Al-Aħkām al-Syar‘iyyah, antara Taklīfiyyah dan Wadh‘iyyah
Hukum syariat adalah hukum yang diambil dari dalil-dalil syariat yang dibawa oleh Nabi `. Dalil syariat yang pokok adalah Alquran dan al-Sunnah. Hukum syariat diperoleh dari keduanya atau salah satu dari keduanya, baik secara langsung maupun dengan perantara dalil-dalil sekunder, seperti Ijmā‘ dan al-Qiyās. Oleh karenanya, setiap hukum atau undang-undang yang tidak memiliki kaitan terhadap Alquran atau al-Sunnah baik langsung maupun tidak langsung bukan hukum syariat.
Hukum-hukum syariat ada dua macam:
- Hukum taklifi: yaitu wujūb, nadb, ħurmah, karāhah, dan ibāħah.
- Hukum wad‘iy: antara lain sebab, syarat, mħni’, rukhshah dan azimah.
Hukum-hukum taklifi mengatur tiga hal: i‘tiqādiyyah, khuluqiyyah, dan ‘amaliyyah. Hukum ‘amaliy mengatur dua macam perbuatan manusia, yaitu ibadah dan muamalah. Yang dimaksud disini adalah makna muamalah dalam pengertian luasnya, yaitu semua perbuatan selain ibadah.
Masing-masing dari ibadah dan muamalah memiliki prinsip dan dasar untuk membedakannya dengan yang lain. Termasuk dari dasar-dasar ibadah adalah
- Prinsip ibadah adalah ta‘abbudiy tanpa peduli makna.
- Prinsip ibadah adalah larangan, asal pada ibadah bersifat tauqfiy (siap pakai dan menutup peluang kreativitas)ħ
- Yang diperhitungkan dalam ibadah adalah format dan esensinya.
Di antara prinsip muamalah:
- Muamalah bersifat bebas hingga dijumpai dalil yang melarang.
- Prinsip muamalah adalah kebolehan.
- Yang dipertimbangkan dalam muamalah adalah tujuan dan esensinya, bukan lafal dan bentuknya.
- Berpijak di atas ‘illat (alasan) dan maslahat.
Dari sisi lain, hukum syariat terbagi menjadi:
- Hukum yang dipahami tanpa proses ijtihad. Hal itu karena dalilnya qath‘iy, baik otentisitas dan penunjukan maknanya. Hukum syariat jenis ini bersifat tetap dan tidak berubahubah dan tidak tergantikan walaupun situasi dan kondisi terus berubah.
- Hukum yang dipahami melalui proses ijtihad. Adakalanya karena tidak ada nashsh atau karena nashsh-nya bersifat ẓanniy baik otentisitas maupun penunjukan maknanya. Hukum syariat dari sisi ini dapat berubah dan beradaptasi dengan lingkungan, situasi dan kondisi. Hukum inilah yang disebut fikih.
Syariat islam memiliki karakteristik yang membedakannya dari hukum positif. Di antaranya ia memadukan antara hukumhukum konstan dan hukum-hukum elastis; antara yang ilahiah dan insaniah. Disebut ilahiah karena diperoleh dari wahyu ilahi berupa nas Alquran dan Sunah. Disebut insaniah karena disyariatkan/ diundangkan demi kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Sedangkan hukum positif lahir dari buah pikir manusia semata tanpa ada hubungan dengan Alquran dan atau Sunah. Meskipun demikian, kami menemukan banyak pasal hukum positif yang sesuai dengan hukum syariat. Menurut fukaha kontemporer, hukum positif yang sesuai dengan pendapat salah satu tokoh mazhab fikih bisa dikatakan sebagai bagian dari hukum syariat.
Syariah, dengan karakter ini dan karakter lain yang tidak disebutkan, menjadi impian setiap muslim yang antusias dan cinta agamanya. Mereka merindukan legislasi syariah dan penerapannya di bumi realitas. Negara kita Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah lahan yang bersahabat dan tempat yang mudah untuk penerapan syariat Islam. Akan tetapi, itu memerlukan kehati-hatian, penuh pertimbangan, dan keramahan. Tanpa itu semua, harapan akan berujung pada kegagalan bahkan merugikan syariat, padahal kita mengusahakan kebaikan. Dan alhamdulillah para tokoh Islam kita memahami sepenuhnya hal itu. Mereka cermat dan telaten serta tidak ceroboh dalam usaha-usaha mereka. Ketika mereka menilai bahwa penerapan syariat seutuhnya (bungkus dan isi) bukan perkara mudah dan jalannya terjal, mereka memilih yang mungkin dan tidak bersikeras pada yang sulit untuk diterapkan. Lebih-lebih, hal yang mungkin itu adalah substansi saat yang tidak mungkin adalah format semata. Mereka rela turun dari langit idealitas (yakni menerapkan syariat substansi dan formatnya) ke bumi realitas (menerapkan esensi syariat tidak formatnya), yakni penerapan syariat tidak dengan nama syariat. Pasalnya, ada kelompok yang menolak nama (ism) tapi menerima makna (musammā). Mereka menampik syariat bukan karena itu membahayakan kemaslahatan agama dan kesejahteraan duniawinya, melainkan lebih karena dorongan sentimental.
RUU Anti Pornografi-Pornoaksi mendapatkan sambutan baik dari orang-orang bijak negeri ini. Beberapa mengakui kebaikan RUU ini karena dorongan tabiat belaka (wāzi‘ thabī‘iy), saat beberapa mengakuinya atas dorongan kecenderungan natural dan qur’āniy. Tetapi ketika sejumlah muslimin berdemonstrasi dan melancarkan usaha-usaha demi pengesahan sambil membawa nama Islam, kelompok yang sebelumnya setuju menarik kembali dukungan mereka. Mereka ini sama dengan kaum Nasrani Bani Taglab, Tannukh, Bahrħ’ ħ ħ membayar jizyah atas nama jizyah, tapi sukarela membayar saat namanya diganti dengan shadaqah, padahal nominalnya jauh lebih tinggi. ‘Umar bin Al-Khattħb berkomenter, “هؤلاء حمقى ابوا الاسم ورضوا بالمعنى/Mereka bodoh. Menolak
nama tapi menerima makna.”
Namun demikian, umat Islam di negeri ini sepenuhnya bebas untuk mengamalkan syariah baik dalam ibadah maupun muamalah, tanpa ada satu pun penghalang. Mereka hanya tidak mendapatkan apa yang disebut “penerapan syariat” (tathbīq al-syarī‘ah). Orang-orang fanatik di kalangan muslimin memaknai “penerapan syariat” sebagai “legislasi syariat”, terutama dalam bentuk-bentuk hukuman: ħadd, qishāsh, dan takzir. Pertanyaannya adalah: apakah persolaan ini harus mendapatkan porsi yang besar untuk dipikirkan dan diperjuangkan? Tampakanya, jawabannya tidak. Dalam hal ini, saya sependapat dengan Syeikh Yusuf al-Qardhawi. Beliau menulis, “Legislasi syariat tidak diragukan adalah bagian dari Islam; tidak boleh diabaikan dan dicampakkan. Tetapi, berlebihan membahas dan usaha keras mewujudkannya, serta menganggapnya sebagai poin utama permasalahan, akan berdampak buruk pada pemikiran Islam dan pemikiran masyarakat awam, suatu yang mungkin dieksploitasi oleh penentang dakwah Islam. Saya selalu mengatakan: undang-undang saja tidak cukup untuk membangun masyarakat. Masyarakat dan peradabannya mungkin dibangun melalui: pendidikan dan peradaban, kemudian muncul undangundang sebagai pemandu dan penjaga.” Meskipun demikian, kita tidak memungkiri bahwa legislasi syariah bermanfaat bagi mereka yang lemah iman, yang tidak terpengaruh tuntutan Alquran dan hanya meninggalkan suatu larangan karena diancam hukuman pemerintah. Adapun yang kuat iman, mereka tidak memerlukan ancaman pemerintah karena sudah cukup dengan suara hati nurani; cukup dengan kendali Alquran bukan kendali sultan. ‘Utsmħn bin Affħn : Allah akan mengendalikan dengan kuasa sultan sesuatu yang tidak dikendalikan dengan Alquran.
Umat Islam sepakat tentang kewajiban mengamalkan syariat dan berkomitmen padanya (iltizām bihā), baik dalam peribatan maupun interaksi sosial. Namun, perlu dicatat bahwa hukum taklīfiyyah seperti wajib dan haram, tidak berdiri sendiri, tetapi penerapannya masih terikat realitas manusia, kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Lebih-kurang inilah maksud pernyataan Ibn al-Qayyim, “Wajib adalah suatu hal, kenyataan adalah hal lain. Seorang faqīh harus menjaga kelindan keduanya.” Oleh karena itu, ulama membahas hukum wadh‘iyyah di samping pembahasan hukum taklīfiyyah. Hukum wadh‘iyyah ialah sabab, syarth, māni’, rukhshah , dan ‘azīmah. Dengan demikian, jika seseorang memiliki 85 gram emas, berarti suduah terdapat sabab (alasan) kewajiban zakat, yaitu kepemilikan yang mencapai satu nishāb. Tetapi yang bersangkutan baru wajib menunaikan zakat bila sudah memenuhi dua syarat, yaitu mencapai satu haul (kepemilikan mencapai 1 tahun) dan tidak ada māni‘/penghalang seperti hutang (menurut pendapat yang menyebut hutang sebagai penghalang zakat.
Teks-teks syariat perihal tindakan kriminal berikut hukumannya bersifat jelas dan tegas baik otentisitas dan dilālahnya, sehingga tidak bisa ditakwil, tidak mungkin ada perselisihan, dan bukan merupakan ranah ijtihad. Konsekuensinya, ulama tentu bersepakat perihal keharaman zina serta penegakan ħadd bagi pelakunya dengan rajam atau cambukan, keharaman mencuri serta hukuman potong tangan, kewajiban qishāsh dalam pembunuhan, namun soal implementasinya di bumi realitas masih memerlukan perenungan dan ijtihad.
Pencuri misalnya, ia tidak dapat divonis hukuman potong tangan sampai terbukti pencuriannya di pengadilan, baik dengan pengakuan sendiri (iqrār) maupun dengan kesaksian dua orang (syahādat al-‘adlain). Kemudian jika terbukti benar-benar mencuri, tidak mesti hukuman ħadd dapat dieksekusi karena boleh jadi ada kondisi yang harus dipertimbangkan, misalnya dia mencuri karena terdesak keadaan perekonomian atau mencuri harta orang tua dan atau anaknya sendiri. Tersangka zina tidak dapat divonis hukuman ħadd sampai terbukti baik dengan pengakuannya sendiri maupun kesaksian empat orang (syahādat arba‘at ‘udūlin). Juga perlu dipertimbangkan tiga kondisi berikut (syubuhāt al-tsalāts):
(1) apakah pelaku mengetahui kalau zina termasuk perkara haram, (2) apakah pelaku menduga, saat berzina, sedang berhubungan badan dengan pasangan sahnya, dan (3) dan apakah itu benarbenar perkara haram, bukan perkara yang masih diperselisihkan fukaha, seperti persenggamaan pasustri yang akad nikahnya tidak menghadirkan wali dan saksi.
Semua ini dipahami dari teks-teks syariat, yang menyiratkan bahwa syāri‘ tidak berambisi untuk menghukum para pelaku dosa dan tidak ingin mendesak mereka membuat pengakuan (iqrār). Hukuman-hukuman dalam syariat bukanlah tujuan itu sendiri. Tujuan syāri‘ Yang Maha Bijak adalah supaya malapetaka tidak merajalela. Di antara tuntunan syāri‘ adalah sebaiknya hakim berkepala dingin, tidak tergesa-gesa menjatuhkan vonis, dan baru memberikan putusan bila terpenuhi bukti-bukti meyakinkan. Sebab, adalah afdal untuk menutup aib seorang muslim dengan tirai yang Allah julurkan; tidak menampakkannya kepada khalayak bahkan kepada hakim di pengadilan. Andai hakim belum mendapatkan kemantapan purna karena ada bercak keraguan (syubhat), maka sebaiknya ia memberikan vonis takzir, seperti yang banyak terjadi di negeri ini. Al-Zuailiy berkata, “Jika ħ ħadd tak bisa dilaksanakan karena ada keraguan (syubhat), atau belum terpenuhi sejumlah syarat, maka pelaku cukup ditakzir dengan pemenjaraan, pukulan, dan seterusnya.”
Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa Nabi ` bersabda,
“ادرءوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم، فان كان له مخرج فخلوا سبيله، فان الامام أن يخطئ فى العفو خير من أن يخطئ فى العقوبة/Hindarilah hukuman ħadd dari kaum muslimin semampu kalian, jika ia mempunyai jalan keluar maka lepaskanlah ia. Karena sesungguhnya seorang imam salah dalam memaafkan lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan hukuman.” Riwayat Ibn Mas‘ud , Nabi ` bersabda “Jauhkan ħaddħadd bila ada keraguan”. Ali Ibn Abi Thalib meriwayatkan hadis, “Jauhkanlah ħadd-ħadd.” Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Nabi ` bersabda kepada Mā‘iz bin Malik saat dia mengakui perzinaannya, “Mungkin kamu mencium saja, mengerlingkan mata, atau memandang.”
Di atas semua itu, implementasi dan efektivitas syariat bergantung secara utama pada akidah dan akhlak. Terkadang saat sabab dijumpai, syarth terpenuhi, dan tidak ada māni‘, tapi hukum syariat tetap tidak mudah diterapkan. Bukan karena tidak adanya legislasi syariat, melainkan karena kemerosotan moral pihak-pihak penegak hukum. Saya meyakini tanpa keraguan bahwa nilai-nilai moral merupakan pondasi peradaban dan tidak kalah penting daripada teks-teks syariat yang mengikat dalam membimbing perilaku umat manusia.