut. Gadis itu ketiban asmara. Ia mencintai lelaki yang melamarnya.
Sayangnya sayang, cinta mereka tak direstui ayah Raqasy. Sang ayah melarangnya keras untuk menikah dengan lelaki tambatan hatinya. Tapi apalah daya, cinta sudah dikandung badan, kadung menjalar dari mata, hati, hingga ke pikiran. Bahkan cinta terlanjur membuatnya kalap sekalap-kalapnya.
Cinta telah memegat habis hubungan luhur antara anak dan orang tua. Tak dipandangnya lagi ketulusan kasih seorang ayah serta jerih payahnya dalam mengasuh dan membesarkan gadis itu. Bagi Raqasy, ayahnya kini tak lain adalah sosok perintang utama dalam lajur asmaranya bersama seorang lelaki yang baru saja ia kenal namun sanggup membuatnya tak berkutik.
Maka laiknya batang pohon merintangi suatu perjalanan, alternatif paling ampuh adalah bersegera menyingkirkannya. Demikian yang dipilih Raqasy; menyingkirkan perintang yang tak lain adalah ayahnya sendiri, bahkan dari dunia ini untuk selama-lamanya.
Singkat kisah, diracunlah ayahnya tanpa segan, demi cinta dan mulusnya rencana perkawinan mereka. Ketika maut menjelang, ayah yang malang itu menyampaikan kalimat terakhirnya. “Wahai Raqasy, putriku, kau telah membunuhku demi lelaki yang baru kau kenal. Kelak akan kaurasakan susahnya hidup dalam penderitaan.” Sepeninggal ayahnya, Raqasy menikah dengan lelaki pilihannya.
Dan persis seperti perkataan ayahnya, kelak setelah menikah, ia seringkali menjadi korban kekerasan suaminya. Tapi ia tetap tak kuasa melepaskan diri dari jerat cinta. Ia pun sudah tak lagi memiliki sosok yang benar-benar mencintainya. Malangnya lagi, kini ia tak lagi punya ayah, yang barangkali adalah sosok laki-laki pertama dan satu-satunya yang mencintainya dengan tulus tanpa syarat, unconditional love.
Cinta kembali menorehkan kisah kelam. Sayyidina Ali ditumbalkan Ibn Muljam sebagai mahar pernikahannya. Ayah Raqasy tewas setelah diracun oleh Raqasy sendiri demi pernikahannya dengan seorang lelaki pilihan. Apalagi yang hendak direnggut asmara dari dunia ini? Sampai kapan asmara akan terus menuntut tumbal?