Tak berlebihan untuk menyebut islamofobia atau islamophobia sebagai ancaman terbesar yang dihadapi oleh Eropa mutakhir ini. Islamofobia bukan hal baru di Eropa. Gejala ini sejak lama sudah muncul, tapi belakangan ini kebencian makin terasa meningkat. Ini jika kita mendasarkan pada European Islamophobia Report (EIR). Islam dianggap tidak kompatibel dengan norma, tata nilai, dan kebudayaan Eropa. Gawat bukan?
Datangnya imigran muslim ke Eropa merupakan satu dari sekian masalah serius yang menyumbang meningkatnya islamofobia. Suka atau tidak, imigrasi membawa persoalan yang kompleks. Para imigran membawa serta tradisi dan kebudayaan asalnya ke Eropa. Eropa tidak siap menanggung beban itu. Beberapa media dan kelompok kanan menyebut, jika imigran muslim mau ke Eropa, mereka harus menyesuaikan diri dengan Eropa dan bukan sebaliknya.
Berbagai macam dialog telah digelar, tetapi tidak mampu mengubah pandangan Barat terhadap Islam. Mereka merasakan gesekan budaya itu tiap hari. Diperparah, di tempat lain, kekerasan demi kekerasan atas nama agama masih terjadi. Islam menjelma menjadi ideologi politik. Islam menjadi ancaman. Mereka meyakini irisan Islam dengan ekstrimisme dan kekerasan. Lengkaplah alasan untuk menolak Islam.
Islamofobia
Salah satu kelompok paling keras yang menolak Islam adalah Pegida. Pegida atau Patriotic Europeans Against the Islamisation of the West tumbuh di Jerman. Mereka menduga ada upaya sistematis dari pendakwah muslim untuk mengislamkan Eropa, dan berusaha mengganti nilai kebudayaan Eropa dengan Islam. Mereka memiliki ribuan simpatisan.
Pengaruh Pegida sampai ke Belanda. Beberapa hari lalu, mereka mengadakan aksi di dekat masjid Al-Fourqaan, di kota Eindhoven. Aksi mereka memancing reaksi dari umat Islam sehingga terjadi konfrontasi. Polisi setempat menangkap sejumlah orang. Pemimpin kelompok tersebut melapor, tetapi kemudian diamankan polisi. Aksi seperti ini akan terus dilanjutkan di beberapa kota. Kebencian terhadap Islam dan imigran muslim tetap terpelihara.
Beberapa waktu sebelumnya, di Leiden, kota dengan jumlah imigran muslim yang signifikan, juga terjadi aksi penolakan terhadap Islam. Sebuah sekolah dasar Islam IBS Er-Risèlèh digembok oleh kelompok ini. Mereka menempelkan gambar tengkorak dengan tulisan:
“Islam adalah penyebab dari serangan-serangan yang terjadi di Eropa. Kalian harus menyelesaikan masalah sampai akarnya. Itulah kenapa sekolah ini harus ditutup.”
Gerakan anti-Islam juga mendapat simpati di ranah politik. Partai populis sayap kanan menguat di Belanda. Kini, ancamannya tidak lagi Geertz Wilders dan PVV (Partij voor de Vrijheid). Partai baru bernama FvD (Forum voor Democratie) yang dipimpin oleh Thierry Baudet bangkit dengan perolehan kursi yang signifikan sejak masuk dalam bursa pemilihan. Partai ini mengusung populisme kanan, dengan upaya untuk memisahkan Belanda dari Uni Eropa dan pandangan anti-imigrasi dan anti-Islam.
Kebangkitan agama
Gerakan untuk membangung moderatisme Islam telah menjadi agenda global. 4 Februari 2019 lalu, dua tokoh pemimpin agama besar dunia, Paus Fransiskus dan Grand Imam Al-Azhar Syekh Ahmad el-Tayyeb bertemu di Abu Dhabi untuk mendeklarasikan “human fraternity document”.
Mereka menyepakati sebuah dokumen persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) dengan tujuan untuk mengakhiri ekstremisme dan radikalisme yang sudah menjadi problem akut di sejumlah pelosok bumi. PBB pun mencanangkan tahun 2019 ini sebagai tahun moderasi internasional (the international year of moderation) guna mengikis masalah global terkait agama dan kepercayaan.
Timothy Winters (Syaikh Abdul Hakim Murad), dekan Cambridge Muslim College, mengingatkan bahwa moderatisme adalah sesuatu yang kompleks. Tidak mudah untuk mendefinisikannya. Kita tidak bisa serta merta menyalahkan Islam, dalam pengertian norma ajarannya. Ini merupakan persoalan cara pandang dan sikap segelintir kelompok Islam yang mendistori penafsiran atas teks kitab suci sesuai dengan kepentingannya.
Radikalisme dan intoleransi muncul sebagai respons terhadap modernitas yang berkembang di Barat. Beberapa dekade lalu, para sarjana Barat memprediksi bahwa modernitas akan memberikan dampak yang buruk bagi agama. Agama akan kehilangan relevansi dan peran, sebaliknya sekularisme akan tumbuh subur.
Faktanya, ini tidak terbukti. Kita menyaksikan agama justru menjadi faktor penting dalam perkembangan sosial politik.
Di China, ajaran-ajaran kosmopolitan konfusianisme seperti tanggungjawab dan menghormati orang lain ditransformasi menjadi kekuatan penopang perkembangan ekonomi di sana. Di Indonesia kita melihat bagaimana politik identitas berbasis agama digunakan sebagai alat agitasi politik.
Alih-alih melahirkan sekularisme, modernitas justru menghasilkan gerakan yang memukul balik sekularisme. Modernitas tidak tampil dalam bentuk yang tunggal. Ia melahirkan apa yang disebut oleh sarjana studi agama sebagai multiple modernities. Sekularisme, liberalisme, radikalisme, dan esktrimisme merupakan bagian tak terpisahkan dari modernitas.
Konferensi NU Belanda
Konferensi Internasional yang diadakan PCINU Belanda pada 19 Juni kemarin berangkat dari keprihatian ini. Saya sendiri terlibat dalam perumusan konsep konferensi ini. Kita mengajukan tema “Islam Wasatiyah”. Istilah wasatiyah memang problematis. Wasatiyah (jalan tengah, moderatisme) antara apa dan apa? Tetapi, kita memilihnya dengan satu harapan mencari formulasi Islam jalan tengah, yaitu Islam yang memberi kebaikan kepada semua manusia.
Konferensi yang melibatkan para pakar dari berbagai negara menyulut protes dari kelompok kanan Belanda. Gus Yahya Staquf, Katib Am PBNU, pada satu sesi pleno, menawarkan lima solusi untuk masalah ini:
Pertama, kita harus melayani tidak hanya kepentingan umat Islam, tetapi semua masyarakat. Kedua, kita harus mengakui ada masalah ortodoksi dalam Islam yang perlu direformasi. Ketiga, diskursus tentang reformasi tersebut harus menjadi hak dan agenda bersama. Keempat, merumuskan jalan keluar alternatif. Kelima, pendidikan Islam harus memihak pada perdamaian global.
Ada harapan besar pada organisasi seperti PCINU Belanda dan PCINU lainnya di Eropa untuk mengambil peran ini. Selama ini, dakwah hanya ditujukan untuk kalangan muslim diaspora Indonesia saja. PCINU Belanda diharapkan merumuskan agenda strategis agar semakin terlibat (engaged) dengan masyarakat Barat. Tidak ada pilihan lain, PCINU harus melibatkan diri secara aktif. Dialog tidak cukup. Diperlukan aksi lain yang lebih konkret untuk mengurangi kecurigaan pada Islam.