Semenjak pandemi covid-19, penulis sudah jarang menemui pasar malam. Apalagi ketika hidup di kota. Kangen rasanya dengan wahana-wahana seperti bianglala, ombak banyu, dan kora-kora. Pasar malam sudah menjadi tanda keberagaman sosio kultur masyarakat. Ada yang tersenyum menjajakan baju, ada yang sumringah karena telur gulung yang dijualnya tengah ramai pelanggan. Pria berjalan bersama pasangannya, menampilkan gaya paling romantis, layaknya sejoli di tengah keramaian pasar modern (mall.)
Pola kehidupan masyarakat tidak mudah untuk tampil di depan mata. Pasar malam berbeda dengan pasar pada umumnya, sebab pasar malam hanya buka saat ada hajatan, atau rutinan lain tidak buka tiap hari.
Mengulas pasar teringat buku gubahan Kuntowijoyo berjudul Pasar (Diva Press, 2017). Cerita tentang menteri pasar yang saban hari mengawasi kegiatan di pasar. Lebih dari itu pak Kunto tengah memberi pemahaman pada pembaca tentang dinamika sosial kehidupan masyarakat pasar.
Kuntowijoyo berusaha membenturkan nilai priyayis orang Jawa dengan perkembangan zaman. Pasar yang dulu teratur dibawah emongan ‘Pak Mantri’ dalam novel Kuntowijoyo, sedikit demi sedikit mulai bertambah ruwet. Orang-orang baru lalu silih berganti datang. Anak muda masuk membawa pemikirannya sendiri, namun seringkali tak mau kompromi. Belum lagi dengan datangnya pemilik modal yang mengubah tatanan ekonomi para warga pasar.
Pasar di buku Kunto, itu pasar yang terpatri sebagai pasar sehari-hari. Sementara ada jenis pasar yang hanya buka pada momentum tertentu, atau pada hari tertentu pada malam hari biasa dikenal dengan pasar malam. Sejak kecil, saya biasa berkunjung ke pasar malam. Pasar malam adalah masa paling bahagia anak 90-an, kenikmatan gulali, martabak harga 1000 perak, juga kapal laut dari korek api.
Terutama bagi anak yang dulunya tinggal di desa, pasar malam merupakan ajang pamer cerita pada teman pada keesokan harinya. Anak desa tidak kenal wisata malam, apalagi klub malam. Anak desa hanya paham soal bermain miniatur pancing, mandi bola, sesekali miniatur kapal yang nyala dengan api.
Setelah hampir 3 tahun hidup di kota. Saya jarang bertemu dengan pasar malam, bukan hanya jarang bahkan tidak ada. Baru beberapa malam lalu, tepatnya malam minggu. Saya menemui pasar malam. Tepatnya di sepanjang jalan setelah pasar gadang. Itu pasar yang asik, benar benar membuat pengunjung merasakan kembali masa kecil anak 90-an, bedanya kini tidak ada lagi komedi putar, atau martabak murah yang tepungnya kenyal khas pasar malam.
Terkadang kehidupan di kota dalam jangka waktu lama membuat sedikit tergerus identitas asli sebagai ‘wong ndeso’. Jika dulu saat kecil kita biasa berkunjung ke pasar malam, pasti ada saja yang ingin dibeli. Mulai dari mainan, pakaian, hingga makanan. Sekarang, gaya hidup sudah beralih, makanan juga bergeser pasar malam tidak memunculkan minat untuk jajan baju, apalagi mainan. Meski soal rasa tidak pernah bisa bohong, yang paling dirindukan itu makanan pasar malam.
Dalam keramaian itu, saya coba mencari sekujur pasar, hanya satu sudut . Seorang ibu, ia berjualan jajan pasar, yang terdiri dari cenil, onde-onde, kucur, dan kue isi parutan kelapa. Itu membuat saya sedikit kecewa lantaran kultru ciri khas kuliner pasar malam sudah tidak terlihat lagi. Berganti makanan cepat saji dengan keanekaragaman cara dan proses penyajian. Lidah saya yang terlalu timur ini seperti kurang cocok, mata saya terasa asing dengan suasana pasar malam minggu itu.
Belum selesai pada makanan, ada lagi yang khas pasar malam yaitu dunia perjudian kelas teri, begitu masyarakat menyebut. Dulu saat kecil, saya biasa menyaksikan permainan yang tersaji cukup beragam ada lempar dadu, tebak dadu, lempar anak panah, dan yang lain. Sekarang dengan banyaknya permainan melalui gawai, bermain di pasar malam jadi tidak seru. Dadu seolah hilang, menggelinding bersama angka kosong ke tepian peradaban.
Romansa pasar malam memang telah pudar seiring zaman. Pusara sesekali bisa didapat secara tak sengaja, kadang di jalan-jalan kadang di tempat lapang, atau bisa di sebuah ruangan. Pusara pada romansa sebagai anak tahun 90-an, akan menguat kita melihat sesuatu yang identik, pasar malam misalnya.
Pasar malam berarti juga muara kerinduan. Ingatan yang membawa ironi, layak dirindukan sekaligus sulit untuk kembali pada masanya. Pasar malam sudah kalah gagah ketimbang mall bertingkat yang berdiri tersaji di depan. Tidak ada lapangan tandus tempat komedi putar biasa dinaiki, atau para penjual martabak telor menawarkan. Bersama pasar malam ada yang hanyut menjadi kenangan. Tinggal sunyi menabur kehampaan. Semoga pandemi segera usai, pesta rakyat kembali digelar.