Sedang Membaca
Menelisik Wahabi (4): Apa Muhammadiyah Tergolong Wahabi? Inilah Fakta Sejarahnya
Mu'arif
Penulis Kolom

Pengkaji sejarah Muhammadiyah, kini menempuh program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Menelisik Wahabi (4): Apa Muhammadiyah Tergolong Wahabi? Inilah Fakta Sejarahnya

E17cef0a D0b5 4717 9e46 Fff267ac8e26

Memasuki awal abad 20, tepatnya sekitar empat tahun pasca berdiri organisasi Boedi Oetomo (20 Mei 1908), K.H. Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta. Beberapa ulama tradisionalis di tanah air tidak hanya menentang gerakan ini, tetapi juga menuduh tanpa dasar argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Apa tuduhannya?

Tuduhan yang dialamatkan kepada organisasi rintisan K.H. Ahmad Dahlan ini bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Wahabi.

Rupanya, tuduhan Muhammadiyah sebagai bagian dari paham Wahabiyah tidak hanya terdengar nyaring di tanah air, tetapi tuduhan sesat tersebut sudah sampai ke tanah suci.

Berdasarkan catatan Haji Syuja’ (2009: 151), pada tahun 1922, beberapa ulama dari tanah air yang telah menetap di Mekkah dan menjadi antek-antek Raja Syarif Husein (berafiliasi kepada Turki Usmani) telah menuduh persyarikatan Muhammadiyah sebagai bagian dari gerakan Wahabi. Hingga memasuki usia seabad, organisasi yang didirikan pada 18 November 1912 ini terus saja dikaitkan dengan paham Wahabi yang tumbuh subur di Arab Saudi. Tudingan tersebut tidak hanya a-historis, tetapi juga sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang yang menuduh tidak memahami esensi gerakan Muhammadiyah.

Tulisan ini akan mengurai fakta-fakta historis berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan berkaitan dengan tuduhan Muhammadiyah dan Wahabisme.

Jenis-jenis sumber data yang digunakan dalam tulisan ini berupa verslag (laporan resmi), memoar (catatan pribadi), dan surat pribadi dari para tokoh Muhammadiyah generasi pertama yang terlibat langsung dalam upaya membantah tuduhan miring tersebut. Verslag Haji Fachrodin, salah satu murid ideologis K.H. Ahmad Dahlan, ditulis pada tahun 1921 melaporkan perjalanannya ke Mekkah dalam rangka penyelidikan perjalanan haji kaum pribumi.

Verslag Utusan Muhammadiyah dalam Kongres al-Islam di Cirebon ditulis oleh Haji Fachrodin pada tahun 1922, berisi catatan pembelaan terhadap Muhammadiyah dan K.H. Ahmad Dahlan yang dituduh oleh para ulama tradisionalis sebagai bagian dari gerakan Wahabi. Catatan pribadi Haji Syuja’, kakak kandung Haji Fachrodin yang juga salah satu murid ideologis K.H. Ahmad Dahlan, ditulis pada menjelang akhir hayatnya (wafat 1962).

Catatan Haji Syuja’ banyak memberikan informasi seputar respon dan tanggapan para ulama tradisionalis dari tanah air yang telah lama menetap di Mekkah. Sumber terakhir adalah surat K.H. Baqir, keponakan K.H. Ahmad Dahlan yang telah menetap di Memkah, kepada adik kandungnya, Haji Hanad, yang menjadi salah satu redaktur majalah Suara Muhammadiyah pada tahun 1926. K.H. Baqir merekam respon dan tanggapan penduduk Mekkah terhadap persyarikatan Muhammadiyah pasca revolusi Wahabi yang berhasil menumbangkan rezim Syarif Husein.

Verslag Haji Fachrodin

Pada tahun 1921, Haji Fachrodin mendapat amanat dari Hoofdbestuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah untuk menyelidiki kondisi perjalanan jamaah haji dari tanah air. Haji Fachrodin merekam perjalanannya dalam catatan ”Verslag Saja Selama Bepergian ke Mekkah.” laporan resmi ini dimuat beberapa kali dalam surat kabar terbitan Solo dan Yogyakarta pada tahun 1921-1922. Pada tahun 1921, laporan Haji Fachrodin ini dimuat di majalah Islam Bergerak(no. 22 edisi 10 November 1921) di Solo. Tahun berikutnya (1922), laporan tersebut dimuat kembali di majalah Soewara Moehammadijah (no. 2/Th. ke-3/1922) dengan judul yang sama.

Baca juga:  Ibnu Hazm: Ulama Kaya, Tangguh, dan Temperamental

Berdasarkan catatan perjalanan Haji Fachrodin selama di Mekkah, persyarikatan Muhammadiyah sudah dituduh sebagai gerakan Wahabi yang berasal dari tanah Jawa. Pada waktu itu, Makkah dipimpin Raja Syarif Husein. Dia penguasa Mekkah yang berafiliasi dengan pemerintahan Turki Usmani. Pada saat yang bersamaan, semangat Nasionalisme Arab sedang tumbuh. Di tanah Nejd telah muncul gerakan politik dan keagamaan di bawah kepemimpinan Raja Sa’ud dan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Gerakan politik dan keagamaan ini bermaksud melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah Turki Usmani.

Raja Syarif Husein yang sempat mendengar keberadaan Haji Fachrodin, utusan Hoofdbestuur Muhammadiyah dari tanah Jawa, langsung memerintahkan beberapa ulama yang menjadi kaki-tangannya untuk menyelidiki murid K.H. Ahmad Dahlan tersebut. Atas perintah sang raja, beberapa ulama berusaha menemui Haji Fachrodin untuk meminta penjelasan tentang hakekat gerakan Muhammadiyah.

Haji Fachrodin sempat memberikan penjelasan tentang hakekat gerakan Muhammadiyah kepada beberapa ulama antek-antek Raja Husein. Merasa belum cukup, para ulama tradisionalis tersebut lantas membawa Haji Fachrodin menemui langsung Raja Husein untuk menjelaskan hakekat gerakan Muhammadiyah. Fakta ini menunjukkan bahwa persyarikatan Muhammadiyah telah dituduh tanpa bukti yang kuat sebagai gerakan Wahabi. Sebab, pada hakekatnya gerakan Muhammadiyah memang tidak memiliki hubungan ideologis dengan gerakan Wahabi.

Catatan Haji Syuja’ 

Pada menjelang Jaarvergadering(Rapat Tahunan) tahun 1922, Hoofdbertuur(Pengurus Besar) Muhammadiyah kembali mengirim utusan ke tanah suci. Berdasarkan catatan Haji Syuja’ (2009: 131-132), salah satu murid ideologis K.H. Ahmad Dahlan, Hoofdbertuur (Pengurus Besar) Muhammadiyah telah mengutus Haji Syuja’ dan M. Wiryopertomo untuk memimpin rombongan haji dari tanah air. K.H. Ahmad Dahlan memberi tugas kepada dua lidbestuur(anggota pengurus) Muhammadiyah ini untuk memimpin rombongan haji dan sekaligus mengemban misi menjelaskan kepada para ulama di tanah suci tentang gerakan Muhammadiyah. Kepada dua lid bestuur Muhammadiyah tersebut, K.H. Ahmad Dahlan titip pesan khusus yang ditujukan kepada K.H. Muh. Baqir ibn Noor, keponakannya yang telah lama menetap di Mekkah.

Tugas pertama berhasil dijalankan oleh dua tokoh Muhammadiyah tersebut, tetapi Wiryopertomo sempat jatuh sakit dan meninggal dunia setelah sampai di Makkah (ibid.: 140). Tinggal Haji Syuja’ bertanggungjawab yang melanjutkan amanat dari K.H. Ahmad Dahlan untuk memberikan penjelasan tentang gerakan Muhammadiyah kepada para ulama di tanah suci. Namun, Syuja’ terlebih dahulu harus mencari alamat keponakan K.H. Ahmad Dahlan di tanah suci agar ia dapat menginap dan menjalankan amanat keduanya.

Ternyata, tidak terlalu sulit bagi Syuja’ untuk menemukan alamat Muh. Baqir di Mekkah. Keponakan K.H. Ahmad Dahlan ini tergolong ulama yang cukup dikenal oleh masyarakat di Mekkah. Ketika Syuja’ menginap di rumah Muh. Baqir, datanglah tamu seorang ulama kelahiran Sidoarjo (Jawa Timur) yang telah sepuluh tahun menetap di kampung Syamiyyah. Ulama tersebut bernama K.H. ‘Abd al-Muhid. Ulama ini termasuk di antara beberapa ulama mazhab Syafi’i yang menganggap Muhammadiyah telah keluar dari “mazhab yang empat” (al-madzahib al-arba’ah). ‘Abd al-Muhid juga berusaha menyelidiki paham keagamaan Muhammadiyah, apakah sejalan dengan paham Wahabi atau tidak (ibid.: 148). Selain K.H. Abd al-Muhid, K.H. Muhtaram dari Banyumas (Jawa Tengah) juga sempat menganggap Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi (ibid.: 151). Namun, Haji  Syuja’ berhasil menjelaskan hakekat gerakan Muhammadiyah sambil menunjukkan Statuten (Anggaran Dasar) Muhammadiyah.

Baca juga:  Asal-usul Munculnya Teologi Islam

Fakta ini menunjukkan bahwa tudingan salah terhadap Muhammadiyah tidak atas dasar bukti-bukti yang kuat. Haji Syuja’ akhirnya sadar bahwa K.H. Abd al-Muhid adalah mata-mata pemerintah Mekkah yang sedang menyelidiki Muhammadiyah.

Verslag Utusan Muhammadiyah dalam Kongres al-Islam di Cirebon

Jika pada tahun 1922 Haji Syuja’ berjuang membela Muhammadiyah di tanah suci, maka pada tahun yang sama, Haji Fachrodin yang tidak lain adalah adik kandungnya, tengah sibuk membela Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah tidak luput dari tuduhan miring sebagai gerakan Wahabi. Pada umunya, tuduhan Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi datang dari kalangan ulama tradisionalis yang merasa terancam eksistensi mereka sebagai pemegang otoritas dan pelestari tradisi.

Dalam dokumen ”Verslag Oetoesan ke Cirebon Perloe Mengoendjoengi al-Islam Congres” (Soewara Moehammadijahno. 12/Th. ke-3/1922), memuat laporan Haji Fachrodin sewaktu melakukan pembelaan terhadap K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dari tuduhan “pengraman”(pembrontak) dan menganut paham Wahabi. Dalam sebuah pertemuan kongres yang dipimpin langsung oleh H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agoes Salim, Kiai Asnawi dari Kudus menuduh K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama sesat. Salah satu tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini menuding nama Dahlan sebagai tokoh sesat sebagaimana yang termaktub dalam kitab karangan Kiai Bisri Solo. Selain menuduh pendiri Muhammadiyah sebagai ulama sesat, Kiai Asnawi juga menuduh Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi yang pada saat itu tengah tumbuh di tanah suci.

Dengan amat piawai, Haji Fachrodin membela tuduhan Kiai Asnawi yang tidak memiliki dasar yang jelas. Haji Fachrodin membawa kitab karangan Kiai Bisri Solo dan meminta kepada Kiai Asnawi supaya menunjukkan di mana bab dan halaman yang menjelaskan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh yang dianggap sesat. Setelah Kiai Asnawi tidak bisa menunjukkan bab dan halaman yang menjelaskan kesesatan K.H. Ahmad Dahlan, maka dengan sangat tangkas Haji Fachrodin menjelaskan kepada peserta vergadering (rapat) bahwa tuduhan yang dialamatkan kepada pendiri Muhammadiyah itu adalah omong kosong belaka. Adapun tuduhan bahwa Muhammadiyah termasuk kelompok Wahabi amat mudah ditangkis dengan menunjukkan buku Statuten (Anggaran Dasar) kepada peserta vergadering yang dapat menjelaskan hakekat organisasi ini.

Fakta ini kembali menunjukkan bahwa tudingan miring terhadap Muhammadiyah sama sekali tidak berdasarkan pada argumentasi yang kuat.

Baca juga:  Keajaiban Banten (II): Kota Praja Metropolis Selevel Amsterdam

Surat K.H. M. Baqir dari Mekkah

Dokumen terakhir adalah berupa surat pribadi yang dikirim langsung dari Makkah oleh K.H. M. Baqir kepada H. Hanad, adiknya yang menjadi salah seorang redaktur majalah Suara Muhammadiyah dan anggota Hoofdbestuur M. Bagir Taman Pustaka. Surat tertanggal 13 Jumadilawwal 1344 H ini dimuat di Soeara Moehammadijahno. 7 Th. VII/1926. Surat ini dikirim ketika peta politik di tanah suci sedang mengalami perubahan besar. Kemenangan kaum Wahhabi atas pendudukan Turki Usmani di Makkah telah mengubah peta politik di Timur Tengah.

K.H. M. Baqir sebenarnya salah satu keponakan K.H. Ahmad Dahlan yang telah lama menetap di Makkah. Pasca revolusi Wahhabi di Makkah, ia berkirim surat kepada adiknya, Haji Hanad, menceritakan kondisi kehidupan umat Islam dan menyinggung kabar respon positif  kaum Wahabi terhadap persyarikatan Muhammadiyah. Dalam surat tersebut, K.H. Baqir menceritakan bahwa kemenangan Raja Ibnu Sa’ud merupakan kemenangan kaum muda yang bermaksud memperbaiki akidah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunah Nabi dan meninggalkan tradisi yang telah mengeruhkan kemurnian ajaran Islam.

Sebenarnya, surat ini tidak menyebutkan hubungan antara Muhammadiyah dengan kaum Wahabi, tetapi K.H. M. Baqir mengaku pernah menyampaikan penjelasan kepada Raja Ibnu Sa’ud tentang paham dan gerakan keagamaan Muhammadiyah di tanah Hindia-Nederland. Berdasarkan informasi K.H. Baqir, konon Raja Ibnu Sa’ud tersenyum gembira mendengar penjelasan dari keponakan K.H. Ahmad Dahlan tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa sekalipun gerakan Muhammadiyah telah mendapat sambutan baik dari Raja Ibnu Sa’ud, tetapi organisasi yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan dan kaum muda di Yogyakarta tidak memiliki hubungan ideologis dan politis dengan gerakan Wahabi di Mekkah.

Penutup

Tampaknya, sejarah kembali berulang. Pertama kali didirikan, Muhammadiyah sudah mendapat tuduhan miring sebagai gerakan Wahabi di tanah Jawa. Tidak hanya nyaring terdengar di seantero Hindia-Belanda, tuduhan Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi juga telah menyebar di tanah suci. Dengan berbagai upaya, para perintis dan penggerak Muhammadiyah generasi pertama telah melakukan pembelaan dan klarifikasi bahwa organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1912 di Yogyakarta ini bukan gerakan Wahabi. Fakta-fakta historis yang didukung dengan sumber-sumber primer berasal dari para pelaku sejarah sudah berhasil membantah tuduhan miring tersebut.

Orang-orang yang meniupkan kembali tuduhan Muhammadiyah adalah Wahabi sebenarnya tidak memiliki dasar argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Mereka jelas a-historis. Di samping a-historis, mereka pun sebenarnya ti dak memahami hakekat gerakan Muhammadiyah. Hanya karena melihat beberapa aspek dakwah Muhammadiyah memiliki kesamaan dengan paham Wahabi lantas dianggap sehaluan. Ini jelas suatu proses generalisasi yang ceroboh.

Fakta-fakta historis di atas sudah menjawab tuduhan miring tersebut.

Artikel ini pertama kali dimuat di IBTIMES.ID dengan judul: Muhammadiyah bukan Wahhabi: Empat Fakta Sejarah!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top