Gayanya ceplas-ceplos, menasehati tanpa tedeng aling-aling apa adanya memang membuat nyaman dan enak untuk sekedar ngobrol, Kang Ayip pun kemudian menjadi kai buat “wewadul” atau mengadu persoalan hidup. Dari politik, ekonomi, sampai keluarga. Dengan gaya demikian dan disertai keikhlasan, orang tidak tersinggung, bahkan kian nyaman.
Kata-kata nasehat ada di selipan bercandaannya, sehingga orang merasa tidak digurui dan harus menyelam lebih dalam tiap obrolan.
Untuk mengatasi keruwetan hidup, solusi yang ditawarkan hanya dua: Pertama, rutin membaca sholawat sebagai bentuk kecintaan pada Nabi dan berharap safaatnya. Sholawat menjadi nafas dan detak jantung. Dari situ, koneksi pada Allah akan lebih mudah. Cara kedua, mencintai anak-anak yatim.
Solusi demikian, kurang lebih sama dengan wasiat Sunan Gunung Djati, leluhurnya “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Kang Ayip tampaknya sedang menjalankan amanat tersebut yang juga dilakukan oleh generasi sebelumnya.
Masyarakat, tentu yang mengenal Kang Ayip akan merasa dekat dan paling akrab. Tiap saat, ada saja orang-orang baru yang datang untuk mengadu dan minta didoakan.
Ada ungkapan anak remaja “Sedang sayang-sayangnya”. Walaupun tidak tepat betul, tapi kalau diperhatikan akan ada kemiripan dan mendekati situasi tersebut. Untuk beberapa kelompok masyarakat memang sudah pada tahap sedang sayang-sayangnya, tapi bagi sebagian justru baru tahap perkenalan dan mendekati sayang-sayangnya karena mereka mulai tertarik dengan sholawat gaya Kang Ayip. Tak menampik, ada juga yang belum mengenal.
Pada saat mendengat berita wafatnya Kang Ayip, grup Whatsapps ramai memberikan kabar, bahkan ada juga yang konfirmasi secara langsung mengenai kebenaran berita tersebut. Nadanya hampir sama, penuh kesedihan dan merasa kehilangan “gandulan” dalam perjalanan menuju Allah.
Saat melepas kepergian Kang Ayip, saya bertemu dengan beberapa orang yang baru saya kenal. Semuanya memiliki cerita tersendiri mengenai kedekatan dengan Kang Ayip.
Salah seorang diantara mereka bercerita dirinya sempat ditahan karena memobilisir petani menolak Taman Nasional. Entah Kang Ayip dapat informasi, tiba-tiba Kang Ayip datang ke kantor yang menjadi tempat tahanan. Dengan suara yang tegas berkata “Ini anak-anak saya, tolong lepaskan, saya yang bertanggung jawab dan menjamin”.
Saat itu juga, ia dan beberapa rekannya dilepaskan. Padahal saat itu, dirinya belum kenal Kang Ayip dan Kang Ayip pun belum mengenalnya. Sejak saat itu, dirinya lebih intens berhubungan dengan Kang Ayip dan sering datang ke Majelis Sholawat.
Kang Ayip pun menanyakan komitmennya untuk terus membela petani dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Namun, Kang Ayip agak kecewa ketika mengetahui dirinya masuk partai “Ente wis bli kuat kempong tah? Wis bli kuat mlarat”.
Ada juga yang bercerita bahwa dirinya membawa seorang pengusaha dan uang yang cukup banyak. Kepentingannya agar Kang Ayip bicara ke seseorang supaya yang menduduki jabatan tertentu adalah si A. Kang Ayip marah dan mempersilahkan mereka untuk keluar rumah dan membawa kembali uangnya. Ia menolak mentah-mentah uang tersebut.
Mereka pun pergi lalu kembali tanpa uang, hanya silaturahmi. Kang Ayip menerima dengan ramah dan baik. Ada cerita-cerita serupa yang saya terima, tetapi tidak bisa saya bagi.
Ekspresi sedih dan kehilangan jelas terlihat dari para pelayat yang datang. Tangis sesunggukan masih saya lihat dan rasakan bahkan setelah prosesi pemakaman selesai. Mungkin, rasa duka para pelayat yang membuat langit Buntet saat itu turut menahan tangis.
Kehilangan sosok yang menjadi “gandulan” tidak saja menciptakan rasa perih, tapi juga linglung karena kehilangan pegangan dan lepasnya penunjuk arah cara mencintai Nabi dan menuju Allah yang benar.
Tentu ada tanya, kemana orang-orang yang biasa gandulan? Siapa lagi yang akan membina kelompok marjinal?
Kehilangan Kang Ayip, tentu ada hikmah bagi semua orang, termasuk orang-orang yang biasa gandulan.
Kini, setelah Kang Ayip menuntun, sudah saatnya kita semua tahu jalan dan mengerti kehidupan yang disertai hikmah.
Bagi politisi, sudah saatnya mempraktekkan cara berpolitik yang benar, untuk para pejabat sudah saatnya menunaikan amanat yang diembannya, untuk kelompok yang lemah sudah saatnya anda bangkit. Tentunya dengan melibatkan Allah dalam setiap aktifitasnya.
Kang Ayip hanya mengantarkan pada jalan yang benar, selanjutnya adalah kita sendiri yang sudah harus mengakrabi Allah. Masing-masing dari kita tidak boleh bergantung pada sosok, tapi harus bisa berhubungan dengan Allah.
Seperti layaknya Mursyid, Kang Ayip, telah menuntun dan mengajak kita semua ke arah yang benar menuju Allah.
Bukankah, selayaknya demikian? Hubungan dengan Allah adalah personal dan sangat pribadi? Tanpa ada yang mengetahuinya.
Dengan cara beragama demikian, seseorang tidak mudah diombang-ambing oleh berita hoax, ajaran-ajaran yang seolah mengajak pada kebaikan tapi penuh caci, ajaran yang suka menyesatkan, dan ajaran yang disertai amarah.
Kedewasaan beragama menuntut orang untuk mencintai Allah, para rasul-Nya, dan penuh kasih sayang pada sesama makhluk. Yang terpenting dari kedewasaan beragama adalah memberikan kemaslahatan bagi semesta.
Dan ini berlaku bagi semuanya…